Oleh: President Laef*
PIRAMIDA.ID- September 2022 adalah September hitam yang saya jejaki di kota yang penuh sejarah dan budaya. Kota itu saya samarkan dengan nama Kota Kelam. Kebetulan terakhir kalinya saya berada di kota ini di bulan Oktober yang saya asumsikan sebagai Bulan Penuh Kelam, terlintas, kota ini saya namakan Kota Kelam.
Di hari pertama, 21 September 2022 saya dan kawan-kawan saya yang dari kota di mana kita berasal menginjakkan kaki di kota kelam ini. Awalnya semua baik-baik saja, karena pandangan yang menghiasi jalanan dan gang dipenuhi oleh mahasiswa. Dengan semangat dan rasa bangga, bahwa kita akan bertemu dengan ragam cakrawala berpikir yang lahir dari teman-teman baru di kota ini.
Kota Kelam ini berdiri di abad ke-17. Berdasarkan cerita turun temurun, orang-orang yang mendiami pemukiman para leluhur ini terdiri dari 9 (sembilan) kampung. Irfan Ahmad, (Jurnal ETNOHISTORI, Vol. IV, No. 1, Tahun 2017)
Kota ini awalnya kota yang penuh dengan sejarah dan latar belakang budaya yang membuat M. Adnan Amal tertarik untuk menulisnya dalam buku “Kepulauan Rempah-Rempah”. Sontak saya terkejut ketika saya menginjakkan kaki di kota ini yang tidak sebanding dengan aksara M. Adnan Amal. Wajah kota dan kehidupan sosial masyarakat di sini telah berubah drastis yang tidak lagi menitikberatkan pada budaya dan sejarah sebagai nafas kehidupan sosial. Hampir mirip makhluk mitologi Bogeyman, momok mengerikan.
Masyarakat di kota ini semakin berdampingan dengan seksual, terlebih khususnya masyarakat kampus yang katanya kaum intelek. Seringkali, masyarakat kampus di kota ini berdendang ala filosofi barat, membicarakan pembebasan atas nama kebenaran, budaya, dan cinta, tetapi berperan sebagai maskulin androgini yang menyeramkan.
Mahasiswa Pecinta Seksual
Sejarah mencatat, mahasiswa dapat merobohkan pemerintahan yang dzolim dan berhasil membawa perubahan. Dikutip dari kompas.com, gerakan mahasiswa ada di Indonesia sejak tahun 1908 dan melebar di era reformasi 1998 dan masih bertahan hingga kini dan mungkin sampai di masa akan datang.
Berbeda dengan mahasiswa pecinta seksual yang berada di kota kelam ini, mereka sering melakukan agenda-agenda terselubung dengan pasangan, berdiam di gelap malam yang nyaman, menghembuskan nafas di atas ranjang, dan menikmati alarm panjang perhelatan tanpa menimbang masa depan. Setelah selesai, keesokan harinya mereka ke kampus dan kembali berbincang menggunakan kedok keadilan dan kebenaran. Aktivitas itu terus diberlakukan sepanjang hari.
Hal yang saya tuliskan bukan tanpa dasar, dengan waktu yang cukup singkat, saya sering duduk bersama dengan mahasiswa yang berstudi di kota ini. Tak banyak cerita yang saya dapatkan, hanya saja dari sebagian pembicaraan, banyak yang lebih mendiskursuskan tentang perempuan dan seksual. Paham-paham liar yang mengajak saya untuk berani mengatakan bahwa ini adalah zaman edan mahasiswa ajaib yang bisa berubah menjadi manusia yang minim pengetahuan. Bukan lagi intelektual yang dicerminkan melainkan pencitraan. Budaya literasi rasanya telah lenyap dilingkungan ini.
Hari demi hari yang terdengar di telinga kiri dan kanan saya hanyalah perempuan dan seks. Inilah yang telah menjadi budaya yang melekat pada kehidupan mahasiswa di sini. Kurang lebih aktivitas ini dijadikan sebagai gaya hidup yang tidak bisa dilepas-pisahkan. Kondisi tragis ini sering dijadikan sebagai ajang gaya-gayaan, misal; percakapan yang lahir dari pertemanan di sini adalah, ”sudah berapa banyak perempuan yang sudah kau tiduri? Kalau boleh kita gantian ya tidurnya! Atau bagi-bagi jatah dong biar adil!!”
Betapa bobroknya mental mahasiswa di kota kelam ini. Bahkan, tidak lengkap ketika melewatkan satu malam tanpa berhubungan seksual dengan pasangan pacarnya.
Perempuan di Sudut Kampus
Sepanjang lorong dan gang terdapat sekian banyak perempuan yang lalu-lalang untuk berangkat ke kampus dan membawa senjatanya ketika berada di ruang kelas kampus. Mulai dari laltop, buku, bahkan tugas-tugas kampus dalam bentuk makalah yang telah dijilidnya. Paras-paras cantik yang menghiasai taman kampus dan warung-warung makan seakan mengundang para aktivis kiri yang bertopeng pada tulisan di atas.
Dari sekian banyaknya perempuan, ada satu perempuan yang menarik perhatian saya, dia terlihat sederhana, berpakaian acak mirip lelaki, sering sendirian ketika beberapa kali saya melihatnya di kampus. Sebelum tulisan ini dirilis, saya telah meminta izin kepada dia untuk menulisnya, saya sungkan menyebutkan namanya.
Setelah berkenalan, saya memulai obrolan dengan dia tentang tanggapan dia selama berstudi di kota kelam ini. Sebelum dia menceritakan, terlebih dahulu dia mencurahkan isi hatinya, terlihat seperti anak ayam rindu pada induknya. Dia bercerita tentang kekasihnya. Ungkapan sakit hatinya tentang kekasih yang telah berhubungan seks dengannya, tiba-tiba kekasihnya itu dipergoki olehnya sedang berhubungan seks dengan perempuan lain di kamar kos-nya. Tersontak saya kaget, dengan biasanya perempuan ini menceritakan inti sari hubungannya bersama kekasihnya kepada saya yang baru kenal beberapa menit lalu.
Inilah yang menguatkan saya, bahwa seksualitas di kehidupan masyarakat dan mahasiswa begitu dekat. Dengan segala rasa malu, saya menyuruh dia untuk menghentikan pembicaraan dia tentang hubungan dia dan kekasihnya. Karena itu adalah hubungan yang mengandung private kata saya.
Selesai dari kisah-kasihnya, dia bercerita tentang pengalaman dia selama berada di kehidupan kampus. 2020 adalah tahun pertama kali dia memasuki dunia kampus. Di awal semester dia mulai berkenalan dengan sosok lelaki senior kampus yang tadi dia ceritakan sebagai kekasihnya. Setelah saya mendengar, cerita ini sama saja dengan cerita di atas, dan benar dugaan saya, bahwa semuanya berpusat pada hubungan seksual. Disini saya tidak menyalahkan dia sebagai perempuan, karena saya sadar semua ini karena ulah lelaki yang menanam paham maskulin untuk memasung kaki hawa.
Dengan rasa kasihan, saya coba mencari tahu nama kekasih perempuan ini dan tertarik untuk berbincang dengannya. Dengan rasa dendam, perempuan ini memberi tahu nama kekasihnya. Sontak, saya berpamitan kepada perempuan ini dan langsung mencari kekasih yang sudah diceritakannya tadi.
Aktivis Kidal yang Mengamini Seksual
Halo bro, sapa saya ketika bertemu lelaki yang diceritakan oleh perempuan disudut kampus tadi, nama saya Ticklas, biasa disapa President Laef, kata saya ketika bersalaman untuk berkenalan dengan lelaki ini. Oh iya, nama saya Budi (nama samaran), saya mahasiswa akhir dari program studi teologi. Terkejut ketika mendengar prodinya. Lanjut saya berbincang dan mencoba untuk mengawali cerita dengan kaum Kristen yang terdiaspora di Israel dan para eksodus di Roma untuk menarik perhatian dia yang sesuai dengan basicnya.
Lama-kelamaan dia mulai terbiasa dengan ajakan obrolan saya dan mulai meninggalkan topik pembahasan kita. Budi ajukan pertanyaan ke saya; sudah lama ya datang ke kota ini? Saya menjawab belum lama, saya ke sini karena ada urusan studi. Budi melanjutkan, kalau sudah sampai di kota ini, harus berani meniduri perempuan di kota ini. Apalagi kalau sampai ke kampus ini, harus bisa membawa satu perempuan kampus yang kuliah di sini. Sambil tertawa Budi melihat saya.
“Saya ini sudah banyak perempuan yang mau tidur dengan saya, bahkan di kampus dan luar kampus pun saya bisa mengajak mereka untuk tidur,” kata Budi.
Tanpa sadar, si Budi menceritakan kepada orang yang akan mengangkat kisah ini menjadi tulisan sederhana nanti.
“Oh iya bro, tadi katanya ke sini karena urusan studi ya?” Budi kembali bertanya. Berarti Anda juga mahasiswa kayak saya. Anda lahir dari gerakan mana? Saya menjawab dari gerakan Kristen, gerakan kanan kata saya. Oh iya, saya juga tergabung dalam himpunan mahasiswa yang sering bergerak ketika ada masalah di kampus dan masyarakat. Dari percakapan ini, seraya saya dibuat mabuk. Bisa-bisanya bercerita tentang dunia pergerakan tetapi mengamini seksual, kata hati saya.
Dari beberapa cerita dari orang-orang yang saya temui, akhirnya saya bisa menarik benang merah bahwa hampir sebagian besar mahasiswa di sini lebih suka bercinta dengan perempuan dan selalu menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas dibandingakan menggantungkan harapan dan membawa pulang masa depan.
Akhirnya saya pun berkeputusan untuk menulis cerita selama saya berada di kota kelam ini. Mulai dari masyarakat yang tadinya kental dengan adat-istiadat, kini berubah menjadi masyarakat yang jauh dari kata adab.(*)
Penulis merupakan kader GMKI Jailolo.