Endang Rukmana*
PIRAMIDA.ID- Gue bakal mati gila jika sehari lagi berpura-pura bahagia. Gue harus pergi, Merari. Titip Emak, ya. Hati-hati, jangan sampai belio pura-pura gak bawa dompet lagi saat mengajak kalian makan-makan. Emak emang gitu sejak oroknya.
“Tong, maapin Emak, ye.” Emak mengusap-ngusap punggung gue, suaranya terisak. “Malah jadi Emak yang kawin, bukannya elu.”
“Apaan sih, Mak. Malih gapapa kok.” Gue mencoba terlihat baik-baik saja.
“Gapapa biji lu pitak! Gue tau elu dari orok, Tong. Gue tau muka lu kalo lagi bahagia. Gue tau muka lu kalo lagi nahan berak. Gue juga hapal muka lu kalo lagi ngeliatin Ibu Hajah Aminah jemur pakaian dalemnye!” beber Emak sepuas hati.
**
Bus Primajasa masih dipenuhi penumpang, meski sebagian dari mereka sudah turun di Terminal Pakupatan, Serang. Gue langsung menghempaskan tubuh begitu melihat kursi kosong.
“Ada obeng?”
“Hah?”
“Ada obeng, gak? Kalau ada saya pinjem.”
Gue hanya mampu menggeleng, menanggapi pertanyaan absurd dari seorang bapak yang menjadi teman sebangku.
“Kalau pulpen ada, kan?” lanjutnya.
Kali ini gue mengangguk.
“Terima kasih, Anak Muda!” ujarnya tanpa menoleh. Sejurus kemudian dia nampak asik mengisi sebuah buku TTS.
Gawai gue bergetar-getar, ada pesan masuk.
‘Heh! Ngapain lo ke Lampung? Kok gak ngajak-ngajak gue sih? 😤’
‘Gak enak. Elu tidur pules banget, Mer. Lagian kalo jalan sama lu pasti mampir ke tukang makanan mulu.”
‘Aelah, kan gue yang lebih sering nraktir elu, Omcom!’
‘Ya tapikan gue jadi kayak Garfield gini. Makin berat jodoh gue!’
‘Ehe. Ya maap. Gue titip oleh-oleh pisang coklat, ya!’
‘Oke’
‘Malih,’
“Apa?”
‘Please, tetap jadi sahabat terbaik gue, ya. Jangan berani-berani lo tinggalin gue duluan.’
‘Apaan sih, Mer? Kayak gue bakal ke mana aja.’
‘Emak nangis seharian. Please, kalau bukan untuk gue, tetaplah ada untuk Emak.’
Gue hanya membacanya, tak mampu menjawabnya. Dada gue kembali sesak. Mata gue basah dan terasa panas.
“Ngapain kamu nangis?” tiba-tiba si Bapak Obeng kembali bertanya.
“Siapa yang nangis? Gak usah sok tau, Pak! Ini cuma gak sengaja keluar air mata aja!” sergah gue.
“Ya maaf, Dek. Saya tahunya orang yang nangis biasanya keluar air, bukan batu. Seperti adik ini. Hehe. Ini pulpennya, terima kasih.” Bapak Obeng tersenyum ngeselin.
Beruntung sepanjang sisa perjalanan bus Bapak Obeng membiarkan gue larut dalam kesedihan gue.
***
“Ayah Naen bangcaaatthhh…!” jerit gue di atas kapal feri yang membawa kami menuju Bakauheni. Gue biarkan diri ini terbakar matahari, menatap megahnya laut dari atas geladak.
Gue tersenyum getir mengingat kenangan bersama Merari, saat kami membicarakan konsep rumah idaman, khususnya dalam hal mendesain kamar mandi dan jamban.
Kami sepakat membuat toilet duduk yang posisinya saling berhadapan. Kita akan mengejan bersama dengan orang yang kita cinta, sambil tertawa, sambil bercerita atau sambil menyusun rencana bagaimana caranya menghadapi invasi alien pemakan celana dalam dari Planet Kancutoz.
“Sebut gue gila, ide jamban couple itu buat gue romantis banget! Bahkan lebih dari sekadar romantisme! Cinta yang bertahan setelah kita saling mengetahui aroma feses adalah sebuah penerimaan dan keintiman yang paripurna, sayang!” seru Merari dengan binar mata yang sangat ‘unch unch hotahe’.
“Ada Obeng?”
Gue terkejut dan menoleh. Suara itu tidak asing. Tapi bukan kepada gue si bapak sok tahu itu kini bertanya.
“Apa, Pak?” jawab seorang ibu muda. Gadis kecil nampak merengkuh erat lengannya.
“Obeng. Kalau ada saya pinjam.”
“Oh, Maaf, enggak ada, Pak.”
“Kalau pulpen, ada?”
Perempuan itu kembali menggeleng.
“Kalau nomer hape? Hehe.”
Sejurus kemudian terdengar suara tamparan; dan si bapak tadi tercemplung ke lautan (Oke, bagian tercemplung dan dimakan ikan hiu ini hanya terjadi di dalam kepala gue).
“Saya gak nangis! Bapak jangan sok tau!” sergah perempuan itu. Namun siapa pun dapat melihat, matanya memerah dan basah; betul juga, orang menangis keluarnya ya air mata, bukan suriken ninja!
Ibu muda itu lantas menarik lengan putrinya, pergi menjauhi si Bapak Obeng. Gue jadi curiga, apakah Bapak Obeng ini memiliki kemampuan membaca raut muka orang-orang yang sudah bosan hidup?
****
Hari ini gue terhenyak saat menonton berita di televisi. Seorang ibu muda nekat mengajak putri kecilnya melompat ke laut dari sebuah kapal feri dalam perjalanan dari Bakauheni menuju Merak. Gue mengenal mereka.
Gue memandangi wajah Emak. Membayangkan betapa hancur hatinya jika harus menyaksikan berita yang sama, dengan gue sebagai pelakunya.
‘Emak enggak perlu khawatir … Selama masih ada Indomie di jam dua pagi, hidup ini masih layak dijalani!’ batin gue, berupaya mengokohkan hati, seraya menekuri wajah Emak yang nampak murung dan lelah. (*)
Penulis merupakan seorang cerpenis dan novelis. Karya buku terbarunya berjudul “Valterra”. Pemilik usaha kuliner “Ayam Geprek Dewek”. Tinggal di kota Serang, Banten.