PIRAMIDA.ID- Sejumlah warga masyarakat lingkar tambang PT DPM (Dairi Prima Mineral) yang tinggal di sekitar wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga bersama YDPK, Petrasa, pemuda Dairi dan mahasiswa, melakukan aksi bentang spanduk di beberapa titik, antara lain di Pasar Parongil dan di Simpang Tiga Desa Longkotan Kecamatan Silima Pungga-Pungga serta dilanjutkan di Pasar Sidikalang dan seputaran Simpang Salak yang berlokasi di Kecamatan Sidikalang, Rabu (29/6/2022).
Duat Sihombing selaku Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Petrasa kepada wartawan mengatakan, aksi bentang spanduk yang digelar tersebut, selain bentuk penolakan akan hadirnya perusahaan tambang PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) tersebut, aksi ini secara khusus ditujukan untuk mengkampanyekan hak-hak warga negara/warga sipil dalam hal Keterbukaan Informasi Publik, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya warga Dairi, dalam menyikapi kehadiran PT DPM yang akan beroperasi melakukan eksploitasi; dengan mengeruk lahan, tanah, lingkungan bahkan kehidupan sosial dan budaya warga masyarakat Kabupaten Dairi, khususnya warga lingkar tambang.
Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa dalam hal ini KESDM (Kementerian Energi Sumber Daya Mineral) diduga berusaha menyembunyikan data Tambang Kontak Karya (KK) Renegosiasi Nomor 272.K/ 30/ D/ DJB/ 2018 dan Izin Produksi PT DPM (PT Dairi Prima Mineral), perusahaan tambang mineral yang memiliki areal konsesi tambang seluas kurang lebih 24.000 ha yang wilayahnya meliputi lahan-lahan milik warga sekitar (lingkar tambang) di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan lindung di wilayah Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Dairi.
“Kami ingin menunjukan kepada masyarakat khususnya di Dairi tentang ketidakterbukaan informasi yang dilakukan KESDM terkait izin produksi PT DPM,” ujar Duat Sihombing.
Ia mengunkapkan bahwa sejak bulan Agustus 2019 Serly Siahaan, salah satu perwakilan masyarakat warga Dairi sudah mengajukan gugatan keterbukaan informasi ke Komisi informasi Publik (KIP) kepada pihak instansi terkait dalam hal ini KESDM terkait keberadaan dan kehadiran perusahaan tambang PT DPM tersebut. Namun dua tahun kemudian baru direspon tepatnya 20 Januari 2022 yang lalu.
Majelis hakim KIP memutuskan bahwa, putusan KIP tersebut mewajibkan Kementerian ESDM membuka salinan dokumen Kontrak Karya (KK) Hasil Renegosiasi Terbaru dan Salinan SK Kontrak Karya Nomor 272.K/30/D/DJB/2018 beserta dokumen pendukung milik PT. DPM.
Namun, Kementerian ESDM melalui kuasa hukumnya justru mengajukan keberatan (banding) terhadap putusan KIP tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada pada tanggal 16 Februari 2022 yang lalu.
“Sudah ada 6 kali sidang, dan akan diakhiri dengan putusan yang telah ditetapkan majelis hakim pada hari Selasa, 5 Juli 2022, secara electronik court (e-court),” ungkap Duat.
Duat berharap, demi kepentingan warga masyarakat khususnya warga Dairi, agar majelis hakim di PTUN Jakarta dapat memberikan putusan yang adil, independen, objektif dan profesional, karena ini semata-mata, menyangkut keselamatan ratusan ribu warga Dairi, saat perusahaan pertambangan itu dibiarkan beroperasi, atas dampak atau resiko besar sesuai dengan berbagai kajian, khususnya dampak lingkungan yang sangat membahayakan para warga Dairi dan warga lingkar tambang.
Ditambahkannya, dugaan persekongkolan jahat antara Kementerian ESDM dan PT DPM ini menunjukan bahwa Kementerian ESDM tidak berkomitmen dalam melaksanakan komitmen internasional sebagai anggota Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) yang justru pelaksanaannya ada di Kementerian ESDM.
Menurutnya, perjanjian internasional ini menegaskan bahwa Konferensi EITI Global di Paris, tahun 2019 yang lalu yang sudah menyepakati bahwa kontrak di sektor ekstraktif wajib dibuka. Hal ini berarti seluruh negara pelaksana termasuk Indonesia wajib melaksanakan kesepakatan tersebut.
Dengan demikian, ketidakterbukaan informasi yang dilakukan Kementerian ESDM ini menunjukkan kemunduran negara dan lebih mementingkan investasi daripada keselamatan warga dengan menutup informasi tambang PT DPM, yang merupakan bagian dari hak sipil setiap warga negara.
“Tentu ini berdampak tidak baik kepada lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, kesediaan air dan keberlanjutan ruang hidup warga ke depan berkaca dari daya rusak tambang yang menyumbang pada bencana ekologis dengan daya rusak lintas generasi,” tutupnya.(*)