Oleh: Alboin C. Samosir*
PIRAMIDA.ID- Tanggal 9 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Internasional. Ini merupakan salah satu hari besar internasional yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hari Masyarakat Adat Sedunia pertama kali secara resmi diperingati pada Agustus 1995. Hari besar ini terwujud ketika resolusi 49/214 disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 23 Desember 1994.
Tanggal ini dipilih karena pada tanggal ini pertemuan Kelompok Kerja PBB untuk penduduk asli dari Sub-Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia diadakan.
Setiap tahunnya tema yang dipilih selalu berbeda. Tahun lalu tema yang diangkat adalah “Leaving No One Behind: Masyarakat Adat dan Seruan untuk Kontrak Sosial baru”. Sedangkan, tema tahun ini mengangkat tema “The Role Of Indegenous Womenin the Preservation and Transmission Of Traditional Knowlegde” yang artinya “Peran Perempuan Adat di Pelestarian dan Transmisi Pengetahuan Tradisional”.
Sekilas berkaca dari tema yang yang diangkat tahun ini dapat ditarik gambaran bahwa hari ini keberadaan dari perempuan adat mampu memainkan peran sentris dalam menjaga kelestarian hutan dan transmisi mengenai pengetahuan tradisional leluhur mulai dari bercocok tanam, obat-obatan, melestarikan tradisi, serta warisan budaya baik yang berupa benda ataupun non-benda.
Tema ini merupakan gambaran nyata bahwa perempuan adat menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan keberadaan masyarakat adat di tengah gempuran pembangunan yang kian massif.
Berkaca dari data Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa 70 persen aktivitas perempuan adat adalah berladang tradisional. Perempuan adat telah menyediakan pangan bagi 31 juta jiwa rakyat Indonesia. Ini menjadi bukti keberadan dari perempuan adat secara khusus memainkan peran yang vital dalam menjaga ketersedian pangan.
Perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade dengan mengusung berbagai tema yang relevan dan representatif ternyata belum mampu menembus kesadaran negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat secara komprehensif. Sebagaimana tulisan saya yang berjudul ”Politik Hukum Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, negara masih saja setengah hati memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat.
Selain politik hukum kita yang masih setengah hati memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, pertumbuhan ekonomi yang dilandaskan Gross Domestic Product (GDP) dan pendapatan negara.
Hal ini mengakibatkan negara hanya berfokus kepada sektor-sektor makro yang berpeluang mendompleng pendapatan ekonomi seperti perusahaan perkebunan, pertambangan, dan industry ekstraktif lainnya. Sehingga keberadaan dari masyarakat adat yang mayoritas berada di sekitaran sumber daya alam, tak ubahnya dijadikan benalu yang harus disingkirkan baik secara persuasif dan represif.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa masyarakat adat harus disingkirkan? Apakah kehadiran masyarakat adat ini dianggap tidak memiliki peran dalam proses pembangunan bangsa? Dan apakah masyarakat adat tidak memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan bangsa baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur?
Pentingnya Mengakui Masyarakat Adat
Terdapat beberapa alasan agar negera mengakui dan memberikan perlindungan bagi masyarakat adat. Pertama, jumlah masyarakat adat di Indonesi hari tergolong masih cukup banyak. Berdasarkan data yang dirilis oleh AMAN pada tahun 2018, jumlah masyarakat adat mencapai kurang lebih 70 juta jiwa yang terdiri dari 2371 komunitas adat dengan luas wilayah yang sudah dipetakan mencapai 10,86 juta hektare dengan probabilitas mencapai 42,049 juta hektare.
Berkaca dari data tersebut, jumlah ini secara tidak langsung melegitimasi Indonesia sebagai negara dengan warisan multikultural yang cukup besar, maka seharusnya warisan multikulturalisme ini harus dijaga dan dilindungi keberadaannya, sebab bukan tidak mungkin, jumlah masyarakat adat akan berkurang setiap tahun akibat paradigma pembangunan Indonesia yang semakin mengarah ke liberal kapitalis.
Dan yang terpenting adalah mengklaim diri sebagai negara multkiltural tanpa mengakui keberadaan masyarakat adat merupakan bentuk pengkhianatan.
Kedua, sejalan dengan tema yang diusung dalam perayaan masyarakat adat internasional, masyarakat adat Indonesia kaya akan pengetahuan tradisional, mulai dari sistem pangan atau pertanian, obat-obatan yang sekiranya dapat diadopsi dalam menyelesaikan problema ketahanan pangan dan Kesehatan dewasa ini.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Antonio Guetteres, Sekjen PBB saat Hari Internasional Nasyarakat Adat 2022. Ia mengatakan, “pengetahuan tradisional masyarakat adat dapat menawarkan solusi untuk banyak tantangan kita bersama.”
Terbukti ketika dunia dilanda pandemi Covid-19 sebagian besar masyarakat adat mampu survive. Mekanisme pertahanan diri yang sudah lama mereka praktikkan menjadikan pandemi bukanlah tantangan yang begitu berarti, terbukti sebagian besar masyarakat adat mampu bertahan dari krisis tersebut.
Seperti Masyarakat Adat Punan Tubu di Kalimantan yang telah mengenal tradisi kelapit, di mana untuk menghindari orang sakit atau penularan, warga diajarkan untuk hidup terpisah dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari keluarga inti. Hal yang sama dilakukan oleh Masyarakat Adat Topo Uma di Sulawesi tengah.
Mereka memiliki pengetahuan lokal tentang penyakit menular sehingga jarak antar desa di wilayah ini cukup jauh. Tiap keluarga memiliki polompua semacam rumah kebun yang digunakan untuk mengasingkan diri sembari berkebun.
Selain memiliki pengetahuan akan mekanisme pertahanan diri, masyarakat adat juga mengenal pengetahuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan baik. Misalnya, ritual Sasi Ikan Lompa di Maluku tengah, di mana ikan ini akan dipelihara dan tidak akan diganggu selama setahun, setelah itu pemangku adat akan menyatakan ikan sudah cukup umur, barulah masyarakat boleh menangkapnya, tradisi sama dengan tradisi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas, Sumatera Utara bernama kolam bombongan.
Pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat terbukti mampu menjaga keseimbangan alam, sebab sampai hari ini tidak pernah ditemukan masyarakat adat melalukan pembalakan liar dan illegal logging. Hal ini lahir dari spirit masyarakat adat yang menjadikan hutan atau tanah menjadi bagian kosmos yang menyatu dengan spiritual mereka. Masyarakat adat selalu menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Seperti Masyarakat Adat Papua yang menyebut hutan sebagai ibu.
Ketiga, selain mewarisi tradisi pangan dan obat-obatan tradisional yang terbukti dapat bertahan hari ini, masyarakat adat juga diwarisi dengan hukum adat yang masih berlaku. Apabila dielaborasi lebih dalam lagi keberadaan dari hukum adat ini dapat menjadi alternatif dalam mekanisme hukum positif kita.
Hal ini memiliki relasi dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan, “…Hakim sebagai penegak hukum dan keadila, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.”
Memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat merupakan bentuk dari rekognisi hukum adat mengingat secara de jure hukum adat diakui sebagai sumber hukum di Indonesia. Selama ini kita masih saja berkutat dengan warisan hukum kolonial yang kadang kala menimbulkan kerancuan. Maka, sudah saatnya nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh masyarakat adat mampu diangkat menjadi sumber utama hukum positif Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh H. P. Panggabean dalam bukunya yang berjudul “Praktik Peradilan Menangani Kasus-Kasus Hukum Adat Suku-Suku Nusantara” bahwa, “dasar berlakunya hukum adat di Indonesia secara filosofis, penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum yang sangat berarti bagi hukum adat karena hukum adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan keadilan yang nyata dan hidup di kalangan masyarakat dan menceriminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia.”
Keempat, di tengah keterbukaan arus informasi dan dunia tanpa batas alias globalisasi berimplikasi pada berubahnya pola pikir, perilaku, dan gaya hidup yang berikibat pada tumbuhnya budaya individualisme, konsumerisme, egoisme dan lainnya, di mana bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan kita. Maka, upaya untuk membendung hal tersebut adalah mengarusutamakan masyarakat adat sebagai garda terdepan. Hal-hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan budaya masyarakat adat ke berbagai pranata yang ada.
Kelima, masyarakat adat akan selalu teralienasi apabila dipandang dalam logika pembangunan liberal kapitalis, tetapi bila pemerintah mampu mengubah paradigma tersebut ke dalam bentuk pembangunan berkelanjutan maka memberdayakan masyarakat adat adalah jawabannya. Seperti yang sudah disampaikan di atas, masyarakat adat adalah entitas yang paling mengerti bagaimana bisa tumbuh dan berkembang tanpa menyingkirkan lingkungan.
Semua hal di atas, kiranya dapat menjadi gambaran bagi pemerintah betapa pentingnya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Semoga momentum Hari Internasional Masyarakat Adat tahun ini dapat dimaknai dengan segera mempercepat proses pengakuan masyarakat adat.
Dan di momentum Hari Internasional Masyarakat Adat berikutnya, kita sudah menyaksikan masyarakat adat mendapatkan tempat di negeri ini sebagaimana mestinya.(*)
Penulis merupakan pemerhati masyarakat adat. Demisioner Presidium Gerakan Kemahasiswaan (PGK) PP PMKRI.