PIRAMIDA.ID– Beberapa waktu lalu, jagat laman facebook, khususnya Sumatera Utara, digegerkan dengan viralnya video (dugaan) persekusi disertai pengrusakan yang dilakukan segerombolan orang dari FPI terhadap lapo tuak milik seorang ibu bernama Lamria br. Manulang di daerah Batangkuis, Deli Serdang.
Dugaan persekusi ini bermula dari tidak diindahkannya surat imbauan dari DPC FPI Batangkuis kepada Lamria Manulang agar saat bulan Ramadan tidak berjualan tuak — yang notabene mata pencaharian sehari-hari beliau.
Informasi perkembangan terakhir, kedua belah-pihak sudah saling memaafkan, meski proses hukum akan berlanjut dan laporan dugaan tindak pidana persekusi ini sudah diproses.
Nah, ngomong-ngomong soal lapo tuak, sebagai pemuda Batak sudah barang tentu saya familiar dengannya. Bahkan, tempat tinggal saya bertetangga dengan rumah yang membuka usaha ini.
Lapo tuak sendiri adalah sejenis kedai atau warung, layaknya kedai kopi, yang menyediakan minuman khas, yakni tuak yang merupakan minuman beralkohol tradisi Batak yang terbuat dari nira kelapa atau aren yang diambil airnya.
Acap kali, dalam persepsi masyarakat secara umum, lapo tuak sendiri kerap dicitrakan negatif, yakni sebagai tempat orang mabuk-mabukan dan arena keributan. Citra yang sebenarnya terlalu tendensius dan parsial.
Meski saya bukanlah orang yang rutin pergi ke sana, namun saya beberapa kali tur ke berbagai lapo-lapo tuak untuk minum.
Sependek perjalanan saya selama berkunjung ke lapo-lapo tuak ini, tak sekalipun saya temui adanya keributan. Malah, yang terjadi justru kerap disambut ramah dan saling hormat tatkala kita hadir, padahal tidak saling kenal.
Selain itu, ada beberapa hal unik mengenai lapo tuak. Apa itu? Yuk, mariii!
#1 Lapo Tuak itu “Agora”-nya orang Batak
Pada masa Yunani Klasik, dalam iklim sejuk demokrasinya, ada sebuah tempat untuk pertemuan terbuka yang kesohor disebut dengan Agora.
Ini adalah ruang publik yang khas dan merdeka bagi semua warga di negara-kota Athena; tempatnya untuk berdebat dan berdiskusi secara terbuka tentang masalah apa saja.
Nilai dan semangat yang sama ini kemudian terejawantah dalam bingkai eksisnya lapo tuak. Ya, warung ini tidak hanya tempat minum tuak belaka. Tak melulu soal mabuk-mabukan dan arena keributan.
Ia jua tempat berdiskusi, membahas apa saja, baik masalah politik, ekonomi, sosial, nomor undian togel, dan terpenting, memperbincangkan serta menjaga tradisi dan adat di tengah gempuran arus modernitas.
Lapo tuak merupakan ruang publik yang dihiasi dengan jalinan keakraban antar-peminum yang bahkan tidak saling kenal, namun justru kerap melahirkan hubungan kekeluargaan tatkala dimulainya martarombo: tradisi menerangkan asal muasal, marga, maupun silsilah di kalangan penutur Batak.
Semangat persamaan juga dibangun, di mana segala strata sosial, atribut, dan jabatan ditanggalkan dan larut dalam satu sematan, yakni parmitu (parminum tuak atau peminum tuak) dan duduk bersama dalam satu meja.
Nuansa inklusivitas juga amat kental, di mana saat ini para parmitu bukan lagi sekedar orang-orang Batak, melainkan saudara-saudara dari suku lainnya turut dapat menikmati.
Bahkan, bukanlah sesuatu yang mengherankan bila yang membuka usaha lapo tuak hari ini ada dari misalnya suku Jawa, seperti pengalaman saya berkunjung ke daerah perkebunan milik BUMN.
#2 Live music yang senantiasa hadir
Sudah jamak dikenal bila orang Batak itu gudangnya suara dan vokal nyanyinya yang bagus dan enak. Maka, bila ingin mendengar suara vokal khas masyarakat Batak kala bernyanyi, lapo tuak adalah tempahannya. Perpaduan antara tradisi bernyanyi dan lapo tuak itu begitu erat.
Bahkan, ada anekdot populer yang sering digemakan di lapo tuak, yakni, “Bila ada seorang Batak yang sendiri di lapo akan main gitar dan nyanyi; bila berdua, main catur; bila bertiga, buat trio nyanyi; dan, bila berempat akan main kartu.”
Dengan diiringi alat musik sederhana, berupa gitar, suling, ditambahi “alat musik” botol Bir Bintang + sendok garpu sebagai alat pukul, maka nikmatnya mendengar curahan hati dalam balutan irama suara yang jernih, apalagi saat trio, begitu mengena dan paket!
Sembari meneguk tuak di dalam gelas dan menikmati tambul, berupa tempe, telur, tahu, maupun daging babi, suasana mendengar live music jadi terasa semakin syahdu dan turut larut mendendangkan. Belum lagi diberinya kesempatan request lagu sesuka hati dan tanpa sawer itu. Ahhh, tuak + bir!
#3 Di balik eksisnya lapo tuak ada peran sentral “paragat”
Orang-orang sering abai terhadap peran para paragat. Profesi yang sering dianggap sebelah mata. Paragat adalah orang yang mengambil tuak dari pohon aren dan mengolahnya hingga pas takarannya dengan selera. Proses mengambil/menyadap tuak dari pohon aren ini disebut maragat.
Profesi paragat ini berbahaya sebab harus menaiki pohon aren yang biasanya menjulang tinggi dan tumbuh subur di pinggir jurang untuk menyadap tuak.
Merekalah yang menyediakan tiap tetes tuak dalam gelas. Merekalah penjaga tradisi dan budaya Batak. Bayangkan bila para paragat ini mogok kerja, maka akan ada kelumpuhan kolektif dalam aktivitas minum tuak di lapo tuak. Bisa ricuh sesuku!
Maka, akhir tahun lalu, untuk menghargai dan mengangkat derajat para paragat, diadakanlah Festival Paragat di kota Parapat, yang diinisiasi oleh anggota DPR RI sekaligus (mantan) Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan. Paragat adalah profesi yang mulia. Respek!
Tentu saja masih ada hal-hal unik lainnya. Namun, sila cari sendiri dengan berkunjung ke lapo tuak terdekat. Lissoi!
Tulisan ini sudah pernah dimuat di laman Terminal Mojok. Edisi di rubrik ini merupakan pemutakhiran.
Penulis & editor: Hendra Sinurat.