PIRAMIDA.ID- Achmad Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Belitung. Ia lahir dari ayah bernama Abdullah Aidit dan ibu bernama Mailan. Ayahnya menjabat sebagai mantri kehutanan, sebuah jabatan yang bergensi di Belitung saat itu. Sedangkan Maian lahir dari keluarga ningrat.
Achmad yang kemudian berganti nama menjadi Dipa Nusantara Aidit datang dari keluarga terpandang. Membuatnya mudah bergaul dengan polisi, orang-orang Cina di pasar, dan noni-noni Belanda di Mijnbouw Maatschappij Billiton, sebuah perusahaan tambang milik Belanda.
Keluarga Aidit lekat dengan dunia pendidikan Islam. Selepas sekolah ia dan adik-adiknya belajar mengaji bersama seorang guru bernama Abdurrachim, adik ipar Abdullah. Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Pada waktu itu belum ada pengeras suara. “Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan adzan,” kata Murad Aidit di buku Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara.
Achmad adalah anak yang paling mudah bergaul dari delapan anak Abdullah. Ia bergaul dengan empat geng di Belitung. Geng kampung, anak benteng, geng Cina, dan geng Sekak.
Kerap terjadi baku hantam antar geng tersebut. Situasi yang keras itu membuat Achmad Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan angkat besi. Achmad ialah pelindung saudara-saudarinya.
Selain gemar berkumpul dengan berbagai geng remaja, Achmad Aidit juga bergaul dengan buruh di Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton. Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Di sana, ia melihat para buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura.
Perusahaan itu menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan none Belanda menyaksikan film sambil minum-minum. Butuh tambang hanya bisa mengintip bioskop dan sesekali menelan ludah.
Achmad tertarik dengan kehidupan butuh dan mendekati mereka. Tapi tidak mudah karena para buruh cenderung tertutup saat itu. Sampai suatu saat Achmad melihat seorang buruh sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Ia menawarkan bantuan dan buruh itu mengangguk setelah tertegun sejenak.
Sejak saat itu Achmad bersahabat dengannya. Semakin hari hubungan mereka semakkin dekat. Kadang mereka berbincang sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus.
Dari pembicaraan-pembicaraam santai Achmad kemudian tahu kesulitan para buruh juga soal pesta-pora petinggi tambang. Pergaulan itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politiknya setelah di Jakarta. Hingga akhirnya memimpin Partai Komunis Indonesia.(*)
National Geographic Indonesia