PIRAMIDA.ID- Rangkaian acara pernikahan Atta Halilintar dan Aurelie Hermansyah yang sudah dan akan disiarkan oleh RCTI menuai protes. Pihak RCTI bersikukuh tidak melakukan pelanggaran, sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator dinilai lemah dan tidak antisipatif.
Protes yang paling keras disampaikan oleh para akademisi dan praktisi media penyiaran yang tergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).
“KNRP menolak keras rencana seluruh penayangan tersebut yang jelas-jelas tidak mewakili kepentingan publik secara luas dengan semena-mena menggunakan frekuensi milik publik,” demikian petikan isi pernyataan sikap yang diterima ABC Indonesia.
Frekuensi publik dan kepentingan publik dalam media penyiaran
Salah satu pegiat KNRP yang juga akademisi Universitas Indonesia, Nina Mutmainnah, mengingatkan pentingnya unsur frekuensi dalam media penyiaran yang membedakannya dengan media lain.
“Untuk bisa beroperasi, media penyiaran memerlukan frekuensi untuk memancarsiarkan sebuah tayangan.”
“Frekuensi ini adalah sumber daya alam yang terbatas dan milik publik,” ujar Nina.
“Sehingga pemakaiannya harus diatur supaya bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat luas,” jelas Nina.
Menurutnya tayangan yang disiarkan dengan menggunakan frekuensi publik harus mewakili ‘public interest’ atau kepentingan publik, seperti yang diatur oleh Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
“Dan di tengah itu semua mereka malah hura-hura, slot yang terbatas itu dipakai untuk merayakan pernikahan dua orang selebriti,” ujarnya.
KNRP menilai alokasi durasi siaran untuk acara lamaran Atta-Aurel telah melanggar P3 Pasal 11 soal perlindungan kepentingan publik dan SPS Pasal 13 yang menyebut “Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik”.
Merespon protes yang mengalir, Atta dan Aurel mengaku awalnya tidak ingin menyiarkan acara tunangan mereka di televisi.
“Awalnya malah enggak semua sih, cuma tiba-tiba dapat request juga dari TV-nya ini,” tutur Atta kepada media usai acara lamarannya.
“Tadinya kita ya cuma mau nge-YouTube aja, nge-vlog yang penting acara kita. Tiba-tiba ada tawaran bagus. Mungkin live itu buat resepsi atau akad, tiba-tiba TV minta siramannya, minta semua, ya sudah. Nggak sengaja” tambahnya.
RCTI merasa tidak melanggar
RCTI telah membantah telah melakukan pelanggaran karena menayangkan acara lamaran Atta dan Aurel.
“Kami menilai tidak ada pelanggaran yang dilakukan dalam menayangkan proses pernikahan Aurel dan Atta ini,” kata Group Corporate Secretary Director MNC Group, Syafril Nasution.
RCTI menganggap proses lamaran adalah bagian dari budaya Indonesia yang ingin ditampilkan stasiun itu pada pemirsanya, selain alasan lainnya karena animo penonton yang tinggi.
“Publik pasti ingin tahu aktivitas mereka, apalagi ini kegiatan positif seperti lamaran dan pernikahan yang merupakan sakral bagi masyarakat Indonesia,” ucap Syafril.
Senada dengan Syafril, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Neil Tobing, menilai bunyi pasal 11 SPS Undang-undang Penyiaran yang disangkakan pada RCTI masih dipahami secara multitafsir.
“Pasal 11 itu sangat umum definisinya, yaitu mengenai kepentingan publik sehingga menurut RCTI unsur kepentingan publik itu justru mereka akomodir karena memang lamaran ini menjadi public interest bagi pemirsanya.”
Namun sebagai wadah industri penyiaran, Neil mengaku ATVSI kerap mengingatkan anggotanya jika melakukan “apa-apa yang tidak pas atau tidak sesuai dengan aturan” dalam forum-forum yang sering diadakan asosiasi ini”.
“Misalnya di sana disampaikan, boleh-boleh saja kita menyiarkan acara perkawinan artis, anak pejabat, atau lain sebagainya, tapi dalam waktu (durasi) yang wajar,” kata Neil.
Neil menambahkan ATVSI akan mengajak RCTI berdiskusi soal hal ini.
“Tentunya kita juga harus panggil mereka supaya jangan sampai terulang kejadian seperti ini.”
‘Stasiun televisi masih lebih mementingkan rating’
Menanggapi isu ini, anggota Komisi 1 DPR RI, Sukamta mengatakan popularitas para selebritas tidak bisa menjadi justifikasi untuk penyalahgunaan barang publik seperti frekuensi.
“Beberapa kali kejadian seperti ini terjadi, tidak hanya yang akan dilakukan oleh Atta dan Aurel,” ujar Sukamta.
Siaran pernikahan Raffi Ahmad-Nagita yang bertajuk “Janji Suci Raffi-Nagita” hampir tujuh tahun yang lalu menempatkan posisi rating Trans TV naik dalam semalam, dari peringkat tujuh ke posisi teratas.
Pegiat media, Purnama Ayu Rizky, pernah mencoba menghitung, jika di setiap sesi iklan ada rata-rata lima produk dan harga per iklan berdurasi 30 detik adalah Rp50 juta di luar diskon.
Maka pendapatan per sesi iklan dari program “Janji Suci Raffi-Nagita” mencapai Rp300 juta.
Lamaran Atta-Aurel yang ditayangkan selama tiga setengah jam, Sabtu lalu (13/03) mulai pukul 12.30 siang menjadi acara yang paling banyak ditonton pada jam itu dengan perolehan rating 3,56 dan share 28,95 menurut rilis lembaga pemeringkat Nielsen.
Artinya, pada jam itu hampir 30 persen dari total orang yang menyalakan televisi menonton acara tersebut.
Sementara jika dihitung dari total populasi, sebanyak 3,56 persen di antaranya menonton tayangan Atta-Aurel.
Menurut sumber ABC Indonesia, dengan perolehan rating dan share sebesar itu, jika dihitung dengan metode CPRP (cost per ratings point) dengan rujukan tarif spot iklan di RCTI, pendapatan iklan untuk satu jam dari acara tersebut bisa mencapai Rp1 miliar.
Komisi Penyiaran Indonesia diminta tegas
Protes dan aduan yang mengalir dari masyarakat membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), regulator media penyiaran Indonesia memanggil RCTI untuk didengar keterangannyam Senin lalu (15/03).
“Kami mau meminta penjelasan terkait dengan itu, rencana itu semua. Dan juga temuan yang kami dapatkan kalau misalnya nanti berdasar pemantauan, memang ada bukti tayangan itu,” tutur komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI, Mulyo Hadi Purnomo.
Namun langkah KPI disesalkan karena dinilai tidak antisipatif karena pernikahan selebiritas yang disiarkan televisi ini bukannya belum pernah terjadi.
“Ada presedennya saat pernikahan Raffi-Nagita, tapi KPI hanya berpegang pada hal-hal yang sifatnya legal formal: Ya nanti kita lihat tayangannya dulu, dan lain-lain,” kata Nina dari KNRP.
Neil Tobing dari ATVSI sependapat jika KPI seharusnya lebih proaktif.
“Promo on air dan off air [acara Atta dan Aurel] ini kan sudah dilakukan seminggu sebelumnya, harusnya pada saat promo itu, kan sudah ketahuan jam siarannya jam berapa, apakah mengganggu jam siaran rutin yang setiap bulan harus kami sampaikan kepada KPI, seharusnya KPI bisa memanggil RCTI.”
Muhamad Heychael dari Remotivi menambahkan ketidaksigapan KPI menandakan ketidakmengertian anggota KPI soal hal yang paling prinsip dalam media penyiaran.
“Memang ada pelanggaran yang sifatnya harus diperiksa, soal kata-kata kasar misalnya, harus dilihat ada di menit ke berapa. Tapi ini pelanggaran prinsipil.”
“Kalau mau ditanya melanggar pasal yang mana, ya seluruh Undang-Undang penyiaran yang dilanggar karena dalam hal ini semangatnya yang dilanggar, bahwa penyiaran itu harus demi kepentingan publik.”
Anggota Komisi 1 DPR Sukamta juga meminta “KPI dapat segera merespon dan bertindak tegas merespon kritik masyarakat serta lebih mengambil inisiatif sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali.”
KPI sudah memanggil RCTI, tapi sampai berita ini selesai dibuat belum ada keputusan terkait protes dan kritik publik atas rangkaian acara pernikahan Atta dan Aurel.(*)
ABC Indonesia