Priadi Pasaribu*
PIRAMIDA.ID- Konflik agraria menjadi salah satu sumber konflik terbesar di negeri kita. Berbagai konflik kini telah menjadi bulan-bulanan bagi masyarakat. Persoalan agraria yang tak kunjung menemukan titik kejelasannya kian menambah rentetan panjang penderitaan masyarakat.
Catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tahun 2020 menyebutkan total konflik agraria sebanyak 241. Sedangkan untuk tahun sebelumnya (2019) ada sebanyak 279 konflik agraria. Ini menandakan ada kenaikan kasus konflik. Bahkan untuk situasi pandemi tahun ini konflik juga masih massif terjadi.
Sebagai contoh, antara masyarakat kawasan Danau Toba dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Sukanto Tanoto ini meresahkan masyarakat karena selain mengklaim tanah adat juga menjadi salah satu penyumbang deforestasi alam. Kehadiran PT TPL kurang tepat menjadi jawaban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah-daerah kawasan Danau Toba.
Konflik ini masih terus berlanjut. Pada Selasa, 18 Mei 2021 terjadi bentrok antara masyarakat adat natumingka dengan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Desa Natumingka, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Bentrokan ini dipicu oleh rencana pihak PT TPL yang ingin menanam eukaliptus di atas tanah adat masyarakat Natumingka.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat adat ini sebetulnya bukan yang pertama kali terjadi tetapi sudah dari tahun-tahun sebelumnya. Ratusan masyarakat, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) ditambah mahasiswa juga LSM kerap melancarkan aksi menuntut penutupan PT TPL. Namun alih-alih medapat dukungan, negara terang-terangan berpihak kepada korporasi. Akibatnya tokoh masyarakat adat ditangkap dan ditahan.
Amanat UUD
Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal ini telah menegaskan bahwa masyarakat adat itu sendiri diakui keberadaanya beserta hak-hak tradisionalnya termasuk tanah adatnya.
Kemudian UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya segala pengelolaan yang menyangkut agrarian harus dikelola dengan baik oleh negara dan diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Harapannya rakyat dapat merasakan kemakmuran, kesejahteraan yang adil.
Namun sepertinya pemerintah sekarang telah salah dalam menafsirkan hakikat dari UUD tersebut. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan koorporasi. Kondisi agraria kita saat ini jauh dari tujuan mulia tersebut. Padahal konsep hukum di negeri ini menegaskan bahwa peraturan bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. UUD 1945 yang menempati posisi yang tinggi harus dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan peraturan turunannya.
Hingga tulisan ini dibuat, perundang-perundang yang dikerjakan pemerintah sama sekali belum menyentuh apa yang diharapkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Sebutkan saja UU Pertanahan, UU Perkebunan dan terbaru Omnibus Law terkait agraria sesungguhnya melebarkan karpet merah kepada swasta, korporasi, borjuis, modal asing, dan juga menguntungkan kantong pribadi pemerintah itu sendiri.
Kacamata Marhaenisme
Marhaenisme merupakan pemikiran yang dicetuskan oleh Bung Karno yang dapat dipakai sebagai alat perjuangan sekaligus alat analisa yang konsisten menghilangkan penghisapan, penindasan, penganiayaan manusia atas manusia.
Pertama, yaitu Marhaen. Marhaen awalnya merujuk pada seorang petani. Namun yang termasuk Marhaen bukan hanya petani tetapi juga buruh pabrik, buruh tani, warga desa, masyarakat miskin kota, warga termarjinalkan, masyarakat lainnya yang sengaja dimelaratkan oleh sistem. Lalu siapa marhaen dalam kasus ini? Masyarakat adat adalah marhaen di sini.
Marhaen yang tanah adatnya diklaim sebagai bagian konsesi perusahaan PT TPL Marhaen yang terus berjuang merebut haknya. Tanah yang menjadi alat produksi harus diberikan kepada petani. Liberalisme ekonomi bukan lain merupakan system yang menindas. PT TPL diberikan izin konsesi oleh pemerintah agar dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat lewat pajak perusahaan, namun justru menibulkan kekacauan sosial.
Pemerintah memasukan wilayah adat masuk sebagai wilayah konsesi. Ini sama saja merampas hak masyarakat.
Kedua, yaitu Sosio Nasionalisme. Sosio nasionalisme mengakui kemerdekaan dan juga menjungjung tinggi martabat dan kemakmuran bangsa. Semangat nasionalisme ini seharusnya dapat menghantarkan masyarakat pada kesejahteraan.
Sikap pemerintah yang tak kunjung menetapkan penyelesaian konflik agraria sesungguhnya sosio nasionalismenya perlu dipertanyakan. Konflik Masyarakat adat Natumingka dengan PT TPL dan juga konflik agraria lainnya segera dicari titik terangnya. Negara jangan sampai menutup mata melihat betapa banyaknya konflik yang kian hari memakan korban luka.
Proses pengambilan kebijakan jangan hanya mengakomodir aspirasi dari perusahaan tetapi juga dari masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat, maka paket kebijakan yang dihasilkan dapat menyentuh kebutuhan mereka. Dengan begitu masyarakat dapat melaksanakan hak dan kewajibannnya sebagai bangsa Indonesia.
Ketiga, yaitu Sosio Demokrasi. Demokrasi jangan hanya dalam bidang politik saja tetapi juga demokrasi dalam bidang ekonomi. Masyarakat adat juga diberikan kesempatan untuk hidup lebih baik. Berikan akses yang sama. Wilayah adat ini merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat berupa kemenyan dan juga sebagai sumber mata air melimpah di wilayah adat. Mereka menggantungkan hidup dari tanah adat ini.
Penulis berharap konflik agaria ini jangan didiamkan hingga mengalami eskalasi karena semakin lama konflik ini akan semakin lekat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penyelesaian konflik harus diselesaikan secara menyeluruh hingga keakar-akarnya berasaskan keadilan.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan UNJA dan Kader GMNI Jambi.