Oleh: Alboin C. Samosir*
PIRAMIDA.ID- Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, baru saja bertolak ke Eropa untuk mengikuti serangkaian kegiatan internasional, salah satu kegiatan yang akan ia hadiri adalah Conference Of Parties (COP) ke-26. COP adalah forum yang melibatkan 197 negara yang terlibat untuk membicarakan isu perubahan iklim, langkah-langkah untuk menanggulanginya, serta menagih komitmen negara-negara dunia dalam menjaga dan melestarikan Bumi.
COP sendiri merupakan badan pembuat keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change, yang ditandatangani pada 1992.
Namun COP baru berlangsung pertama kali pada tahun 1995. Pertemuan pertama ini berlangsung di Berlin, Jerman. Tugas utama COP adalah melakukan peninjauan target-target setiap negara terkait emisi yang diajukan. Pelaksanaan COP akan digilir di antara lima wilayah PBB, yakni Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Tengah dan Timur dan Eropa Barat dan lainnya.
Edisi ke-26 COP ini akan berlangsung mulai dari tanggal 1-12 November di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Pertemuan kali ini akan lebih dispesifikkan sudah sejauh mana negara-negara menjalankan komitmen Persetujuan Paris 2015, yakni untuk menekan laju peningkatan suhu global di bawah 2 derejat celcius.
Selain itu, terdapat beberapa isu yang akan dibahas di antaranya, pengurangan emisi gas rumah kaca, penggunaan energi baru terbarukan, dan menyumbangkan miliaran dolar untuk dampak perubahan iklim terutama bagi negara miskin.
Hasil dari pertemuan ini memang sangat patut dinantikan, mengingat semenjak pertemuannya pertama di tahun 1995 belum ada dampak yang signifikan untuk mengatasi perubahan iklim yang terjadi. Serangkaian kejadian menjadi bukti masih rendahnya komitmen tiap-tiap negara untuk menyelamatkan bumi ini, salah satunya adalah peningkatan suhu panas bumi.
Meningkatnya suhu panas udara dan terjadinya anomali cuaca merupakan salah satu contoh kecil telah terjadinya perubahan iklim. Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan.
Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah pemanasan global. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca yang membuat lapisan atmosfer bumi semakin tebal. Penebalan atmosfer bumi ini mengakibatkan panas bumi terperangkap, inilah menjadi alasan terjadinya peningkatan suhu bumi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya peningkatan gas rumah kaca, yakni kerusakan hutan dan alih fungsi lahan, meningkatnya deforestasi, penggunaan energi fosil yang cukup tinggi, energi yang tidak ramah lingkungan, dan pembuangan limbah industri maupun limbah rumah tangga.
Selain meningkatnya suhu panas Bumi atau naiknya konsentrasi gas rumah raca di lapisan atmosfer, tanda lainnya pemanasan global adalah peningkatan muka air laut, dan melelehnya lapisan es di kedua kutub Bumi. Peningkatan suhu di Bumi setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga metereologi dunia (WMO) memperkirakan, pada 2025 terdapat 40 persen kemungkinan temperatur 1,5 derajat Celcius (1,5C) lebih panas setidaknya dalam setahun dibandingkan masa pra industri (atau pada 1850-an). Sementara, menurut badan antariksa AS, NASA (National Aeronautics and Space Administration), tahun 2O2O adalah periode paling panas yang pernah dicatatkan Bumi.
Peningkatan suhu Bumi ini akan dibarengi dengan terjadinya fenomena lanjutan seperti perubahan frekuensi dari El Nino atau peningkatan suhu muka laut di sekitar pasifik tengah dan timur dan La Nina atau suhu permukaan laut mengalami penurunan, kebakaran hutan, banjir serta meningkatnya kejadian puting beliung.
Dampak dari perubahan iklim ini akan dirasakan langsung oleh negara-negara yang secara kedudukan geografis berada di dataran rendah dan negara kepulauan (arcipelago state). Indonesia yang berada di dua zona tersebut tentu harus menyadari realitas tersebut bahwa ancaman perubahan iklim tersebut nyata terjadi.
Ancaman perubahan tersebut kini nyata terjadi di depan mata, di mana menurut catatan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), perubahan iklim telah mengakibatkan resiko bencana hingga 80 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia. beberapa di antaranya adalah badai seroja yang menimpa sejumlah kabupaten-kota di Nusa Tenggara Timur (NTT), banjir rop di berbagai daerah di pulau Jawa, kekeringan dan ancaman gagal panen.
Ancaman lain yang turut menghantui adalah turunnya permukaan tanah di berbagai daerah. Berdasarkan hasil pantauan satelit, DKI Jakarta antara 0,1 cm hingga 8 cm per tahun; Cirebon antara 0,3 cm hingga 4 cm per tahun; Pekalongan antara 2,1 cm hingga 11 cm per tahun; Semarang antara 0,9 cm hingga 6 cm per tahun; dan, Surabaya antara 0,3 hingga 4,3 cm per tahun.
Selain ancaman turunnya permukaan tanah di berbagai daerah, secara ekonomi ancaman perubahan iklim ini akan menyerap atau menghabiskan dana dengan nominal yang cukup fantastis. Badan Percepatan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, letak Indonesia yang banyak dikelilingi garis pantai, potensi kerugian untuk interval 2020-2024, total kerugian mencapai 544 triliun rupiah. Hal senada juga diungkapkan Kementerian Keuangan yang mengatakan potensi kerugian dapat mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen dari pendapatan domestik bruto pada 2030.
Komitmen Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat dalam pertemuan ini sekaligus turut meratifikasi Perjanjian Laris melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, patut ditagih komitmennya dalam upaya mencegah perubahan iklim.
Joko Widodo sebelum bertolak ke pertemuan COP-26 mengatakan, posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim sangat konsisten. Indonesia akan terus bekerja keras memenuhi komitmen yang telah dibuat. Menurutnya, peran Indonesia dalam isu perubahan iklim sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis dan hutan mangrove terbesar di Indonesia.
Pernyataan Joko Widodo patut disimak dan dipertanyakan. Benarkah demikian? Benarkah Indonesia sangat konsisten dalam menanggulangi isu perubahan iklim ini? Kemudian, sudah sejauh mana langkah antisipasi dan mitigasi yang sudah disiapkan pemerintah untuk mengatasi perubaham iklim?
Ungkapan sangat konsisten agaknya sedikit berlebihan sebab Indonesia sendiri belum menjadi negara yang memiliki kepedulian yang cukup tinggi terkait perubahan iklim. Menurut laporan Climate Change Performance Index (CCPI) Indonesia memiliki skor performa perubahan iklim sebesar 53,59 poin atau dalam kategori sedang. Penilaian ini berpedoman pada sejumlah indikator seperti emisi gas rumah kaca, penggunaan energi baru terbarukan, dan kebijakan iklim.
Indonesia sendiri dalam upayanya mengurangi gas rumah kaca telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) berkomitmen untuk mengurangi emisi rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 itu artinya, target Indonesia besar sekali untuk mengurangi emisi GRK, di mana untuk sektor energi sendiri mencapai 314 juta ton CO2 dengan kemampuan sendiri dan sebesar 392 juta ton CO2 dengan bantuan internasional.
Terdapat beberapa langkah strategis yang termuat dalam Perpres ini, seperti di sektor energi dan transportasi, kebijakan yang akan dilakukan adalah peningkatan penghemat energi, penggunaan bahan bakar yang lebih bersih, peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan pengembangan transportasi massal. Hal yang sama berlaku untuk semua sektor dengan mengedepankan pembangunan berkelanjutan.
Dalam upayanya mengimplementasikan Perpres ini dengan ambisi mengurangi laju emisi GRK sebesar 26 persen menemukan sejumlah kendala. Seperti ketergantungan Indonesia untuk menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil masih sangat tinggi. Menurut Kementerian Energi Sumber Daya Alam, sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 MW setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Batubara menjadi penyumbang utama. Jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari PLTU misalnya mencapai 35.216 MW setara 49,67 persen dari total kapasitas nasional 70.900 MW.
Sedangkan penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia terbilang masih sangat minim. Dalam beberapa kesempatan pernyataan pemerintah berbeda. Dilansir dari situs resmi ESDM target penggunan EBT tahun 2025 sebesar 23 persen, sementara tahun 2018 penggunaan EBT baru mencapai 8, 55 persen, di sisi yang lain tergetnya penggunaan EBT sudah mencapi 13 persen tentu target ini akan terasa sangat sulit teralisasi terlebih political will pemerintah hari ini cenderung menjauh dari pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis.
Hal ini bisa berkaca dari serangkaian kebijakan pemerintah yang masih saja memberikan ruang penggunaan fosil terutama batubara sebagai pembangkit listrik utama di Indonesia, bahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara memberikan keleluasan bagi korporasi untuk memperpanjang izin kontraknya dengan mudah tanpa adanya proses assement yang mendalam dan pertimbangan akan keselamatan lingkungan, bahkan dalam revisi ini luasan eksplorasi tambang diperluas dua kali lipat dari sebelumnya, yakni sekitar 50 ribu hektar.
Selain merevisi UU Minerba, pemerintah juga turut mengesahkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, undang-undang yang digagas dalam bentuk Omnibus Law ini memuat serangkaian aturan kontroversial salah satunya di klaster lingkungan hidup. Dihapusnya pertanggungjawaban mutlak (strict liability), penyederhanaan izin Analisa Terhadap Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin lingkungan, dan anti-klimaksnya adalah ketika keberlanjutan dari lingkungan hidup ditentukan oleh proses perizinan dan pengawasan, artinya negara meletakkan keberlangsungan lingkungan hidup di tangan korporasi.
Deforestasi juga turut mempengaruhi emisi GRK. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) mengklaim interval 2019-2020 berhasil menurunkan deforestasi sebesar 75,03 persen, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Namun, ini tidak menghilangkan angka deforestasi dari tahun 2009 hingga 2018 seluas 2,57 juta hektar. Maka, zero deforestasi dan konservasi hutan adalah sebuah keharusan apabila indonesia komitmen mengurangi laju emisi GRK.
Berdasarkan uraian tersebut, pernyataan Jokowi yang mengatakan sangat consern terhadap perubahan iklim saat bertolak ke Eropa patut dipertanyakan dan ditagih ketika ia kembali ke tanah air, sebab faktanya komitmen terhadap perubahan iklim yang terjadi tidak sejalan dengan tindak tanduk pemerintah serta serba serbi kebijakannya yang cenderung mengabaikan keberlangsungan dari lingkungan hidup.
Solusi Perubahan Iklim
Perubahan iklim terjadi secara signifikan dimulai pasca lahirnya Revolusi Industri 1.0 abad ke-12. Sejak itu pola produksi mengalami perubahan yang cukup drastis. Pola produksi yang tadinya menyerupai seni kriya berubah menjadi pola produksi massa. Kehadiran alat-alat canggih mengubah mindset manusia untuk menguasai dibandingkan membagi, proses transaksi yang sebelumnya hanya memenuhi kebutuhan, menjelma menjadi akumulasi.
Hal ini berpengaruh terhadap pola dan sistem penguasaan lahan, seperti ekonomi pasar yang membuka peluang seluas-luasnya untuk akumulasi kapital mendorong pengusaha tani mengubah ekosistemnya, dampaknya tidak hanya terhadap lingkungan, melainkan aspek sosial dan kebudayaan mereka.
Pola produksi ini juga berlaku di tingkatan negara, perhitungan keberhasilan suatu negara melalui Gross Domestik Produk, terbukti mengesampingkan biaya eksternalitas, biaya sosial, dan biaya masa depan. Faktor kerusakan lingkungan, depresi sumber daya alam dan degradasi kualitas kesehatan diabaikan. Padahal penyusutan kualitas lingkungan amat berpengaruh terhadap kelangsungan produk itu sendiri.
Maka dari itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah perubahan iklim ini adalah penerapan pola reduksionisme penurunan skala produksi dan konsumsi. Penerapan pola ini kiranya tidak dipandang sebagai kemunduran melainkan kehormatan dan penghargaan kita terhadap lingkungan hidup dan generasi yang akan datang.
Selain penerapan reduksionisme, perlu juga upaya untuk beralih dari sumber energi yang tidak dapat diperbaharui ke EBT. Sebab penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui secara terus menerus akan mengganggu keseimbangan ekologis karena jumlahnya yang terbatas. Menghadapi sumber energi yang terbatas, Wiliam Hugendjik secara ekstrem mengajukan adanya gerak kontraksi terhadap petumbuhan produksi di seluruh dunia.
Jalan keluar dari penerapan reduksionisme dan peralihan ke EBT, yakni menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam menata suatu negara. Pola pembangunan berkelanjutan ini menempatkan manusia dan alam dalam kedudukan yang sejajar, manusia sebagai mahluk yang berkembang dengan pemikirannya patut menjadi penanggungjawabnya untuk memastikan manusia dapat hidup bersama dengan lingkungan, pun sebaliknya.
Dan yang terakhir adalah meng-arusutamakan kemiskinan sebagai isu sentral yang segera diselesaikan, sebab persoalan kemiskinan dan ketimpangan redistribusi pendapatan menjadi variabel utama yang sangat signifikan terhadap problema lingkungan hidup. Permasalahan ini sering terjadi di negara-negara yang menggantungkan kehidupannya terhadap sumber daya alam, salah satunya Indonesia.
Forum COP-26 yang diisi oleh para cendekia tentu akan menghasilkan solusi yang jauh lebih konkret untuk menghasilkan solusi terhadap perubahan iklim yang kian lama kian tak terbendung. Maka, sangat patut dinantikan komitmen dari 197 negara peserta COP-26 terutama Indonesia pasca pertemuan tersebut untuk menjaga dan menyelamatkan Bumi yang akan kita warisi pada generasi berikutnya.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip pernyataan tokoh reformis dari India, Mahatma Gandhi yang mengatakan, “Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, tetapi tidak cukup untuk tujuh orang serakah.”
Kiranya manusia serakah yang dimaksud oleh Mahatma Gandi tidak pernah ada dan terlahir sehingga Bumi dapat kita wariskan dengan baik bagi generasi berikutnya.(*)
Penulis merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI Periode 2020-2022.