Oleh: Mikha Selina Putri*
PIRAMIDA.ID- Secara etimologi asal kata mahasiswa dari kata “maha” yang artinya besar atau tinggi dan “siswa” yang artinya pelajar atau orang yang derajatnya lebih tinggi dari pelajar lain.
Menurut Knopfemacher, mahasiswa merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Konsep ini erat kaitannya dengan konsep pendidikan yang sedang berlangsung saat ini. Apakah insan mahasiswa benar-benar sudah melibatkan diri dan mendidik diri dalam perguruan tinggi termasuk dalam skala luas di masyarakat untuk menjadi calon intelektual?
Pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Kemudian menurut Djumali (2013: 1), pendidikan adalah wahana untuk mempersiapkan manusia dalam problem kehidupan di masa kini maupun di masa mendatang. Apakah mahasiswa dan pendidikan sudah sesuai dan saling sinergi?
Sayangnya konsep ini semakin tergerus mengikuti kemajuan zaman oleh perilaku hidup manusia. Seharusnya pendidikan berperan sangat penting untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan sejarahnya, konsep pendidikan yang diusung oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah untuk memerdekakan manusia atau memberi kebebasan. Asas kemerdekaan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya, dan bagaimana bisa luwes dalam proses dan metode pembelajaran
Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu menjadikan manusia sebagai manusia yang merdeka secara fisik, mental dan kerohanian. Manusia merdeka artinya seseorang mampu mengembangkan dirinya secara utuh dan selaras dari aspek kemanusiannya, manusia juga harus mampu menghormati dan menghargai manusia lainnya untuk memanusiakan manusia.
Mirisnya kebebasan ini ikut tererosi di perguruan tinggi dengan menyibukkan mahasiswa untuk terus mengerjakan tugas kuliah yang segunung, sehingga membuat mereka lelah dan tak ingin mengembangkan skill lainnya. Orientasinya secara kuantitatif, yaitu demi nilai.
Fungsi mahasiswa juga banyak diselewengkan dan keluar jalur. Sebagai agen perubahan mahasiswa mengambil peran untuk membawa perubahan bagi lingkungannya, tidak harus skala besar tapi tidak memberatkan pihak manapun.
Tetapi, menurut Badan Pusat Statistik (2021), jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi lebih dari 1 juta orang dan tentunya ini menambah beban negara. Sebagai social control, mahasiswa punya peran penting menjaga stabilitas sosial. Mahasiswa dituntut memiliki kemampuan spiritual yang stabil, teguh, aman, memiliki integritas pribadi baik dan memiliki sikap keteladanan. Semua sikap ini terbentuk sejak di bangku kuliah, namun pada kenyataannya sering didapatkan kasus mahasiswa ikut serta dalam tindakan anti-sosial, ikut serta menyebarkan ujaran kebencian, tidak bijak menggunakan internet dan sosial media.
Mahasiswa menjadi kendaraan kepentingan elit. Sebagai iron stock mahasiswa bertanggung jawab untuk membangun diri terhadap ilmu pengetahuan. Namun, berapa banyak yang haus untuk belajar? Daring saja ada yang kuliah sambil tidur.
Menurut Prof. Rasyid Masri, fungsi mahasiswa sebagai gerakan moral juga mengalami degradasi, yaitu kurangnya sentuhan hati nurani, sentuhan humanis, menurunnya tingkat ke sadaran sosial dan agama. Ditambah tantangan Covid-19 melahirkan banyak budaya buruk dunia pendidikan, mematikan kreativitas dosen dan guru, banyak yang kehilangan semangat belajar dan cenderung melahirkan pembelajaran ‘cuekisme’.
Banyak mahasiswa terobsesi dengan nilai dan IPK tetapi mengesampingkan bagaimana proses mendapat nilai itu, misalnya dengan malapraktik menyontek, apatis terhadap sosial dan kerja tim, egosentris dan anti kritik. Hal ini diakibatkan oleh sistem penilaian yang hanya menekankan pada kecerdasan intelektual atau angka kuantitatif belaka. Dampaknya adalah SDM yang penuh kemunafikan, ketidakjujuran, intoleransi, dan lain sebagainya.
Tidak lagi berorientasi tentang proses ilmu pengetahuan yang memanusiakan manusia tetapi pada nilai yang memanusiakan egosentris.
Sebagai guardian of value, mahasiswa seharusnya mampu melahirkan solusi dari persoalan yang ada di masyarakat dan ikut serta dalam melindungi nilai leluhur yang telah ada, tapi berapa banyak orang yang terobsesi kultur budaya lain daripada budaya sendiri?
Terbukti bahwa kemerosotan peran ini terjadi, karena konsep kuantitatif pada sektor nilai dan IPK saja. Berbeda dengan mahasiswa negara lain yang berorientasi pada proses belajar dari sebuah ilmu, misalnya dengan mengambil part time, yaitu dapat menyalurkan hobi, memiliki pengalaman di luar kelas, memperoleh keterampilan, pengetahuan tentang berbagai macam pekerjaan, dan bertanggung jawab.
Selain itu, juga dapat melatih kemandirian dan memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan kuliah (Watanabe, 2005). Padahal di zaman globalisasi dan perkembangan digital ini penting untuk melatih sifat kemandirian-tanggung jawab mahasiswa karena jika tidak mahasiswa dengan mudah di geser kursinya di dunia kerja. Tak mampu beradaptasi dan akhirnya hilang dari peradaban.
Mahasiswa perlu memiliki kemampuan untuk mengantisipasi tantangan global, yaitu dengan mempertajam skill seperti conflict management skill, critical thinking skill, communication skill, time management skill, collaboration skill, cretivity thinking skill, orientation skill, dan mengembangkan kemampuan bekerja remote dengan kemampuan tetap produktif dimana pun ditempatkan.
Selain itu penting juga untuk terus membangun karakter yang bermoral Pancasila dan menguatkan spiritualitas untuk tidak mudah digoreng oleh arus modernisasi digital. Semua pengembangan ini tidak diajarkan dalam materi perkuliahan, perlu ditelusuri dan diupgrade di luar silabus materi pembelajaran kampus.
Jadi sekarang sudah tahu kan, bahwa maha nilai atau IPK saja ga cukup? Yakin masih mau terus berorientasi pada kuantitatif tanpa mempertimbangkan kualitatif? Penting memiliki maha ilmu untuk menjadi manusia yang memanusiakan. Semangat berproses.(*)
Daftar Pustaka:
Febriyanti, N. 2021. Implementasi Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Jurnal Pendidikan Tambusai, 1(5): 1631-1638
Tim Penulis. 2017. Bab I: Pendahuluan. Fakultas MIPA Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Tim Penulis. 2019. Bab II: Tinjauan Pustaka. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Medan Area. Medan.
Wuradji, H. 1997. Tantangan Pendidikan di Indonesia Menjelang Era Globalisasi dan Kemajuan Iptek Abad 21. Jurnal Dinamika Pendidikan, 1(4): 14
Tim penulis. 2018. 6 Fungsi Mahasiswa: Peran dan Tugasnya. Penerbit Deepublish. Jakarta.
Masri, Rasyid. 2021. Degradasi Moral Pendidikan Era Covid. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Tim Penulis. 2018. Bab I: Pendahuluan. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Riau.
Tim Penulis. 2021. Bersiap Menghadapi Tantangan Profesi Masa Depan. REFO.
Tim Penulis. 2021. Siap Hadapi Kompetisi Dunia Kerja di Era New Normal. ONE4ONE.
Nalim. 2015. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa Yang Kuliah Sambil Bekerja. STAIN Pekalongan. Pekalongan.
Penulis merupakan Mahasiswa, Freelancer dan Announcer.