PIRAMIDA.ID- Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan lingkungan pendidikan belum bebas dari kekerasan. Itu terlihat dari kenaikan jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan yang meningkat dari 2015 sebanyak tiga kasus menjadi 15 kasus pada 2019. Total ada 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015-2020.
Siti memperkirakan jumlah kasus di lapangan lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan. Sebab, pada umumnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak dilaporkan karena malu dan tidak tersedia mekanisme pengaduan.
“Jumlah ini juga menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi,” jelas Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers daring, Selasa (27/10/2020).
Siti Aminah menambahkan kekerasan terbanyak terjadi di universitas (27 persen), disusul pesantren (19 persen) dan SMU/SMK (15 persen). Adapun bentuk kekerasan tertinggi yaitu kekerasan seksual sebanyak 45 kasus yang terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Sebagian kasus kekerasan seksual disertai dengan kekerasan psikis dan diskriminasi dalam bentuk korban dikeluarkan dari sekolah.
“Kekerasan di universitas, modusnya menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian dengan mengajak korban keluar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi, baik di dalam atau di luar kampus,” tambah Siti.
Sementara modus kekerasan di lingkungan pesantren pada umumnya berupa tindakan pemaksaan perkawinan dengan kebohongan untuk memindahkan ilmu, diancam akan terkena azab, dan hafalannya akan hilang. Sedangkan di tingkat SMU/SMK masih terdapat korban kekerasan seksual dikeluarkan dari sekolah atas perkosaan yang menimpanya.
Pelaku kekerasan terbanyak dilakukan guru atau ustadz (22 kasus), dosen (10 kasus), kepala sekolah (8 kasus) dan peserta didik lain (6 kasus). Untuk kepala sekolah, berkaitan dengan kebijakan sekolah yakni mengeluarkan siswi yang menjadi korban kekerasan dari sekolah atau melarang ikut ujian nasional.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menambahkan salah satu hambatan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan adalah impunitas terhadap pelaku dengan alasan menjaga nama baik institusi. Menurutnya, korban yang menempuh jalur pidana, kasusnya juga kerap mengalami penundaan yang berlarut.
“Itu menimbulkan kelelahan baik bagi korban maupun pendamping, dan menyebabkan korban-korban lain memilih bungkam atas kekerasan seksual yang menimpanya,” jelas Alimatul Qibtiyah.
Alimatul merekomendasikan agar lembaga pendidikan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Selain itu, ia meminta kebijakan sekolah berpihak kepada korban kekerasan seksual atau perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan untuk dapat menyelesaikan pendidikan.
Pengacara publik LBH Surabaya, Yaritza Mutiara juga menuturkan proses hukum kasus kekerasan seksual di kepolisian cenderung berbelit. Hal ini seperti kasus di salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur yang ia advokasi. Menurutnya, kasus tersebut belum dilimpahkan ke kejaksaan meskipun sudah satu tahun dilaporkan ke aparat.
“Ketika dia melapor, sampai sekarang tidak ada kejelasan. Bahkan dia merasa apakah kasus ini terhenti sampai di sini atau bagaimana,” tutur Yaritza Mutiara.
Yaritza juga menambahkan aparat penegak hukum juga kurang berpihak kepada korban kekerasan seksual. Hal tersebut terlihat dari permintaan visum yang berulang kepada korban yang dapat berpotensi trauma.
Source: VOA Indonesia.