Tien Suryantini*
PIRAMIDA.ID- Baru pertama kali ini aku dibuat pusing oleh mobil. Hampir setengah seharian baru selesai. Minta ampun! Ada mobil begini jorok. Orang yang memakai agaknya sama sekali tidak pernah merawat. Bagian yang ringan-ringan saja, seperti radiator, airnya sampai hampir kering dan begitu kotor. Hampir seluruh mesin ditutupi tanah dan debu yang sudah mulai mengerak. Tali kipas hampir putus. Oli mesin dan oli rem hampir kering. Orang macam apa sih yang memakai mobil ini?
Setelah selesai, aku menutup kap dan mematikan mesin. Kulihat sekeliling area pembetulan. Tinggal satu mobil jip Daihatsu Taft diesel dengan bodi yang masih gres. Mobil yang lain sudah dipindahkan ke bagian pencucian. Berarti sudah selesai ditangani.
Aku mendekati jip itu dengan rasa heran. Melihat kondisinya rasanya tak mungkin mobil ini ada kerusakan mesin. Aku mencari kertas pesanan servis di selipan kaca. Tidak ada. Aku mencari ke kolong mobil, takut ditiup angin. Juga tidak ada.
Aku menatap sekeliling bengkel, mencari Shinta yang biasanya melayani pesanan servis. Tapi dia, seperti juga teman-teman yang di bagian pencucian tidak ada. Pasti mereka sedang pergi makan siang di warung seberang.
Kulirik ke bagian dalam jip. Di sana pun tak ada kertas. Tapi kunci mobil tergeletak di dashboard. Aku masuk dan mencoba menghidupkan mesin. Benar, suaranya halus mulus. Aku semakin heran. Lantas, kenapa mobil ini di area servis ini?
Aku turun dari mobil. Namun, ketika aku mau menutup pintu tiba-tiba seorang laki-laki datang mendekat dengan senyum di bibir. Sejenak aku terpana. Lelaki itu adalah orang yang selama sebulan ini biasa saya lihat parkir di gedung seberang. Oalah.. pantas saya merasa mengenal mobil ini.
Biasanya, sebelum meninggalkan mobilnya ia tersenyum sambil setengah melambaikan tangan ke arah bengkel, seolah mau menitipkan. Walau tidak kenal dan tidak ada hubungan apa-apa, aku suka memperhatikannya. Terus terang, aku menyukai senyum itu. Tampak ramah dan tulus.
Senyum seorang pria bukan sesuatu yang langka bagi saya. Sebagai teknisi bengkel perempuan di sebuah bengkel yang cukup besar, setiap hari saya menghadapi banyak senyum. Ada senyum heran, ada senyum kagum, ada senyum meremehkan.
Ya, maklum, montir perempuan seperti saya termasuk langka di Indonesia. Kalau pun perempuan kerja di bengkel, biasanya di bagian penerimaan, pencucian, atau kasir. Jarang ada yang menangani kerusakan mesin seperti saya.
Umumnya saya tidak menyukai senyum para lelaki yang datang ke bengkel ini. Karena selain senyum meragukan atau menyepelekan, mayoritas adalah senyum yang genit dan penuh goda. Atau senyum menyebalkan yang menakar bagian-bagian tubuh perempuan.
Tetapi senyum laki-laki ini tidak seperti itu. Sejak pertama melihatnya, aku merasa seperti ada yang terasa lain. Senyum itu tampak tulus dan ramah. Karena ia memang orang yang suka senyum. Perasaanku menangkap, dia memang orang yang baik dan…
“Selamat sore, Windi.”
“Se…lamat sore, Pak!” Aku menjawab agak gugup. Aku bingung, karena lelaki itu tahu namaku. Kedua, aku merasa bersalah karena sudah sembarangan masuk ke mobilnya. “M… maaf, Pak, saya kira mobilnya mau diservis. Tidak ada pesanan servisnya….”
Laki-laki itu kembali tersenyum. “Yang ini memang tidak ada yang rusak. Cuma tadi pagi dipakai menarik mobil itu,” Ia menunjuk Jimmy Katana merah maron yang baru saya tangani.
“Oh, itu mobil bapak? Tadi saya yang pegang.”
Lelaki itu kembali tersenyum. Nah, kan… dia begitu murah senyum. Senyum yang ramah dan tulus itu. “Iya… tadi saya lihat dari seberang. Parah ya, rusaknya?”
Aku kembali kaget. Dia melihati aku bekerja dari seberang? “Ng… nggak kok, Pak. Cuma agak banyak yang diganti. Tali kipas, oli mesin, semua busi, air radiator, oli rem… “
“Wah, berarti Windi emang montir yang pinter…”
Ucapan dan senyum itu membuat aku kembali tergetar.
“Itu memang mobil sudah butut,” ujarnya ringan. “Maklum, mobil proyek. Yang makai ganti-ganti. Sudah rusak, ditongkrongkan begitu aja. Karena dilelang murah, ya kuambil aja. “
“Tapi mesinnya masih bagus kok, Pak. Asal dirawat aja,” kataku.
“Ya, sudah… terimakasih ya, Windi sudah menghidupkan mobil itu.”
“Sama-sama, Pak. Oya, sebentar, Pak….” Aku bergeras meraih kertas tanda servis dari selipan wiper Jimmy. “Ini daftar servisnya, tolong bapak bayar di kantor.”
“Oya. Terimakasih,” ia menerima berkas servis, tak lupa melemparkan senyumnya yang bagus, lalu melangkah menuju kantor bengkel.
Aku melangkah mendekati dispenser di sudut bengkel, mencari minum. Berjam-jam bekerja, rasanya begitu haus. Dari tempat itu saya melihat laki-laki itu keluar dari kantor. Sebelum naik ke Daihatsu Taft-nya ia kembali melontarkan senyum ke arahku. Sebentar kemudian mobil itu meninggalkan bengkel dan menghilang.
Pada saat itulah aku seperti tersadar dari mimpi. Tadi laki-laki itu menyebut namaku. Dari mana dia tahu? Dan tadi ia melihatiku memperbaiki mobilnya dari seberang. Tiba-tiba hatiku seperti dihinggapi rasa haru. Dan… rasa haru itu telah pergi bersama kepergian lelaki itu. Eh… kenapa aku jadi sinting begini?
Kugelengkan kepalaku seperti ingin mengibaskan semua kekonyolan itu, lalu melangkah mendekati motor bebek bututku. Sudah hampir pukul 1 siang. Ninuk pasti sudah pulang sekolah. Putriku itu pasti sedang menungguku untuk makan siang bareng.
*
Semenjak itu saya tidak lagi melihat lelaki aneh itu. Ia tidak pernah lagi memarkir mobil sambil tersenyum dan melambaikan tangan di depan gedung di seberang jalan. Bahkan mobil Jimny Katana miliknya masih terparkir di sudut bengkel.
Diam-diam aku merasa kehilangan, karena tak lagi melihat senyum yang menyejukkan itu. Menyadari itu, tiba-tiba aku jadi merasa malu. Ini pertama kalinya aku berpikir tentang seorang lelaki, sejak suamiku meninggal tiga tahun lalu. Tuhan, ada apa denganku?
Yang bisa kutahu dari teman pekerja bengkel lelaki usia sekitar 30 tahun itu adalah insinyur yang menangani pemasangan lift di gedung baru di seberang jalan itu. Sekarang dia pindah ke kota lain untuk menangani proyek yang sama. Aku takut bertanya lebih banyak. Aku takut dicurigai dan ditertawakan sebagai janda muda yang gatalan dan tidak tahu diri.
Menyadari semua itu, aku jadi terkenang almarhum suamiku. Kami dulu berkenalan ketika sama-sama sekolah di STM Mesin. Sekolah yang kupilih dengan nekad, karena niat ingin cepat bekerja. Dengan empat adik laki-laki, bukanlah ayah dan ibuku tak mungkin menyekolahku tinggi-tinggi?
Ternyata, setelah lulus aku bukannya bekerja, malah digiring Wanto ke pelaminan. Katanya, ia takut aku disabet orang. Lebih dari itu, karena dia sudah punya kerja pasti. Sejak praktek lapangan, dia bekerja di bengkel ini. Pak Pasaribu suka sama dia, karena rajin dan tidak banyak tingkah.
Selain kerja di bengkel ini, di rumah suamiku suka menerima perbaikan mobil para tetangga. Kebetulan, halaman rumah mertuaku luas. Aku suka membantu suamiku dan jadi ikut pintar. Harapan kami cerah, Kami bisa menabung, dan berencana membangun rumah kecil. Mertuaku sudah memberikan 200 meter dari tanah pekarangannya untuk kami.
Tapi takdir menghempaskan semua impian indah kami. Tiga tahun lalu motor suamiku ditabrak truk ketika pulang dari kerja. Tubuhnya terhempas ke pohon di pinggir jalan, dan tewas di tempat. Aku merasa langit runtuh menimpaku. Beruntung aku punya mertua yang baik, yang tak henti memeluk dan mengajakku istighfar.
Beruntung, Pak Pasaribu, pemilik bengkel ini baik. Mengetahui aku lulusan STM Mesin dan sering membantu suamiku memperbaiki mobil, ia menawari aku bekerja di bengkel, menggantikan posisi kerja suamiku sebagai montir. Jadilah aku montir satu-satunya perempuan di bengkel ini.
Aku senang kerja di bengkel ini. Pak Pasaribu orang yang baik. Selain itu, di rumah aku masih tetap sering menerima perbaikan mobil dari tetangga. Aku merasa, masa depanku dengan putriku akan terjamin dengan keterampilanku.
Satu hal yang sering membuatku sedih, banyak orang yang suka menggodaku karena aku janda muda. Baik dengan isyarat maupun dengan terus terang. Bahkan temanku montir di bengkel ini pun ada yang begitu. Tapi aku pernah tak mau menanggapi. Sampai sekarang aku belum pernah berpikir lagi soal laki-laki.
Kalau ada laki-laki yang membuat hatiku seperti tergetar, itu adalah laki-laki dengan senyum yang tulus dari gedung di seberang itu. Tapi aku tahu itu hanya sekedar perasaan senang. Aku tahu diri. Dia bukan kelasku.
Seperti pagi ini. Gedung kantor baru di seberang itu tampak ramai, banyak karangan bunga. Agaknya peresmian pemakaian gedung itu. Dadaku jadi berdebar. Apakah laki-laki dengan senyum menawan dan tulus itu itu akan datang? Bukan apa-apa, hanya ingin melihat senyumnya. Tapi aku tiba-tiba merasa malu sendiri dengan tanda tanya dan keinginan itu.
Ingat laki-laki dengan senyum yang tulus itu, aku jadi menoleh ke jim Jimmy yang masih terparkir di sudut bengkel. Mobil itu sudah jadi berdebu lagi. Kenapa mobil itu tak kunjung diambil?
Lihat mobil itu, aku jadi ingat kembali almarhum suamiku. Katanya, kalau rumah kami sudah selesai, dia mau membeli sebuah jip kecil. Mobil itu akan diisi peralatan bengkel. Jadi dia bisa mendatangi pelanggan ke rumahnya, semacam servis keliling.
“Hey… ngelamuni apa?” tiba-tiba Shinta menusuk bahuku dengan bolpoin di tangannya. “Dipanggil Pak Pasaribu, tuh?”
“Ada apa?” Aku menatap heran.
“Tauk! Tuh, bapak di kantor.”
Aku melangkah menuju kantor, sambil mengingat-ingat barangkali ada salah. Tapi, begitu aku membuka pintu ruang kerjanya, Pak Pasaribu tersenyum lebar. “Ada titipan untuk Windi,” katanya sambil menyodorkan sebuah amplop coklat.
“Dari siapa, Pak?”
“Dari anakku.”
“Anak bapak…?”
Aku menatap bingung.
“Yang nitip mobil Jimny di luar itu. Bukalah…”
Jadi… jadi, lelaki dengan senyum yang tulus itu anak Pak Pasaribu? Aku membuka amplop dengan hati gemetar. Ada sebuah BPKB dan STNK, dan selembar surat kecil tanpa amplop.
Windi,
Aku tidak sempat mampir ke bengkel, karena harus berangkat ke Jepang. Aku membeli mobil itu dari pool karena murah. Sayang kalau rusak begitu aja di situ. Tapi aku bingung juga buat apa kubeli. Sekarang aku memutuskan memberikan mobil itu kepada Windi. Jangan mengartikan pemberian ini sebagai hal yang bukan-bukan. Tapi juga bukan pemberian yang cuma-cuma. Anggap saja sebagai bonus karena Windi telah bekerja dengan baik di bengkel bapak saya. Windi wanita yang Tangguh dan pantas dihormati.
Anggaplah itu sebuah penghargaan, walau sifatnya pribadi. Pakailah untuk membawa putrimu Ninuk jalan-jalan. Semoga membuat hatinya senang.
Ardo Pasaribu
Jantungku berdetak kencang seusai membaca surat itu. Bahkan nama putriku pun dia tahu. Aku tak tahu harus gembira atau sedih. Bibirku tersenyum, tapi air mataku berhamburan.
Penulis merupakan pegiat LSM Edukasi Pasar di Depok.
Cerpen ini dimuat di Tabloid WANITA INDONESIA, Juni 1977