Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Apa kesimpulan dari sebuah term pemimpin, kepemimpinan, dan pimpinan? Bisakah term ini merujuk pada perbedaan konsep yang akan dilakukan oleh setiap pemangku kebijakan di setiap daerah khususnya Halmahera Barat?
Sejauh ini, dari masa ke masa, Halmahera Barat berada di posisi “diam di tempat” dari adanya pergantian masa kepemimpinan kepala daerah. Bedanya terletak pada proses pemograman suatu visi misi, namun sejatinya, bentuk realisasinya kurang lebih sama. Segala upaya yang dilakukan hanya terobsesi pada ketergantungan dari term “pinjam-meminjam” alias “bapinjam”.
Bye design agar terlihat semerta-merta kontradiktif dari kepemimpinan sebelumnya hanya berhasil menjadikan sebuah kata pengantar bagi masyarakat Halmahera Barat yang doyan berpikir dan peduli untuk tetap setia dalam bernalar. Proses penalaran akan diulas sedemikian rupa lewat legacy kepemimpinan yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini dengan segala pandangan saya.
Jika dilihat dari periode ketiga dan keempat, konsep pembangunan yang direncakan kurang lebih memiliki kemiripan dalam urusan “pinjam-meminjam”. Hal ini mencerminkan adanya pembekuan berpikir dalam hal memajukan daerah. Halmahera Barat merindukan sosok pemimpin yang mempunyai legacy (warisan) kepemimpinan yang matang demi mewujudkan suatu daerah yang jauh dari ketertinggalan tanpa harus mewariskan budaya “pinjam-meminjam”.
Apa arti sebuah kepemimpinan? Apa yang menyebabkan beberapa orang pemimpin dikenang kepemimpinannya, sementara banyak yang lainnya tidak? Apa sesungguhnya yang membedakan kualitas mereka sehingga ada yang abadi tercatat dangan tinta emas sejarah, sementara yang lainnya tenggelam, sirna ditelan waktu? Jawabannya adalah legacy (warisan).
Legacy adalah nilai utama kepemimpinan yang membedakan apakah seseorang adalah pemimpin sejati atau hanya sekadar seorang penguasa. Lalu mengapa ada pemimpin yang mampu meninggalkan legacy hingga terus hidup dan abadi dalam memori publik, sementara yang lainnya tidak?
Pemimpin dengan legacy adalah seorang pemimpin besar. Ia adalah pemimpin yang hidup dengan nilai-nilai untuk kemudian mentransformasikannya dalam bentuk kebaikan dan kemaslahatan bagi banyak orang yang dipimpinnya. Baginya legacy bukan hanya pencapaian, tapi juga sebuah panggilan. Dengan demikian kekuasaan baginya berarti kesempatan untuk berbuat dan memberikan yang terbaik bagi kemajuan dan kemanusiaan. Tidak seperti kebanyakan penguasa yang larut barasyik-masyuk dengan wacana, retorika, dan politik citra, pemimpin dengan legacy memiliki kekuatan karakter dan keluasan visi untuk menerapkan manajemen berpikir dan bertindak konkret.
Mereka adalah manager of hope, yang membangun sekaligus mewujudkan harapan dengan aksi dan kerja nyata. Menolak menjadi pion bagi kepentingan individu dan kelompok, mereka tegas menempatkan “kepentingan besar untuk semua” di atas segala-galanya, apapun resikonya. Juga, tidak seperti kebanyakan elite tipikal newsmaker yang hanya bisa berwacana sambil duduk manis di atas ‘singgasana’, dan hanya tahu terima beres, mereka adalah worker yang selalu hadir memimpin langsung setiap derap langkah perubahan.
“Seperti apa aku ingin dikenang kelak oleh orang banyak, oleh rakyatku?” adalah pertanyaan besar yang selalu mendorong mereka untuk menjadi seseorang yang spesial. Bagi mereka pertanyaan ini adalah panggilan untuk mengaktualisasikan nilai paling mendasar dari eksistensi kita sebagai manusia sebagaimana sering kita ucap dengan kalimat: sebaik-baik manusia adalah manusia yang membawa kebaikan bagi manusia lain.
Sentimentil-leadership
Lantas bagaimana potret kepemimpinan di negeri kita saat ini yang senantiasa gonjang-ganjing dengan berbagai persoalan yang seolah tak kunjung terentaskan? Bagaimana masyarakat kita melihat legacy kepemimpinan ini sebagai sebuah nilai? Jika dicermati dari perspektif sosial, kita akan menemukan prakondisi mengapa legacy kepemimpinan menjadi sesuatu yang langka di negeri ini.
Adalah sebuah realitas bahwa banyak di antara kita yang masih belum selesai dengan persoalan aktualisasi diri –yang jika kita lacak akarnya sebenarnya tidak terlepas dari proses kulturalisasi yang cukup kuat, intens, dan merasuk ke alam bawas sadar kolektif kita akibat pembungkaman selama puluhan tahun di bawah politik restriksi rezim Orde Baru.
Aktualisasi diri tentu saja adalah kebutuhan mendasar setiap manusia. Namun dalam konteks kepemimpinan, aktualisasi diri individu semacam ini tidak bisa tidak harus lebur, diarahkan untuk, bagi, dan demi kebaikan sosial, karena individu pemimpin dalam hal ini dengan sendirinya akan menjadi pusat dari ekspektasi sosial akan kebaikan tersebut. Namun yang justru berkembang adalah aktualisasi diri yang lebih berporos pada semangat kontestasi yang ujung-ujungnya mengarah pada pelampiasan kehendak ego untuk show-off.
Alhasil bukannya melihat legacy sebagai pencapain puncak, kita malah terobsesi dengan citra kesuksesan yang cenderung material-simbolis dengan segala prestise yang kemudian kita kait-kaitkan dengan “kesan-kesan permukaan” seperti posisi, jabatan, gelar keilmuwan, image keberkuasaan dan superioritas sebagai manusia teuleubeh, serta kepemilikan materi –yang syukur-syukur bukan hasil korupsi.
Sementara itu dalam bentuk yang lain, sebagaimana hampir saban hari kita lihat dan dengar, kepemimpinan nirlegasi ini juga tampak dari fenomena sentimentil-leadership dengan karakternya di satu sisi ingin terlihat stylish, intelek dan gandrung dengan politik citra, namun di sisi lain sangat rentan, rapuh, sentimentil, dan melankolis ketika diterpa kritik.
Alih-alih menjadi jawaban atas segala asa dan harapan, malah mengeluh, curhat minta perhatian, dukungan, dan pengertian rakyat. Alih-alih mencurahkan energi untuk menjawab berbagai persoalan bangsa yang semakin akut, malah kehilangan fokus dan terjebak dengan lebih banyak berbicara tentang diriku, keluargaku, kelompokku, kroniku, dan partaiku. Berharap legacy dari kepemimpinan seperti ini?
Dengan mentalitas dan etos yang berpusat pada “aku”, yang melahirkan baik narsistic dan sentimentil-leadership seperti disebutkan di atas, maka pencapaian tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan (hidup) orang lain, yang menghubungkan satu orang pemimpin dengan jutaan rakyatnya, melainkan dengan ego (penguasa) dengan segala watak, motif, hasrat, dan ambisinya. Persis seperti anak-anak yang tampak berkuasa dan suka egois dengan mainannya, tingkat evolusi kesadaran kita masih baru sebatas itu. Kesadaran kanak-kanak; dan mirisnya tidak hanya mewabah pada golongan awam dan kelas pelaku politik mainstream, bahkan immaturity ini juga jamak diidap oleh orang-orang yang secara sosial disegani sebagai kelas “orang-orang hebat dan pintar”, dan mendapat tempat terhormat di mata publik sebagai “para pencerah”.
Wabah mental ini tampak semakin kronis seiring dengan trend luas dan massifnya keterlibatan kelas cendekiawan, kaum terpelajar, orang-orang well-educated, yang mengisi posisi kepemimpinan, baik itu kepemimpinan politik maupun kepemimpinan di lembaga-lembaga birokrasi (pemerintahan). Meski tidak semua, namun cukup banyak diantara mereka masuk dalam kategori cendekiawan struktural yang memiliki kencenderungan –karena memang kultur politik dan birokrasi kita membuka ruang untuk itu– membangun karier baik di lembaga-lembaga politik maupun birokrasi; sebuah orientasi yang tentu sangat jauh berbeda dengan cendekiawan di luar negeri sana yang membangun idealisme dan reputasi keilmuwannya dengan melahirkan berbagai prestasi ilmiah.
Gagal membawa perubahan
Jika mau dirunut cukup panjang daftar cendekiawan struktural di negeri ini yang beruntung mendapat posisi dan jabatan prestisius baik politis maupun di birokrasi. Sampai pada titik ini tentu tidak ada yang salah, bahkan untuk beberapa alasan justru positif sebagai bentuk kontribusi mereka terkait isu-isu pembangunan dan demokrasi. Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika mereka gagal menjadi aktor utama perubahan, representasi dari semangat pencerahan, baik karena faktor inkompetensi teknis dan mismanajemen yang relatif masih bisa kita pahami, maupun karena alasan yang jauh lebih serius, orientasi berbalut arogansi: korupsi.
Alhasil setelah lengser, mereka diingat orang tidak lebih hanya sebagai mantan pejabat tanpa meninggalkan legacy apapun yang monumental untuk dapat dirasakan manfaatnya oleh orang banyak –dan sepertinya memang mereka tampak terlalu abai untuk peduli karena merasa sudah cukup puas dengan predikat semacam itu dengan segala syafa’at yang sempat mereka peroleh– untuk kemudian hilang dari ingatan publik.
Sementara yang lain lebih tragis, jatuh untuk kemudian dicap gagal atau malah dikenal luas sebagai sosok koruptor calon penghuni “hotel prodeo” dengan berbagai kasus rasuah yang disangka dan dakwakan kepada mereka.
Tidak memenuhi ekspektasi kita untuk membawa negeri ini keluar dari keterpurukan, mereka gagal menunjukkan kebesaran yang terkesan bahkan terlihat silau oleh banyak orang melekat pada diri mereka. Jiwa mereka ternyata tidak cukup besar untuk peduli dan mau berpikir tentang legacy.
Sungguh sayang. Padahal jika mereka mau, tersedia sebuah jalan, prinsip, solusi alternatif yang sangat mudah agar jiwa mereka bebas-tercerahkan: “saya akan melakukan yang terbaik dengan apa yang saya bisa, kalaupun kemudian saya tidak mampu dan gagal, maka tidak ada pilihan yang lebih terhormat bagi saya selain mengundurkan diri”.
Tapi tampaknya mereka terlalu lupa untuk menyadari bahkan pemimpin yang bersedia turun tahta, mundur dari jabatan karena merasa tidak mampu atau karena kesalahan yang dilakukannya, pun dapat dan layak diapresiasi sebagai pemimpin yang meninggalkan legacy yang tidak kurang mulianya karena dalam kelemahan dan kealpaaanya mereka memiliki kekuatan mental untuk memenangi perang melawan libido primitif akan harta dan takhta, serta oportunisme “terlalu sayang” yang belum tentu sanggup dilakukan oleh semua orang, demi mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang membuat kita berharga sebagai manusia: etika, sikap legowo, keteguhan, keberanian, kehormatan, kekuatan dan kebesaran jiwa.
Mereka turun dengan legacy karena menjadi sedikit orang yang gagah berani memilih sebuah langkah simpel namun terasa sangat berat, santing, dan belum tentu mau dilakukan oleh kebanyakan orang lain; sekali lagi demi sebuah nilai.
Namun sayangnya mereka masih tampak terlalu pelit untuk memberi kita sebuah pelajaran berharga bahwa melampaui kuasa yang hanya sementara, legacy (kepemimpinan) semata-mata adalah persoalan nilai, sebuah mahakarya, kebaikan universal yang akan selalu hidup dan langgeng dalam memori dan sanubari manusia.(*)
Penulis merupakan Pemuda Halmahera Barat. Kader GMKI.