Ekaristi Sidauruk*
PIRAMIDA.ID- Wabah virus corona atau sering disebut COVID-19 sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bidang pendidikan, salah satunya, mengakibatkan kurang maksimalnya proses belajar mengajar karena dilakukan secara daring/online.
Dalam bidang sosial-budaya, setiap orang diupayakan jaga jarak (social distancing/phsycal distancing), tidak bersalaman apalagi berpelukan. Pengaruh paling besar adalah dalam aspek ekonomi.
Banyak perusahaan yang mengurangi pekerja/karyawan akibat pendapatan menurun, petani mengeluh harga penjualan barang menurun, namun harga pembelian di pasar tidak turun, harga pupuk naik bahkan langka.
Siapa yang salah? Kita tidak perlu menyalahkan orang lain, mari saling bekerjasama memajukan perekonomian negara kita.
Salah satu cara untuk bertahan dalam situasi saat ini dan dapat dilakukan oleh semua kalangan adalah bertani. Bertani tidak harus dilakukan di lahan yang luas; kita dapat memanfaatkan lingkungan rumah yang layak untuk bercocok tanam. Iya, contohnya memanfaatkan halaman rumah.
Mungkinkah? Sangat mungkin. Dengan lahan sempit kita juga dapat mendapatkan penghasilan tambahan. Bapak Buha Simbolon adalah salah seorang pelakunya.
Bapak Buha Simbolon bekerja di Caritas Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Medan dan Istrinya bekerja sebagai guru di sekolah SLB-C Santa Lusia Pematangsiantar. Perbedaan tempat kerja mengakibatkan mereka harus tinggal di dua tempat, yaitu Medan dan Pematangsiantar. Dalam bahasa Batak sering disebut “Mardua Huta”.
Bekerja dari rumah atau work from home memberi kesempatan kepada bapak Buha Simbolon menikmati lebih banyak waktu bersama istrinya, Santa Lumbantoruan tinggal di Pematangsiantar.Kesempatan ini juga digunakan untuk menyulap halaman rumah mereka menjadi lahan pertanian yang sejuk dipandang mata.
Lahan sempit tidak menjadi penghalang untuk berkreasi. Mereka memanfaatkan polybag, botol plastik bekas dan tanah sisa pembakaran sebagai media tanam.
Selain itu, sisa-sisa makanan, air bekas cucian beras dan kulit buah-buahan juga dimanfaatkan sebagai pupuk organiknya. Di lahan yang berukuran kurang lebih 9 x 3 meter itu, Bapak Buha Simbolon sudah dapat menanam kira-kira 2000 batang sayur dan beberapa batang cabai merah dan cabai rawit. Bukan hanya itu, dalam polybag dengan diameter 20 cm juga ditanami beberapa pokok timun dan tomat ceri (“rengge-rengge” dalam bahasa Batak).
Setelah 7 minggu sayur dan timun sudah dapat dipanen, dan hasil panennya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari selama 1 minggu untuk 2 rumah tangga. Tidak terlalu banyak, namun cukup dan lebih terjamin kualitas higienisnya karena banyak menggunakan pupuk organik.
Selain itu kegiatan ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai pupuk organik; hemat waktu karena kegiatannya dilakukan disela-sela waktu bekerja dari rumah; menghemat pengeluaran karena tidak perlu pergi ke pasar untuk belanja sayuran, dan yang paling penting, yakni sangat mengurangi potensi penularan virus COVID-19 karena tidak pergi ke pasar dan melakukan transaksi jual-beli menggunakan uang.
Apakah Anda dan saya dapat melakukannya? Iya, pasti.
Mari kita bersama-sama melakukannya dari lingkungan keluarga kita. Dengan memanfaatkan lahan di sekitar rumah kita dapat menyalurkan bakat dan hobi bertani. Kita juga mengurangi limbah plastik dan pencemaran lingkungan dengan memanfaatkan botol plastik bekas, plastik gula bekas, peralatan rumah tangga yang sudah tidak dapat digunakan di rumah sebagai media tanam dan sisa-sisa makanan sebagai pupuk.
Kegiatan ini juga salah satu cara mendukung Ensiklik Laudato Si oleh Paus Fransiskus.
Mengapa kita harus menjaga kelestarian lingkungan?
Menjaga kelestarian lingkungan adalah salah satu cara untuk menjaga bumi dan bumi adalah rumah kita bersama. Dalam nyanyian yang indah, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita dan seperti Ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.
Saat ini rumah kita sedang menderita. Polusi udara terjadi di mana-mana, bukan hanya di kota besar akibat asap kendaraan dan pabrik, di pedesaan juga sudah banyak pencemaran terjadi akibat pembakaran hutan sembarangan. Persediaan air bersih semakin berkurang akibat limbah dan sampah yang dibuang ke sungai/air.
Banjir semakin sering terjadi akibat banyak hutan sudah gundul untuk pembukaan lahan kebun kelapa sawit. Tanah sudah tandus akibat penggunaan zat kimia berlebihan oleh para petani.
Bagaimana kita harus mengobatinya?
Entah beriman atau tidak, kita sekarang sepakat bahwa bumi pada dasarnya adalah warisan bersama, buahnya harus menjadi berkat untuk semua. Bagi orang-orang beriman ini merupakan soal kesetiaan kepada Sang Pencipta, karena Tuhan lah yang menciptakan dunia untuk semua. Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia agar menjadi sumber kehidupan bagi seluruh anggotanya tanpa kecuali. (Ensiklik Laudato Si, hal. 70).
Mari kita bersama-sama memulai dari hal yang paling sederhana, yaitu membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan plastik, memanfaatkan barang bekas yang masih layak digunakan, mengolah sampah yang masih bisa digunakan seperti sampah organik, dan menanam pohon/tanaman di pekarangan rumah.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2020.
Selamat mencoba bertani di pekarangan rumah dan mencoba pertanian organik.
Salam sehat dan tetap semangat.
Penulis merupakan salah satu tenaga pendidik di SLB-C Santa Lusia Pematangsiantar.