Seprina Kornelia Purba*
PIRAMIDA.ID- Bagi sebagian para remaja, jika putus dengan kekasih itu rasanya memang sakit. Namun, rasanya bagiku itu adalah hal yang sangat biasa. Iya, sebagai seorang remaja yang baru mengenal cinta beberapa orang menganggap bahwa pacaran adalah satu hal yang berkesan dan menjadikan hidup berwarna atau bahkan suatu bentuk pendewasaan diri.
Saya tidak mengatakan pandangan itu salah. Tentu saja semua orang berhak mempunyai cara dan pandangan hidup yang berbeda untuk menyikapi segala hal.
Menjadi seseorang yang membanggakan orangtua adalah cita-cita setiap anak, begitu juga dengan saya yang terlahir dari keluarga yang bisa dikategorikan keluarga sangat sederhana. Keluarga yang kesehariannya bekerja sebagai petani untuk mencari sesuap nasi dan biaya sekolah anak-anaknya.
Namun setelah masuknya pembangunan PLTA di kampung saya, pekerjaan bapak berubah tidak ke ladang lagi. Dia lebih memilih sebagai salah seorang pekerja proyek. Sedangkan mama juga berpendapat ke ladang seorang diri itu bukanlah hal yang mudah dan pastinya pekerjaan yang lumayan melelahkan jika dikerjakan sendiri, sehingga mama pun lebih memilih ikut bapak.
Tapi bukan sebagai pekerja proyek, namun sebagai seorang tukang warung dan tukang masak untuk karyawan proyek.
Semenjak saat itu perekonomian keluarga kami mulai membaik, apalagi semenjak bapak diangkat menjadi mandor lapangan oleh bosnya. Bukan karena pintar atau pendidikan tinggi; bapak hanyalah tamatan SD yang putus sekolah karena ekonomi.
Tapi dia diangkat menjadi mandor karena dia adalah orang yang jujur dan bekerja keras. Iya, bapak adalah sosok laki-laki yang selalu saya banggakan. Ia selalu hadir dan memberikan sepenuhnya kasih dan sayangnya pada kami, anak-anaknya.
Hingga satu waktu, suatu kejadian yang menyebabkan saya kehilangan bapak saya untuk selamanya. Tepatnya hari Senin, 06 Desember 2011, sehari setelah saya pulang dari tempat ret-ret Naga Huta. Hari di mana saya menghadapi Ujian Semester.
Bagi saya, hari itu adalah hari yang paling menyakitkan dan menyedihkan selama saya hidup, di mana sesampainya di kost saya kembali disuruh pulang ke kampung sama ibu kost saya, Kodang, kaka dari mama – iya, saya kost di tempat keluarga.
Saya tanyakan, “Kenapa saya harus pulang? Besok kami masih ujian, Kodang.”
Tapi hanya dijawab dengan kata harus pulang, karena bapak sakit.
Tentunya saya tidak percaya, terlebih tadi malam bapak masih menelepon dan bertanya pada saya terkait rasanya ret-ret yang saya jalani kali ini dan menanyakan adakah surat untuknya.
Iya, karena ini bukan kali pertama saya ret-ret dan saya pernah menulis “surat cinta” atau lebih tepatnya surat permohonan maaf untuk bapak akan kesalahan saya sebagai boru-nya yang selalu bandal ini.
Kami bercerita sembari bercanda via telepon di malam itu, yang tidak saya sadari dan sangka ternyata itu akan menjadi malam terakhir di mana saya bisa mendengar suara seorang bapak yang selalu saya banggakan sampai saat ini dan pastinya untuk selamanya.
Saya mulai bertanya-tanya dan gelisah. Saya mulai menelepon bapak namun tidak ada jawaban, saya telepon mama juga tidak ada jawaban. Saya semakin tidak tenang sambil ke sana-sini, saya tanyakan kembali ke ibu kost, namun kali ini saya malah melihat dia meneteskan air mata.
Lalu teman kost lainnya pun mulai memeluk saya. Tentunya hati saya semakin tak menentu, saya telepon tante saya di kampung dan tentu saja jawabannya membuat hati saya sakit, sesakit-sakitnya.
Di balik telepon itu dia berkata, “Pulanglah. Bapakmu sudah meninggal.”
Mendengarnya, seketika tangisan saya pecah, jadi, sejadi-jadinya dan HP di tangan saya terlempar entah ke mana.
Teman-teman kost masih berusaha menenangkan, sedangkan ibu kost (kaka mama) hanya bisa ikut menangis. Dan akhirnya abang kost bersedia mengantarkan saya pulang ke kampung karena memang tidak ada transportasi ke kampung selain pagi dan sore.
Saya pulang naik sepeda motor tarik 3 (tiga) dan sangat hati-hati, karena jalannya yang lumayan rusak dan saya yang tidak berhenti menangis dan menjerit di jalan. Kami tarik 3 (tiga) karena mereka khawatir dan takut bilamana aku nekat lompat dari motor.
Saya sampai di rumah, namun saya tidak menemukan bapak. Saya hanya menemui mama dan adek-adek saya sedang menangis. Ternyata jasad bapak masih dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi.
Saya tanyakan, kenapa harus diautopsi.
“Bapak tertimpa longsor. Dan posisinya dia adalah mandor. Tapi hanya dia yang tertimpa longsor.”
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara sirine mobil ambulans. Iya, itu adalah mobil ambulans yang membawa jasad bapak. Melihatnya, tangisan kami pecah begitu kuat terdengar. Dan dari mobil ambulans keluar kakak saya yang SMA di Siantar serta beberapa orang yang tidak jelas saya ingat.
Jasad bapak kemudian diangkat dan disemayamkan ke rumah dengan iringan tangis yang begitu merdu. Esok harinya langsung dilakukan pemakaman bapak, teman-teman dan keluarga datang untuk mengucapkan turut berbelasungkawa.
Setelah hari itu, saya yang masih duduk di bangku SMP harus menelan pil pahit, kehilangan seorang sosok bapak. Semua orang pastinya tahu bagaimana bahagianya memiliki bapak dan pentingnya seorang bapak di hidupnya – sesuatu yang sejak hari itu tak bisa kurasakan lagi.
Setelah hari-hari itu, acap kali saya sebenarnya cemburu melihat teman-teman yang mempunyai cerita indah bersama bapaknya. Namun kemudian saya meneguhkan hati, bukankah semua orang memiliki kisah hidupnya masing-masing? Dan dari semua kejadian itu, saya belajar untuk lebih kuat dan ikhlas.
Iya, saya kemudian ditempah pengalaman, bahwa bagi saya hidup bukanlah tentang penyesalan namun lebih ke belajar.
Satu yang selalu saya ingat, bahwa apapun akan dilakukan bapak asal kami anak-anaknya bisa sekolah dan mencapai cita-cita kami.
Dan saat saya kuliah seperti ini, saya masih percaya ini adalah berkat doanya. Saya yakin, dia bangga di sana.
Penulis merupakan mahasiswa di Universitas Efarina. Saat ini mengemban amanah menjabat sebagai Presidium Pendidikan dan Kaderisasi (PPK) PMKRI Cab. Pematangsiantar Santo Fransiskus dari Assisi.
Editor: Red/Hen
Semangat sep 🙂
Bagus ceritanya 👍