Oleh: Inosius Pati Wedu*
PIRAMIDA.ID- Kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi di zaman modern menyebabkan manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan lainnya. Appadurai (1993: 297-300) menyatakan bahwa di era global ini terdapat lima elemen yang membentuk konfigurasi dunia.
Konfigurasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Ethnoscape ialah perubahan yang disebabkan oleh adanya perpindahan manusia (ethnos) dari satu tempat ke tempat lain baik mereka sebagai wisatawan , tenaga kerja, ataupun pengungsi. Fenomena ini menyebabkan terjadinya keanekaragaman budaya dan manusia di dunia ini dengan tujuan yang beragam pula;
2) Technoscipe adalah konfigurasi dunia yang disebabkan oleh arus teknologi (techno) yang sangat cepat baik teknologi tinggi ataupun rendah yang telah menembus berbagai batas negara yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Perusahan-perusahan multinasional sekarang muncul di berbagai tempat di dunia yang juga melibatkan para pekerja dari negara-negara bersangkutan;
3) Finanscape adalah aliran modal atau uang yang sangat cepat dan tidak bisa ditebak sekarang ini. Pasar uang, bursa efek dan arus produk/barang dalam volume besar akan menyebabkan aliran uang yang banyak pula. Dalam pemikiran Giddens (2005:31) uang merupakan media transaksi yang dapat menghubungkan agen dalam kondisi terpisah antara ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan pemikiran Simmel (Giddens, 2005:31) bahwa peran uang diasosiasikan dengan jarak spatial antara individu dengan kepemilikannya. Dengan kata lain bahwa kekuasaan uang dapat menjembatani jarak pemilik dan hartanya meskipun terpisah jauh. Perpindahan orang, arus teknologi, dan transfer dana/uang yang sangat cepat dapat menimbulkan ketidakterhubungan/kesenjangan (disujunctive) antara negara yang satu dengan lainnya;
4) Mediascpae adalah suatu fenomena yang mengacu pada distribusi media elektronik (surat kabar, majalah, tv, dan film) yang mampu memproduksi dan menyebarkan informasi ke seluruh dunia, dan dapat membangun citra (image) tentang dunia ini. Fenomena terpenting dari mediascpe adalah kemampuan untuk menyediakan lagu/music, cerita dan narasi yang luas dan kompleks sehingga dapat dinikmati oleh pemirsa di seluruh dunia. Mediascpe juga mampu mencipatkan kesuburan antara realita dan dunia fantasi para audiensi;
5) Idioscape adalah rangakain pencitraan image dan seringkali terkait secara lansung dengan politik atau ideology suatu negara, serta perlawanan ideologi dari suatu pergerakan yang berupaya merebut kekuasaan negara. Ideoscape merupakan sebuah pencerahan terdiri atas kebebasan, kesejahteraan, kedaulatan, hak asasi, representasi, dan demokrasi.
Migrasi, kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi di era global ini mendorong terjadinya pluralisme kultural. Pluralisme kultural adalah suatu pandangan dan sikap yang menekankan pada keberagaman atau keanekaragaman kultural. Kebergaman atau keanekaragaman itu bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari, sosial, budaya dan sebagainya. Pada era 1980-an ada kecendrungan pergeseran fokus pemikiran dari gerakan yang sebelumnya banyak membicarakan atau menuntut kesetaraan ekonomi menjadi bagaimana setiap individu atau kelompok-kelompok sosial yang berbeda dapat saling menghargai kekhasan masing-masing.
Dengan kata lain, ada pergeseran dari politik “redistribusi” ke politik “pengakuan”. Pada decade ini tema-tema seperti penghormatan (respect) dan pengakuan (recognition) mulai muncul dan makin banyak diperbincangkan. Penghormatan dan pengakuan ini ditujukan antara lain terhadap identitas yang berbeda secara kultural, sosial, politik, agama, dan sebagainya. Cara pandang baru tersebut bersifat peka, toleran, sekaligus ramah terhadap perbedaan. Pemikiran atau cara pandang untuk menghargai perbedaan dan kebersamaan salah satunya adalah multikulturalisme.
Kemajuan teknologi transportasi, informasi, dan komunikasi menyebabkan dunia ini terasa semakin sempit. Dengan kemajuan teknologi transportasi yang semakin canggih, manusia lebih cepat dapat berpindah dari suatu daerah atau ke negara ke tempat tujuan lain. Manusia membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk berpindah dari suatu tempat atau ruang ke tempat atau ruang yang lain. Globalisasi ekonomi, informasi, dan kebudayaan menyebabkan lenyapnya batas-batas ruang territorial, suku, agama, bangsa, dan negara.
Pada saat batas-batas global telah lenyap sebagai akibat meningkatnya interaksi lewat wacana ekonomi dan komunikasi maka segemntasi ikut kehilangan batas strukturnya. Fenomena ini mendorong berkembangnya pelbagai bentuk miniaturisasi, mikro segmentasi sosial, kelompok, klub, geng sebagai akibat dari interaksi dalam kapitalisme global. Segmen-segmen sosial ini tidak lagi mengikatkan diri secara structural pada suatu segmentasi biner, linear, maupun sirkuler yang terikat oleh ruang dan waktu. Segmen-segmen sosial ini beroperasi mecniptakan semacam deteritorialisasi ruang, yakni membongkar struktur ruang yang ada, dan berpindah dari suatu territorial ke territorial lainnya sehingga menciptakan semacam halusinasi territorial.
Di era virtualitas terdapat berbagai modal aktivitas sosial, di dalamnya ada bentuk-bentuk pergerakan yang sebenarnya berdiam diri di tempat (sedentarity). Keberadaan dunia virtual tidak hanya dimakanai sebagai perpanjangan sistem komunikasi antar manusia, akan tetapi mencakup hampir setiap aspek kehidupan manusia (tindakan, aksi, reaksi, dan komunikasi). Orang kini dapat melakukan berbagai aktivitas (sosial, politik, ekonomi, dan seksual) dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang-waktu dari stasiun/lokasi lain, sebab yang disebut stasiun/lokasi kini telah terkoneksi secara virtual lewat jaringan internet dan cyberscape.
Dalam konteks ini, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan virtual telah memungkinkan dilakukan berbagai aktivitas sosial, yang tidak lagi dibatasi oleh kontrain ruang dan waktu. Pelipatan sosial adalah pengertian bahwa tidak saja waktu atau durasi perpindahan sosial dari satu stasiun/lokasi ke stasiun/lokasi lainnya di dalam ruang waktu telah diperpendek, bahkan kini berbagai aktivitas sosial tidak lagi memerlukan perpindahan fisik itu sendiri.
Dalam kondisi ruang-waktu yang semakin sempit dan pendek (dunia yang terlipat) peran informasi menjadi sangat sentral, yaitu dengan terciptanya ruang-waktu informasi. Informasi pada awalnya cara pengetahuan tentang dunia yang dikemas dan disampaikan dalam berbagai media sebagai bentuk representasi. Kini informasi mengingkari dunia yang di representasikannya, karena ia cenderung menjadi dunia yang mandiri, yang terlepas dari dunia nyata yang diinformasikannya.
Keberadaan informasi dalam bentuk elektronik digitak menimbulkan berbagai pertanyaan ontologi, tentang makna informasi bagi eksistensi manusia. Apakah informasi itu digunakan manusia, atau malah informasi yang menggunakan manusia? apakah informasi dikendalikan manusia, atau malah infomasi yang mengendalikan manusia? apakah informasi itu ada untuk manusia atau manusia ada untuk manusia?
Pertanyaan di atas, di dalam perkembangan informasi dalam wujudnya yang sekarang dapat dipahami. Informasi kini dianggap hidup seperti manusia: lahir, berkembang biak, dan mati. Informasi membutuhkan energy manusia (perhatian, persepsi, dan pemahaman) agar ia dapat berkembang biak, beranak pinak di dalamnya. Sebagai makhluk hidup, informasi dapat bersaing dengan manusia bahkan dapat memangsa manusia (Piliang, 2006:72).
Di era global sekarang ini yang dicirikan oleh kemajuan teknologi transportasi, informasi, dan komunikasi dapat mendorong munculnya pluralitas budaya yang semakin cepat dan dahsyat di Nusantara ini. Sehubungan dengan itu, perlu terus dipupuk pemikiran, pemahaman, dan praktik-praktik multikulturalisme. Pengakuan, penghargaan, dan penghormatan terhadap perbedaan budaya nusantara sesuai dengan kebijakan politik kebudayaan RI dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Budaya Nusantara yang berbeda-beda (plural), namun memiliki kedudukan yang sama atau setara satu dan lainnya. Tidak terjadi budaya dominasi mayoritas dan budaya minoritas, tetapi saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya dalam kesetaraan.(*)
Penulis merupakan pegiat literasi.