Arya Widihatmaka*
PIRAMIDA.ID- Hampir semua dogma agama mengatakan bahwa kehidupan materi bernilai negatif, sehingga kehidupan dunia ini kehidupan yang terlaknat.
Saya berpikir, sepertinya itu hal yang sangat naif, atau boleh jadi hasil evolusi kognitif manusia yang tercatat dalam buku-buku yang dikatakan suci. Sehingga di era manusia yang lebih maju, buku-buku itu serasa tidak relevan lagi. Kita juga merasakan bahwa sumber-sumber gagasan dogma itu berasal dari proses kognisi manusia seperti tentang “Asal muasal segala sesuatu”, “Masalah eksistensi”, “Apa yang ada di masa depan”, “Apakah ini yang saya rasakan”, dsb.
Saat ini, sebagian pertanyaan-pertanyaan besar itu sudah diungkap oleh sains melalui proses ilmiah yang panjang sehingga bisa dibuktikan secara faktual. Meski tentu saja sanggahan tetap ada karena suatu dogma dianggap memberi rasa aman dalam jiwa, terlebih, apa yang diwariskan dari generasi sebelumnya biasanya dianggap sebagai nilai yang sudah final, tak boleh dibantah.
Kali ini saya merasa terusik dengan paradoks “Dunia dan Akhirat”. Hampir semua agama mengatakan bahwa kehidupan dunia ini tidak layak dijalani karena manusia sebenarnya tidak tinggal di dunia ini. Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara.
Karena dogma ini hal-hal yang bersangkutan dengan kehidupan duniawi dianggap tercela, terlaknat, kotor dan najis. Saya menduga bahwa sebenarnya tidaklah sepenuhnya demikian, meski terbukti secara sosial bahwa semakin tamak seseorang akan semakin membawa keburukan bagi dia sendiri dan orang lain. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa pikir tentang paradoks dunia-akhirat tidaklah harus membawa pada kehidupan yang mencekam menakutkan.
Boleh jadi sebenarnya paradoks dunia-akhirat bukan ajaran yang berasal dari luar manusia, tetapi memang asli hasil gagasan manusia yang berkenaan dengan evolusi kognitif. Yang demikian saya katakan bahwa sebenarnya gagasan itu tidak valid bila kita bandingkan dengan kenyataan kita.
Abaikan saja orang-orang atheis yang mengatakan bahwa jiwa itu tidak ada, dan anggap saja jiwa itu memang ada. Kenyataannya ada manusia yang hidup dan ada juga jenazah. Mati diteorikan sebagai ketiadaan jiwa atas tubuh fisik manusia. Jadi, jiwa adalah entitas yang menyusupi atas tubuh fisik manusia. Dari sini kita mengalami dua realitas, realitas jiwa, dan realitas fisik.
Nah, persoalan agama-agama berputar sekitar ini. Dan dari sini juga dikatakan ada kehidupan pasca dunia yang diteorikan sebagai bagian dari kebenaran hukum, karena selama di dunia manusia boleh jadi melakukan kejahatan, terlebih kejahatan tersembunyi yang terlepas dari hukuman di dunia. Yang demikian nampak logis. Tetapi sebenarnya banyak bagian-bagian dari dogma dengan paradoksal itu tidak relevan, atau memunculkan paradoks dalam paradoks.
Lalu, apakah ini sebenarnya bagian dari model pikiran manusia yang belum mengarah pada suatu bentuk final atas kemanusiaan atau sengaja membuka pertanyaan agar laju evolusi terjadi. Bila belum tercapai model ideal secara gagasan, lalu, apakah tidak ada final dari potensi manusia? Dan bila tujuan dogma adalah membuka laju evolusi kognitif kenapa variabelnya semakin besar sehingga tidak ada satu titik yang hendak dituju?
Agama-agama mungkin memberikan solusi gagasan seperti memperkecil jumlah figur tuhan, penyatuan umat manusia, dsb, tetapi itu tidaklah begitu sukses, sebab agama itu sendiri sekarang arahnya rentan menjadi ‘alat’ pemecah sehingga variabel gagasan semakin besar, dan dalam masyarakat kita rasakan sensasinya sebagai pabrik masalah seperti konflik antar kelompok bahkan ancaman perang dunia yang mampu meruntuhkan peradaban.
Kita kembali pada soal inti paradoks. Saya katakan bahwa itu cukup naif. Bia kita terdiri dari dua unsur, jiwa dan raga, kenyataannya jiwa ini yang menjadikan kita hidup dan beraktivitas. Sebaliknya tubuh fisik kita melindungi jiwa sehingga dia dianggap ada, bukan sesuatu yang terurai di dalam tanah. Dua unsur ini begitu harmoni sehingga memunculkan kita sebagai suatu identitas dengan nama tertentu.
Lalu, kita coba masukkan rumus agama dalam diri kita agar berperang antara jiwa dan raga, hasilnya adalah kekacauan. Pertarungan antara baik dan buruk masih begitu dominan dalam manusia meski saat ini kita sudah masuk dalam era evolusi saintifik, tentu ini pencapaian yang cukup jauh, tetapi soal paradoks masih menghantui kita, dan itu kita anggap sebagai kebenaran. Atau sebenarnya paradoks adalah solusi instant ketika manusia tidak menemukan jawaban atas sebagian proses kognisi.
Misal, seorang manusia di gurun pasir kesulitan mencari makanan. Dia berpikir bahwa kesulitan mencari makanan sudah begitu hebatnya sehingga dia berputus-asa, maka jalan termudah adalah bunuh diri, toh, dia juga pasti akan mati. Contoh di atas selalu menjadi pola-pola agama di mana kebiasaan berpikir pragmatis menjadi corak yang nyata.
Kesalahan kecil pun harus di hukum dengan sesuatu yang sangat besar. Ya, alasannya adalah bahwa dunia itu kecil, dan akhirat itu besar. Dunia tidak bermakna, akhirat bernilai hakikat. Dalam ajaran Buddha pola seperti ini juga ada. Ringkasnya, bahwa manusia berada di tempat yang salah. Tetapi, kenapa kita mesti di sini, di dunia ini.
Toh, kalau kita tidak menganut pemahaman-pemahaman seperti itu kita tidaklah mengapa, tidak tertimpa keburukan apapun.
Kalau kita perhatikan sebenarnya skenario seperti itu adalah buah pikiran manusia yang ketakutan akan apa yang tidak bisa dia ketahui tentang masa depan. Manusia memiliki gagasan agar ada keadilan ketika gagasan itu muncul pada saat-saat perolehan sumber daya hidup yang sangat sulit, belum ditambah kekacauan dalam masyarakat. Ketika perasaan-perasaan yang berbicara maka hal teknis banyak yang terabaikan. Karena ini juga kenapa agama karakter kebenarannya adalah kebenaran emosional. Untuk sebuah struktur yang mapan dibutuhkan elemen yang terkoordinasi dengan baik.
Tubuh kita terkoordinasi dengan baik dengan jiwa kita. Kalau dua realitas ini dikondisikan saling membantah, saling berkonflik maka eksistensi kita tidaklah mapan. Mungkin bisa muncul pertanyaan atau bantahan atas premis ini, bahwa manusia memang diciptakan secara sempurna secara fisik dan jiwa, hanya saja dogma agama mengajak manusia pada realitas yang lebih baik di masa depan.
Dalam hal seperti itu saya menjawab, bahwa artinya dogma adalah sesuatu yang baru, dia bukan sesuatu yang default apa adanya secara natural. Terlebih ada banyak model dogma yang mencirikan sebagai hasil proses kognisi manusia.
Memang, dualitas dalam semesta dan kehidupan memang ada, akan tetapi bila realita itu disengaja sebagai bahan mengeksplorasi manusia tanpa tanggung-jawab kita manusia boleh berpikir ulang, terlebih bukankah kita suka memikirkan masa depan. Maka kita perlu gagasan yang terbaharui meski boleh juga memiliki landasan dari sumber sebelumnya.
Sebagai penutup saya katakan, bahwa sebenarnya hidup tidak melulu soal pertarungan dualisme dan paradoks. Anda bisa melihat di antara iya dan tidak masih ada mungkin, kapan, dan berapa. Hanya saja kesengajaan itulah yang harus kita perhatikan, karena itu adalah sumbernya dalam pikir yang kita menjadi terobsesi dengan suatu hal.
Jadi, apakah dunia ini memang hal yang buruk? Nilainya kita sendiri yang membuatnya, dan cobalah untuk tidak memaksakan nilai anda pada orang lain bila Anda tidak siap dengan tanggung-jawab atas suatu gagasan. Mungkin penyusun dogma dan doktrin tidak merasakan bencana hasil produk gagasannya bila dia lolos dari tanggung-jawab, akan tetapi mungkin dia akan menjadi musuh gagasannya sendiri karena idealisme itu memang umumnya tidak selaras dengan kenyataan.
Dan bila dinamika kehidupan menjadi alasan bagi ketidaktanggung-jawaban, maka layak bagi gagasan lain untuk menyeimbangkan argumen kezaliman yang penuh kesengajaan itu, toh ini juga masih dalam domain paradoks meski rival baru ini memiliki kesadaran telah terbaharui.
Penulis merupan science enthusiast dan penggiat literasi, terlebih sains dan astronomi.