PIRAMIDA.ID- Pada tahun 1993, Peter James menerbitkan novelnya Host dalam bentuk dua floppy disk. Kala itu, para wartawan dan sesama penulis mengecam dan mencaci makinya, karena dianggap betapa menggelikannya bentuk membaca ‘buku’ jenis baru itu.
Sesaat setelah munculnya Host, James meramalkan bahwa buku elektronik atau e-book akan menjadi populer sesudah buku elektronik memiliki bentuk yang mudah diakses dan bisa dinikmati seperti buku cetakan. Buku elektronik yang merupakan hal baru di tahun 90-an, dengan kata lain, akan akhirnya menjadi mapan sampai kemudian mengancam punahnya buku tradisional.
Tiga dasawarsa kemudian, visi James hampir menjadi kenyataan.
Melambungnya popularitas buku elektronik dalam tahun-tahun terakhir ini bukanlah berita baru, tetapi ke mana mereka akan menuju –dan apakah dampaknya bagi buku cetakan– belumlah diketahui.
Apakah buku cetak memang akhirnya ditakdirkan untuk bergabung tersia-sia dengan deretan lempengan tanah liat, gulungan naskah kuno, dan kertas hasil ketikan di mesin ketik? Dan jika memang seperti itu, apakah kita harus merasa cemas?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak mudah, berkat adanya berbagai variasi dalam kecenderungan membaca secara elektronik dan dalam penemuan riset mengenai dampak (atau tidak adanya dampak) membaca digital bagi kita.
Yang kita ketahui, meskipun buku cetak masih tetap merupakan cara membaca yang paling populer, selama satu dasawarsa terakhir ini buku elektronik berupaya keras untuk dapat meningkatkan kepopulerannya.
Namun munculnya buku digital pertama adalah usaha yang penuh tantangan karena definisi manusia mengenai apa yang disebut buku elektronik bervariasi.
Memang, meskipun adanya kekesalan yang disebabkan buku Host karya Jones –yang disebut-sebut sebagai novel digital pertama– pada tahun 1993, para penerbit saat itu tidaklah terlalu khawatir.
Belakangan, pada tahun 2007, dengan dirilisnya Kindle oleh Amazon, sikap itu langsung berubah besar. Hampir dengan segera, peranti itu menyebabkan debaran jantung di industri penerbitan.
Sepanjang tahun 2008 sampai 2010 penjualan buku elektronik melesat, meningkat sebanyak 1,260%, menurut laporan New York Times.
Seperti menambah arang pada api yang sudah berkobar, Nook juga muncul, dan juga iPad, yang dirilis berdampingan dengan iBooks Store.
Pada saat itu, industri penerbitan sudah kehilangan semua kemampuan untuk merebut kembali inisiatif dan momentum. Pada tahun 2011, saat jaringan toko buku Amerika Serikat, Borders Books, dinyatakan bangkrut, popularitas buku elektronik terus meningkat meskipun ternyata tidak secara besar-besaran.
Selama beberapa tahun terakhir ini, ada perubahan. Menurut Asosiasi Penerbit Amerika, penjualan buku elektronik yang mencapai 20% dari pasar pembelian buku, sudah mencapai tingkat yang stabil.
Data terbaru dari Pew, juga mendukung fakta bahwa jumlah pembaca buku elektronik sudah mencapai titik tenang selama tahun belakangan ini.
Walau tidak ada seorang pun dapat dengan pasti mengetahui bagaimana masa depan buku cetak, dipercaya bahwa tingkat yang stabil dalam jumlah pembaca buku elektronik akan pada suatu titik kembali berbelok tajam.
Kita saat ini berada di masa peralihan. Daya jangkau untuk membaca di layar akan makin baik dan meluas, sehingga memberi orang alasan untuk berpindah ke layar.
Bahkan tidak dapat dipungkiri, bentuk buku di masa depan mungkin akan dikembangkan oleh industri permainan bukannya oleh penerbit konvensional.
Perbedaan antara penulis dan pembaca juga akan dikaburkan oleh pengalaman membaca sosial di mana pengarang dan konsumen akan dapat berinteraksi secara digital untuk mendiskusikan bagian, kalimat atau baris mana pun.
Akan tetapi buku cetak sendiri kelihatannya tidak akan menghilang sepenuhnya, paling tidak untuk waktu yang segera.
Seperti halnya cetakan kayu, film yang diproses tangan dan tenunan masyarakat adat, halaman hasil cetakan dapat memiliki nilai kerajinan tangan atau seni.
Buku yang ditujukan untuk dilihat bukannya untuk dibaca –seperti katalog seni atau koleksi untuk dipajang di meja– sangat mungkin masih akan tetap muncul dalam bentukan cetakan.
Sementara sejumlah orang mungkin berduka karena hilangnya nilai estetika dari buku cetak, apakah ada hal lain yang akan berisiko hilang juga jika buku cetak lenyap sepenuhnya? Sejumlah riset menunjukkan memang ada hal-hal yang perlu diprihatinkan.
Menurut Wolf serta penemuan riset lainnya, membaca elektronik dapat berdampak negatif pada cara otak dalam memberi respons kepada naskah, termasuk juga pemahaman dalam membaca, fokus serta kemampuan untuk tetap memperhatikan detail-detail seperti jalan cerita dan rangkaian peristiwa.
Riset secara kasar menemukan bahwa bentuk cetak ada di satu sisi dalam spektrum membaca (paling membuat orang terbenam dalam bacaan) dan naskah daring berada di sisi lainnya (paling mengganggu perhatian). Membaca dengan Kindle kelihatannya berada di tengah-tengah spektrum ini.
“Banyak orang khawatir bahwa kemampuan kita ikut terbenam dalam cerita berubah,” kata Wolf. “Kekhawatiran saya adalah kita akan memiliki otak untuk membaca dengan kemampuan pendek, bagus untuk mengumpulkan informasi tetapi tidak untuk membentuk kemampuan membaca yang dalam, kritis dan analitis.”
Namun bidang penelitian ini masih merupakan hal yang baru dan penemuan mengenai dampak negatif membaca elektronik masih belum pasti. Bahkan sejumlah studi malah menghasilkan temuan yang bertentangan, termasuk bahwa membaca elektronik tidak berdampak pada pemahaman atau bahkan dapat meningkatkannya, terutama untuk pembaca yang mengalami disleksia.
Bagaimanapun walau ada semua kekhawatiran bahwa buku elektronik ini mengubah cara kita dalam memahami kata-kata tertulis dan berinteraksi dengan orang lain, Wolf menyatakan bahwa tidak pernah sebelumnya kita memiliki ‘demokratisasi pengetahuan’ seperti ini.
Walaupun menghabiskan terlalu banyak waktu di peranti mungkin menjadi masalah bagi anak-anak dan orang dewasa di Eropa dan Amerika Serikat, untuk mereka yang berada di negara berkembang, hal ini bisa merupakan berkat, seperti kata Wolf lagi – sebagai ‘mekanisme paling penting untuk menjadikan orang melek aksara’.
Ia berharap bahwa kita akan terus mempertahankan diri sebagai masyarakat “bi-literate”, yaitu yang menghargai pentingnya digital dan buku cetak.
Disadur dari berbagai sumber.
Editor: Red/Hen