PIRAMIDA.ID- Para pejuang lingkungan hidup di negeri ini perlu mendapatkan perlindungan kuat karena mereka kerap mendapat masalah atau terancam. Meskipun, ada aturan hukum di Indonesia, yakni, Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seakan tak bergigi.
Pasal itu berbunyi, ‘setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.’
Mengacu pada data Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) pada 2019, ada 127 orang dari 50 kelompok pembela HAM atas lingkungan jadi korban kekerasan. Tahun ini, periode Januari-April, ada 22 pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan, dengan 69 korban perorangan dan empat komunitas masyarakat adat.
Berbagai kalangan mendesak pemerintah mengeluarkan instrumen hukum anti strategic lawsuit against public participation (anti-SLAPP) untuk melindungi gugatan balik dari penjahat lingkungan hidup tampak mulai menemukan titik cerah. Pemerintah menyiapkan draf Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PemenLHK) tentang anti-SLAPP. Sayangnya, belum ada kejelasan kapan aturan ini terbit.
“Dari segi teknis ini sudah baik, sekarang kami ajukan pada Menteri (LHK) untuk ditandatangani, tapi belum ditandatangani. Kami sangat terbuka dengan segala masukan agar lebih kaya,” kata Ilyas Asaad, Tenaga Ahli Menteri LHK dalam diskusi daring bertajuk Mewujudkan Perlindungan Negara bagi Pembela HAM Sektor Lingkungan, baru-baru ini.
Dia bilang, inti permen turunan UU PPLH itu adalah pembentukan mekanisme penanganan SLAPP untuk orang yang memperjuangkan lingkungan. Nantinya, menteri akan menetapkan kalau ada kasus tergolong SLAPP dan memberikan informasi itu ke aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam menentukan perkara, katanya, KLHK akan membangun tim fasilitator penanganan SLAPP untuk mengkaji setiap kasus yang diduga SLAPP yang dilaporkan ke KLHK. Nantinya, hasil kajian berupa rekomendasi keputusan kepada menteri.
Dia menekankan, rekomendasi menteri tentang perkara SLAPP tidak memiliki wewenang menghentikan proses penyelidikan dan penyidikan yang berjalan. Rekomendasi anti-SLAPP, katanya, akan jadi dasar, bukan penghentian. “Informasi ke berbagai pihak kalau kasus ini adalah perkara SLAPP, maka aparat penegak hukum perlu peninjauan kembali untuk tetap melanjutkan atau menghentikan (proses hukum), bukan kami yang hentikan.”
Terganggu omnibus law
Sayangnya, semangat menjamin perjuangan para pejuang lingkungan itu justru terganjal regulasi yang sedang disusun, RUU Cipta Kerja, yang biasa disebut RUU omnibus law yang menyederhanakan berbagai aturan, juga UU Nomor 3/2020 tentang Perubahan atas UU nomor 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara. Potensi kriminalisasi rakyat dalam kedua produk legislatif ini sangat besar. Begitu kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM.
“Ada masalah-masalah termasuk pengabaian ingkungan hidup, misal, dalam omnibus law. Kami jadi bingung dengan komitmen pemerintah,” katanya.
Kalau Komnas HAM, katanya, sedang merumuskan persoalan HAM dalam RUU Cipta Kerja. “Kami akan pastikan proses pembaruan hukum termasuk RUU Cipta Kerja ini, harus berdasarkan prinsip HAM,” katanya.
Senada dengan Sandra, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional merekomendasikan agar DPR dan Komnas HAM lebih antisipatif melihat kebijakan yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat ini.
“Perlu ada human rights impact assessment atas kebijakan-kebijakan itu,” katanya.
Terlalu bertumpu ekonomi
Selain terdapat masalah dalam produk hukum, kriminalisasi dan penyerangan terhadap pejuang juga karena paradigma pembangunan Indonesia salah. Pertumbuhan Indonesia, katanya, terlalu bertumpu pada ekonomi yang melibatkan korporasi dalam proyek skala besar.
Hampir sebagian besar pelanggaran HAM, katanya, akibat konflik antara korporasi atau pembangunan pemerintah dengan pembela lingkungan. “Itulah kenapa pembangunan di Indonesia belum hargai HAM, kita terlalu bertumpu pada model ekonomi seperti ini.”
Untuk itu, perlu perubahan model pembangunan dengan lebih melihat kebutuhan masyarakat. Menurut dia, perubahan mendasar perlu agar pelanggaran HAM tak lagi terjadi di masa mendatang.
“Biar mereka pilih sendiri model pembangunan apa yang mereka butuhkan. Kalau sekarang pembangunan kita kan hanya satu jenis saja, padahal komunitas masyarakat memiliki cara mereka sendiri,” katanya.
Pemerintah, katanya, harus mendengarkan suara komunitas atau kelompok masyarakat di sekitar proyek pembangunan.
“Enggak bisa kita dahulukan ekonomi, kalau kita enggak jaga HAM dan enggak lindungi lingkungan, itu akan menghadirkan kemudaratan,” kata Laode M Syarif Direktur Eksekutif Kemitraan.
Dia contohkan, bagaimana banjir bandang di Luwu Utara yang menurut laporan KLHK dan laporan resmi dari Sulawesi Selatan karena pembukaan lahan baru untuk kebun sawit di atas gunung. “Itu bukan mendatangkan keuntungan, tapi malah kemudaratan.”
Dia menilai, banyak represi terhadap pejuang lingkungan yang menyuarakan ketidakadilan pembangunan di wilayah mereka.”Kami berharap pemerintah bekerjasama dengan seluruh stakeholders untuk menjamin perjuangan para pejuang lingkungan ini, jangan lagi ada kasus seperti Pak Bambang Hero dan Pak Basuki Wasis (yang dikriminalisasi karena bersaksi di pengadilan).”
DPR pasif
Menanggapi ini, DPR justru meminta agar Komnas HAM rutin berkabar ke DPR terkait kasus-kasus HAM yang menimpa para pembela lingkungan. “Kadang-kadang kasus yang kami beri atensi karena ada pemberitaan soal itu. Banyak juga info dari teman-teman LSM dan Komnas HAM tapi tidak pernah sampai info komprehensif ke DPR hingga kami tidak beri respons,” kata Asrul Dani, anggota Komisi III DPR.
Strategi pertama perkuat pembela lingkungan adalah dengan ketentuan khusus melalui UU HAM yang sedang revisi. Arsul menyebut, revisi UU itu inisiatif pemerintah.
“Kalau sampai akhir 2021 (pemerintah) belum bergerak soal itu, bisa inisiatif DPR untuk diubah. Cuma kami di DPR, kan, bisa agak lupa juga, karena itu ingatkan kami,” katanya.
Ardi Manto Adiputra, Koordinator Riset Imparsial mengingatkan, DPR dan pemerintah untuk mengajak masyarakat sipil dalam setiap pembahasan Undang-undang, termasuk dalam revisi UU HAM.
“DPR dan pemerintah harus melibatkan masyarakat sipil supaya betul-betul bisa mengakomodir keperluan perlindungan pembela HAM.”
Kala investasi skala besar masuk dan warga bertahan, berjuang mempertahankan dan melindungi lahan atau hutan mereka agar tak terganggu. Mereka tak ingin lingkungan rusak, Orang-orang yang berjuang demi menjaga ruang hidup mereka ini malah rentan terjerat hukum.
Sumber: Mongabay Indonesia/Richaldo Hariandja