Tien Suryantini*
PIRAMIDA.ID- Pletar… pletar… pletar…! Suara cambuk itu bergema pada pukul satu dini hari. Penduduk Ngrandu Sonde sudah tidak kaget dengan suara itu. Dalam satu bulan cambuk itu terdengar empat kali berbunyi, dengan waktu dan hitungan yang sama.
Itu adalah suara cambuk Mbah Betur yang hendak berangkat ke Pasar Legi. Sedang cambuk yang ia bunyikan itu pertanda pamit pada istrinya.
Pasar Legi adalah nama sebuah pasar di Ngawi, kota dengan jarak tempuh duapuluh dua kilo meter dari kampung Ngrandu Sonde, tempat tinggal Mbah Betur. Pasar tersebut disebut Pasar Legi karena buka hanya hari pasaran Legi. Artinya, pasar tersebut hanya ramai satu kali dalam satu minggu. Ciri khas pasar tersebut buka jam tiga dinihari, dan tutup jam subuh. Uniknya lagi, pasar ini khusus hanya untuk tempat melelang sapi, kerbau, dan kambing.
Kebetulan, minggu ini hari pasaran Legi jatuh pada hari Senin. Dari sore Mbah Betur tidak tidur. Ia duduk di bale-bale depan rumahnya, menghitung-hitung keberuntungan menurut jumlah hari Jawa sambil mengisap rokok kawung.
Sekarang hari Senin Legi. Senin itu jumlahnya empat, sedang Legi jumlahnya lima. Jadi kalau dijumlah semuanya bernilai sembilan. Sembilan itu jatuh pada keberutungan apa? Kalau “gunung” berarti akan banyak mendapat untung, karena gunung itu pasti tinggi. “Jungkruk” berarti rejekinya sial, karena jungkruk artinya longsor alias sial.
“Segoro” artinya rejeki akan seluas lautan, karena segoro artinya laut. Dan “asat” berarti rejekinya seret, karena asat artinya kering.
Hitung demi hitung, jatuhnya pada angka terakhir, yaitu angka sembilan dengan bunyi “gunung”. Mbah Betur lantas senyum-senyum sendirian. Hatinya lega, karena menurut hitungan tadi hari ini ia akan mendapat keuntungan yang banyak.
Belajar dari orangtuanya, Mbah Betur pintar menghafal keberuntungan lewat hari. Kapan, dan dari siapa dulu orang tuanya belajar tentang semua itu, Mbah Betur sendiri tidak tahu, karena Mbah Betur tidak pernah mengusut kepada orangtuanya.
Malam semakin larut, tapi Mbah Betur tetap tidak tidur. Sekarang pukul berapa? Mbah Betur tidak tahu, sebab selama hidupnya Mbah Betur tidak pernah mempunyai jam. Bila hendak berangkat ke pasar, ia hanya berpatokan pada Lintang Panjer Rino, atau bintang pagi.
Jika bintang tersebut sudah muncul di langit, berarti sudah pukul satu menurutnya.
Mbah Betur bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri kerbau yang diikat pada pohon kelapa di halaman rumahnya. Kerbau itu dielus-elus sambil berkata, “Nanti kamu laku yang cepat dan mahal, ya. Supaya majikanmu bisa membayar utangnya dan aku bisa beli beras.”
Kemudian lelaki tua itu masuk ke dalam rumah, mengambil pecut, topi caping, serta obor untuk penerang jalan.
Mbah Betur adalah sosok orang tua yang jujur dan ulet, yang tidak pernah mau menengadahkan tangan dengan percuma. Cocok bila dulu ia mendapat nama Betur, karena Betur berarti kokoh. Saking sangat kokohnya, hingga usia hampir tujuh puluh tahun sekarang ini pun ia tidak pernah meminta kepada sanak saudara.
Bahkan terhadap anak kandungnya sekalipun orang tua ini tidak pernah mau minta dengan percuma. Merepotkan orang lain itu suatu pantangan baginya. Dari muda ia selalu berusaha sendiri, dengan menjadi blantik kerbau atau sapi.
Blantik adalah pekerjaan yang lebih banyak bertumpu pada kepercayaan dan kesabaran. Pemilik ternak memasrahkan sapi atau kerbaunya kepada Mbah Betur dan menyampaikan harga permintaan.
Kemudian Mbah Betur membawa ternak itu ke pasar. Bila ternak itu laku lebih tinggi dari permintaan pemilik, maka ia akan memperoleh bagian. Bila ternyata ditawar dibawah harga tadi, Mbah Betur akan memulangkan ternak itu kepada pemilik, dan dia tidak mendapat apa-apa.
Hari ini Mbah Betur sengaja tidak mencari dagangan seperti biasa. Ia hanya akan membawa satu kerbau, milik anaknya sendiri. Ia ingin kerbau milik anaknya cepat laku, supaya anaknya bisa melunasi hutang kepada KUD.
Menurut cerita anaknya, yang juga merangkap pegawai kecil sebagai penjaga dan tukang membersihkan tulang-tulang purba di Museum Trinil, hutangnya di KUD itu macet akibat dua periode tanaman padinya diserang wereng coklat.
Daripada hutangnya menumpuk, Mbah Betur dimohon menjualkan kerbaunya. Mbah Betur sangat setuju dengan sikap anaknya itu. Baginya, berhutang adalah hidup yang tidak nyaman.
Lintang panjer rino telah muncul. Di halaman rumahnya tampak Mbah Betur mengikat kepalanya dengan udeng, semacam surban dari kain bercorak batik, lalu menututupnya dengan topi caping. Untuk kesekian kali dinihari, Mbah Betur berpamitan kepada istrinya yang ada di dalam rumah. Pletar… pletar…Pletar…!
**
Mbah Betur sampai di Ngawi pukul empat kurang sedikit. Dari Ngrandu Sonde ke Ngrandu Blatung lama tempuh hampir satu jam. Dari Ngrandu Blatung ke Trinil lama tempuh hampir satu jam pula. Sementara dari Trinil ke Ngawi satu jam lebih sedikit. Sepanjang perjalanan duapuluh dua kilometer dan selama hampir tiga jam itu, Mbah Betur terus berjalan menggiring kerbaunya sambil memegang obor.
Sampai di pintu pasar, Mbah Betur mematikan obornya. Kemudian mengambil karcis jual untuk ditempelkan pada punggung kerbau, dengan lem yang sudah disediakan petugas pasar. Karcis yang ditempelkan itu adalah pertanda bahwa ternak yang mau dijual tersebut sudah membayar pajak.
Sampai di dalam pasar, suasana sudah ramai. Sekarang memang banyak blantik jadi-jadian. Mereka mengumpulkan dan langsung membayar ternak kepada pemilik, dan membawanya ke Pasar Legi dengan truk.
Pekerjaan yang sebenarnya tidak pantas disebut blantik, karena itu disebut blantik jadi-jadian, tapi toh mengalahkan blantik sesungguhnya seperti Mbah Betur.
Di tengah keramaian ternak di dalam pasar itu, kerbau yang dipegang Mbah Betur meronta-ronta. Dulu juga sering terjadi begitu, tapi setelah dielus kerbau tersebut diam dan menurut. Tapi kali ini tidak. Meski sudah dielus tangan Mbah Betur yang sudah sangat berpengalaman, bahkan sampai dipindah ke tempat yang agak sepi, kerbau tersebut tetap saja meronta-ronta, seperti takut bertemu dengan hewan-hewan lain.
Bahkan kemudian kerbau itu menanduk-nanduk dan menarik Mbah Betur sekuat-kuatnya.
Mbah Betur terseok-seok mengikuti larinya kerbau keluar pagar pembatas. Bahkan semakin lama semakin kencang, dan akhirnya Mbah Betur terseret keluar pasar. Orang di sekitar pasar ribut dan panik semua menyaksikan adegan tegang itu, Mbah Betur yang sudah tua itu ditarik kerbau lari.
Beberapa orang berteriak-teriak agar Mbah Betur melepaskan tali yang digenggamannya.
Antara ingin dan tidak, Mbah Betur terpaksa melepaskan tali kerbau tersebut, karena badannya terhempas pada pohon trembesi. Orangtua berusia hampir tujuh puluh tahun itu merangkak bangun dan mencoba menyandarkan badannya pada pohon tersebut. Lutut dan telapak tangannya penuh luka dan darah.
Teman-teman sesama blantik saling silih berganti sejenak mendatangi Mbah Betur. Ada yang memberikan obat merah, ada yang mengurut, ada yang memberikan uang sekedarnya untuk ongkos pulang. Salah satu yang datang itu adalah teman tetangga kampung-nya, yang kemudian mengajaknya pulang. Karena merasa belum kuat, Mbah Betur minta tolong agar kejadian itu disampaikan kepada anaknya.
Jam 6 pagi anaknya baru datang. Sambil menolong bapaknya, anaknya menyampaikan kabar bahwa kerbau yang dibawa kini telah sampai di rumah kembali.
Mendengar kabar tersebut hati Mbah Betur sangat lega. Ia tak merugikan anaknya. Ia tak mengkhianati kepercayaan yang diberikan padanya.
“Barangkali ini juga bagian dari keberuntungan yang aku hitung tadi malam!” itu yang sempat terlintas dibenaknya, sambil meringis menahan sakit.
Semenjak kejadian itu, di kampung Ngrandu Sonde tidak pernah lagi terdengar suara lecutan cambuk bila tengah malam hari pasaran. Mbah Betur tidak lagi pergi ke Pasar Legi. Tidak lagi menjadi blantik yang menghitung keberuntungan lewat hari.
Ia kini membantu anaknya menjaga dan membersihkan tulang-tulang manusia purba di Museum di Trinil, sambil menunggu lewatnya usia.*
Penulis merupakan pegiat LSM Edukasi Pasar di Depok.