Fitzerald Kennedy Sitorus*
PIRAMIDA.ID- Tokoh-tokoh dan pemikiran para filsuf yang bernaung di bawah nama Mazhab Frankfurt ini sedikit banyak sudah dikenal oleh publik filsafat di Tanah Air. Tokoh-tokoh itu antara lain Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Jürgen Habermas. Saya akan berbicara mengenai pemikiran mereka, tapi hanya secara singkat.
Yang akan lebih panjang saya bicarakan adalah tokoh Mazhab Frankfurt yang sekarang sedang di puncak popularitas dan pengaruhnya, yakni Prof. Axel Honneth.
Honneth adalah generasi ketiga mazhab ini (Horkheimer, Adorno, Marcuse termasuk generasi pertama, sementara Habermas generasi kedua). Honneth juga sekarang menjabat profesor di Columbia University di AS. Tahun lalu ia pensiun dari jabatan direktur di Insitut für Sozialforschung (Institut untuk Penelitian Sosial), markas Teori Kritis di Universitas Frankfurt, tapi masih aktif mengajar dan memberikan seminar.
Honneth mengembangkan pemikirannya dengan mengkritik para pendahulunya. Ia mengkritik Habermas. Menurutnya, Habermas tidak cukup sensitif terhadap dimensi kekuasaan dalam masyarakat. Dalam teori diskursus-nya, Habermas mengandaikan komunikasi yang bebas dan setara.
Menurut Honneth, hal itu tidak mungkin. Di sini, Honneth menggunakan pemikiran Michel Foucault mengenai kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan itu terdapat di mana-mana; ia mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan menstrukturkan tindakan orang lain.”
Sesuai dengan pengertian itu, tidak pernah ada situasi yang bebas dari kekuasaaan. Dan karena itu, pengandaian tindakan komunikatif Habermas itu tidak mungkin. Honneth juga memperlihatkan bahwa basis normatif teori Habermas kurang kuat.
Dengan metode “transendensi dalam immanensi” Honneth kemudian mengembangkan teorinya yang disebut Teori Pengakuan (theory of recognition, Theorie der Anerkennung).
Ini konsep yang diambil alih dari Hegel (“Dialektika Tuan dan Budak”). Buku Honneth yang membuatnya menjadi pusat perhatian berjudul ‘Struggle for Recognition (Kampf um Anerkennung)’. Dengan konsep pengakuan ini, Honneth (dan Hegel) mengatakan bahwa berbagai konflik sosial, perjuangan atau kerja keras masing-masing individu dalam merealisasikan dirinya tidak lain dari usaha untuk memperoleh pengakuan (recognition).
Tujuan tertinggi individu adalah untuk memperoleh pengakuan dari pihak lain. Inti pemikiran filsafat sosial Honneth terjangkarkan dalam konsep pengakuan ini: berbagai konflik sosial yang terjadi dewasa ini tidak lain dari perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition). Rekognisi tidak lain dari pengakuan akan hak-hak dan identitas seseorang atau sebuah kelompok sosial tertentu.
Dalam masyarakat modern, berbagai kelompok sosial, misalnya kaum LGBT, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya berjuang untuk memperoleh pengakuan dan itulah yang menurut Honneth menjadi “tata bahasa moral dari konflik-konflik sosial.” (dalam Axel Honneth, Kampf um Anerkennung. Zur moralischen Grammatik sozialer Konflikte, Frankfurt/M.: Suhrkamp, 1992).
Rekognisi, kata Honneth, adalah struktur normatif kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Rekognisi menjadi prinsip penataan masyarakat sehingga prinsip tersebut harus mencakup semua bidang kehidupan yang berperan penting dalam formasi identitas sosial maupun individual. Rekognisi yang tidak menjamin redistribusi (mis: untuk hidup layak) tentu, dalam konsepsi Honneth, bukanlah rekognisi, sebab hal tersebut akan mengakibatkan munculnya pengalaman tidak dihargai atau tidak diakui dalam diri individu atau kelompok sosial tertentu.
Honneth kemudian juga mengembangkan sebuah teori keadilan sebagai rekognisi. Jika sebelumnya keadilan banyak dipahami sebagai eliminasi ketidaksamaan, Honneth mendefinisikan keadilan sebagai pengakuan dalam arti respek.
Di sini yang ditekankan bukanlah kesamaan, melainkan bagaimana agar martabat (dignity) setiap orang dan kelompok dihargai (dan ini juga mencakup redistribusi kekayaan). Term-term keadilan dalam konsepsi Honneth bukan lagi distribusi yang sama rata atau economic equality, melainkan social respect dan dignity (martabat).
Keadilan adalah situasi ketika orang atau sebuah kelompok tidak diusahakan agar pendapatan atau status ekonominya sama, melainkan kalau hak dan martabatnya dihargai sesuai dengan harapan individu atau kelompok tersebut.
Negara dalam hal ini bertugas sebagai institusionalisasi prinsip-prinsip rekognisi agar tercipta mutual recognition di antara anggota atau kelompok-kelompok masyarakat. Keberhasilan negara diukur dari fakta sampai sejauh mana ia mampu menciptakan mutual recognition di antara warganya sehingga masing-masing anggota atau kelompok memiliki identitas personal yang sehat, saling mengakui dan dengan demikian dapat merealisasikan dirinya dalam kehidupan sosial dengan baik.
Masyarakat yang baik adalah masyarakat di mana hal-hal tersebut dapat terwujud.
Dengan teori pengakuan dan teori keadilan Honneth, kita misalnya dapat mengatakan bahwa (untuk mengambil contoh di Tanah Air), konflik yang terjadi di Papua adalah juga perjuangan untuk memperoleh pengakuan. Orang Papua menuntut agar mereka diakui dan diperlakukan secara adil. Tapi keadilan dan pengakuan yang mereka inginkan bukanlah agar mereka memperoleh seperti apa yang diperoleh orang lain di Jawa atau di bagian lain Indonesia, melainkan agar martabat dan identitas mereka diakui sebagaimana yang mereka harapkan.
Dan pengakuan akan martabat juga sudah barang tentu mencakup pengusahaan kehidupan yang layak bagi mereka (isu ini menjadi salah satu pokok perdebatan Honneth dan Nancy Fraser).
Dengan konsep keadilan sebagai rekognisi, Honneth bisa merancang sebuah teori keadilan yang bersifat pluralistik. Keadilan bukanlah kondisi di mana semua orang berada dalam kondisi atau status yang sama, melainkan kondisi di mana setiap orang atau kelompok dihargai harkat dan martabatnya dan dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dengan baik, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Demokrasi juga bukan kondisi di mana setiap orang atau kelompok dapat mengatur dirinya sendiri, juga bukan partisipasi yang sama dari setiap warga negara dalam sebuah sistem demokrasi deliberatif, melainkan sebuah kerja sama refleksif (reflexive co-operation) di mana setiap warga negara dapat bertindak secara bebas untuk berkontribusi bagi kepentingan bersama dalam masyarakat (common good). (Lih, Axel Honneth, Das Andere der Gerechtigkeit, Frankfurt/M,: Suhrkamp, 2000, hal. 282.)
Dan hal ini, menurut Honneth, tidak dapat dicapai melalui sistem ekonomi politik kapitalis, sebab tidak mungkin setiap orang memberikan kontribusi untuk masyarakat semata-mata melalui upah yang mereka terima. Untuk menciptakan sebuah masyarakat demokratis dalam arti di atas, maka masyarakat dan ekonomi harus ditata sedemikian rupa sehingga setiap anggota dari masyarakat yang demokratis itu memiliki peluang untuk memberikan kontribusi bagi kepentingan bersama (common good).
Teori pengakuan Honneth telah dikembangkan ke dalam berbagai bidang, termasuk politik, hukum, ekonomi, bahkan dalam bidang hubungan internasional.
Sewaktu studi di Frankfurt, saya masih sempat mengikuti kuliah dan seminar-seminar Axel Honneth. Ia profesor yang asyik. Ia membuatkan sendiri kopi atau teh untuk mahasiswa yang berkunjung ke kantornya.
Ia pernah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Bob Dylan. Pada semester musim panas, ia suka mengajak para mahasiswa bimbingannya untuk main bola di taman luas di samping kampus. Pemain dibagi ke dalam dua tim yang selalu dinamai tim Kant dan Hegel. Honneth selalu bergabung dengan tim Hegel. Ia sendiri menyebut dirinya filsuf Hegelian Kiri.
Saya pernah ikut pertandingan bola yang dilakukan dengan rileks dan kadang sambil nenteng botol bir ke lapangan itu.*)
Penulis merupakan pengajar di Universitas Pelita Harapan. Meraih PhD dari Universitas Frankfurt.