Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Justifikasi atas ekonomi sosial mandiri Halmahera Barat masih jauh dari tumbuh, berkembang dan berkemajuan. Hal ini dilihat dari tahun ke tahun pergantian kepala daerah yang masih berada pada posisi diam di tempat. Hal inilah yang memicu penurunan sumber pendapatan daerah.
Meskipun bukan seorang ekonom atau dalam bahasa sederhana dikatakan awam, namun sedikit demi sedikit analisis tentang ekonomi dapat dielaborasikan dan mengkomparasikan dari tahun ke tahun peralihan steak holder Halmahera Barat.
Pendekatan kajian ekonomi lewat paparan pakar ekonomi Indonesia Dr. Umar Juoro. Baginya, “Pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu bergerak lebih cepat. Sejak tahun 2014 pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa dikatakan stabil pada kisaran 5 persen, yang menurut Dr. Umar Juoro, Ekonom CIDES, sering disebut dengan istilah ekonomi lima persenan. Hal tersebut dilihat dari misalnya tingkat inflasi yang relatif rendah, fluktuasi nilai tukar mata uang tidak terlalu bergejolak, suku bunga acuan Bank Indonesia juga cenderung turun. Namun, yang menjadi persoalan adalah stabilitas pada indikator makro tersebut tidak memiliki dampak untuk memacu pergerakan atau pertumbuhan ekonomi yang tidak beranjak dari angka 5 persen.”
Bisa ditarik kesimpulan dari penyampaian Dr. Umar Juoro dalam diskusi tentang ekonomi, bahwasanya akar masalah yang kian mengakar pada tubuh Halmahera Barat ialah inflasi, fluktuasi, dan deflasi. Perlu adanya pengawasan terkait inflasi, fluktuasi, dan deflasi yang akan terjadi di Halmahera Barat oleh pemerintah daerah kabupaten Halmahera Barat.
Hal tersebut dilihat dari Inflasi dan deflasi yang dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) Halmahera Barat. Hal tersebutlah yang menyebabkan Kabupaten Halmahera Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan sumber pendapatan daerah dan masa depan ekonomi Halmahera Barat khususnya masyarakat.
Inflasi
Menurut Sukirno (2002) inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Samuelson (2001) mendefinisikan inflasi sebagai suatu keadaan di mana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa maupun faktor-faktor produksi. Sementara definisi lain menegaskan inflasi terjadi pada saat terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) antara permintaan dan penawaran agregat barang dan jasa, yaitu kondisi di mana permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregatnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa inflasi adalah kondisi di mana terjadi peningkatan harga secara terus menerus yang diakibatkan karena terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan penawaran.
Inflasi yang stabil sangat diperlukan sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi dan tidak stabil dapat berdampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin akan bertambah miskin.
Selain itu, inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan tingkat keparahan inflasi digolongkan menjadi, yaitu sebagai berikut:
1. Inflasi Ringan. Inflasi yang termasuk golongan ini jika tingkatannya masih berada di bawah 10 persen per tahun;
2. Inflasi Sedang. Inflasi di mana laju inflasi berada pada rentang 10 persen hingga 30 persen per tahun;
3. Inflasi Berat. Inflasi di mana laju inflasi berada pada rentang 30 persen hingga 100 persen per tahun;
4. Hiperinflasi. Hiperinflasi adalah inflasi yang berada di atas 100 persen per tahun. Akibat yang terjadi jika inflasi berada di atas 100 persen adalah masyarakat akan mengalami ketidakpercayaan terhadap pemakaian uang. Akibat parahnya lagi ialah terjadi kehancuran sistem ekonomi yang dibangun. Kondisi seperti ini sempat terjadi di Indonesia pada tahun 1966 di mana inflasi di Indonesia mencapai 650 persen
Deflasi
Selain inflasi terdapat istilah deflasi, deflasi merupakan kebalikan dari inflasi. Deflasi adalah suatu periode di mana harga-harga secara umum jatuh dan nilai uang bertambah. Salah satu penyebab terjadi inflasi adalah jumlah uang beredar di masyarakat sangat banyak, sedangkan penyebab dari deflasi ini adalah jumlah uang yang beredar di masyarakat jumlahnya lebih sedikit dari jumlah barang yang ada sehingga terjadi penurunan harga-harga.
Pengaruh dari adanya deflasi ini terhadap perekonomian adalah:
1. Memperlambat aktivitas ekonomi dikarenakan barang mengalami penurunan, konsumen memiliki kemampuan untuk menunda belanja mereka lebih lama lagi dengan harapan harga barang akan turun lebih jauh, akibatnya aktivitas ekonomi akan melambat dan memberikan pengaruh pada spiral deflasi;
2. Dampak susulan dari melesunya kegiatan ekonomi ialah banyak pekerja yang akhirnya mengalami PHK karena pemilik bisnis tidak sanggup membayar gaji karyawannya dengan demikian pendapatan yang diterima masyarakat menjadi sedikit dan jumlah uang yang beredar di masyarakat semakin berkurang. Mengakibatkan melesunya investasi disektor riil maupun di lantai bursa akibatnya ini akan menambah berat kelesuan ekonomi dikarenakan tidak ada lagi aktivitas bisnis yang berjalan;
3. Harga Konsumen
Harga konsumen merupakan harga transaksi yang terjadi antara penjual (pedagang eceran) dan pembeli (konsumen) secara eceran dengan pembayaran tunai. Istilah eceran yang dimaksud adalah menjual barang dengan satuan terkecil, contohnya beras dalam satuan kilo ataupun liter.
Dalam pencatatan data HK perlu diketahui bahwa suatu komoditi biasa dijual dalam bentuk kemasan barang, misalkan dalam bentuk bungkus, botol, pak dan sebagainya. Demikian pula ada komoditi yang langsung dikenakan PPn atau pajak lain. Data harga yang dicatat adalah yang benar-benar biasa dibayar, tanpa melihat bentuk kemasan, sudah dikenakan PPn atau belum dan sebagainya, sejauh satuannya adalah standar yang biasa dijual. Namun apabila suatu komoditi dibebani biaya tambahan lain, seperti dana, kupon, sumbangan dan sebagainya, maka biaya tersebut tidak perlu dimasukkan ke dalam harga barang/jasa tersebut.
Untuk menghitung angka inflasi dibutuhkan suatu indeks, yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan suatu indeks yang menghitung rata-rata perubahan harga dalam suatu periode dari suatu kumpulan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh penduduk/rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.
Jenis barang dan jasa tersebut dikelompokkan menjadi 7 kelompok, yaitu bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau; perumahan; sandang; kesehatan; pendidikan, rekreasi, dan olahraga; transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Untuk penghitungan inflasi di sini akan digunakan harga konsumen ini dan membentuknya menjadi suatu indeks sehingga selanjutnya dapat dikatakan sebagai Indeks Harga Konsumen (IHK).
4. Jenis Barang dan Jasa. Barang dan jasa atau komoditi yang dimaksud adalah komoditi yang tercakup dalam paket komoditi kebutuhan rumah tangga dalam diagram timbangan IHK meminjam hasil SBH 2007 Kota Ternate yang telah disesuaikan dengan konsumsi masyarakat di Halmahera Barat.
Seiring dengan adanya penanganan dari pemerintah daerah terkait inflasi dan deflasi, pemerintah daerah juga perlu memikirkan untuk bagaimana menghadirkan lapangan pekerjaan dalam upaya menumbuhkan ekonomi masyarakat Halmahera Barat itu sendiri. Untuk penyerapan tenaga kerja tentunya membahas mengenai kualitas sumber daya manusia. Berbicara mengenai sumber daya manusia, erat kaitannya dengan bidang pendidikan. Achmad Reza Widjaja, Ph.D, Wakil Rektor Universitas Bakrie memaparkan mengenai prospek dunia pendidikan dalam menghadapi tantangan ekonomi tahun 2018. Menurutnya, pendidikan merupakan instrumen yang paling jitu bagi sebuah negara dalam hal mengurangi angka kemiskinan dan merupakan dasar bagi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut data yang diperoleh dari Kemendikbud (2017), angka partisipasi anak bersekolah di Indonesia semakin tahun memang meningkat, namun untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya masih sangat minim pergerakan kenaikannya.”
Selain permasalahan mengenai sumber daya manusia, pengaruh dari stagnansi tersebut ada pada daya beli masyarakat. Hal ini menjadi salah satu isu yang sedang menjadi perbincangan dalam berbagai forum diskusi ekonomi akhir-akhir ini, salah satunya adalah forum yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie dengan menggandeng INDEF (Institute for Development of Economic and Finance).
Daya beli merupakan indikator yang merepresentasikan ‘denyut nadi’ perekonomian. Semakin meningkat daya beli, semakin produktif suatu perekonomian. Sehingga untuk memiliki daya beli yang kuat, maka masyarakat harus bekerja secara produktif. Prof. Dr. Bustanul Arifin, Ekonom Senior INDEF, memaparkan mengenai perubahan pola konsumsi generasi milenial. Berdasarkan data BPS tahun 2017 bahwa selera generai milenial (18-25 tahun) menunjukkan bahwa pola konsumsi selama tiga tahun terakhir mengkonsumsi atau belanja pakaian menurun, namun konsumsi untuk transportasi dan komunikasi meningkat.
Sehingga untuk mengatasi persoalan daya beli masyarakat, ada dua langkah utama yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama adalah memacu iklim usaha yang kondusif dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat, terutama dalam sektor industri dan pertanian. Langkah kedua yakni dengan menjamin terjaganya stabilitas harga barang dan jasa terutama pada komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah.
Dari pendekatan di atas, dengan melihat potensi yang ada di Halbar, maka Pemda Halbar harus mampu menjembatani selera milenial(18-25 tahun) untuk berkembang, berkreasi, dan berinovasi.
Untuk tetap menjaga kestabilan dari maju-mundurnya ekonomi Halbar, Pemkab Halbar juga turut memikirkan terkait tantangan mensejahterakan petani halbar lewat sektor pertanian dalam hal inovasi teknologi pangan.(*)
Penulis merupakan Pemuda Halmahera Barat yang gemar menulis.