Oleh: Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Indonesia itu apa? Ini adalah pertanyaan ontologis yang sering tak diucapkan oleh kita semua. Padahal, kegagalan kita dalam mempercepat realisasi janji proklamasi berawal dari pertanyaan maha penting ini.
Jadi, pertanyaan Indonesia itu apa menjadi urgen untuk kita jawab bersama. Kemampuan menjawab pertanyaan itu nanti diharap bisa menjawab problem besar berikutnya.
Setidaknya ada tiga hal penting jika menyangkut epistema Indonesia. Pertama, sejak lahirnya, Indonesia telah dibentuk dari pertempuran berdarah-darah soal bagaimana landasan pembangunan, yaitu pertempuran untuk mencari solusi dari tiga ide pengelolaan wilayah: 1) Ide soal pengelolaan pembangunan berbasis darat (ontologi kontinental); 2) Ide soal pengelolaan pembangunan berbasis laut (ontologi maritim); Dan, 3) Ide soal pengelolaan pembangunan berbasis udara (ontologi dirgantara).
Tiga model pembangunan yang memiliki argumentasinya masing-masing tetapi sering tak menemukan sintesanya. Tiga yang sering saling merasa benar sendiri. Tiga yang tak menyata. Berbhineka tetapi tak ika.
Kedua, dalam sejarahnya, Indonesia telah dibangun dari pergumulan panjang dan dialektis, panas dan argumentatif, tegang dan kompromistis tentang usaha mencari solusi dari tiga ideologi yang mencari sintesa. 1) Ide tentang bagaimana dengan kolonialisme-neoliberalisme; 2) Ide tentang bagaimana dengan etatisme-komunisme; 3)Ide tentang bagaimana dengan nasionalisme-pancasilaisme.
Tiga ideologi ini membentuk Indonesia tetapi sering bertempur dan saling bunuh guna tak menemukan jawabannya. Tiga yang sering dilupa oleh elite dungu bin jahiliyah sepanjang masa. Tiga yang sempat menggumpal jadi “nasakom.”
Ketiga, sejak semula juga Indonesia telah dibentuk dari perdebatan melelahkan dan sering muspro untuk mencari solusi dari tiga ide yang mencari sintesa. 1) Ide tentang di mana posisi agama; 2) Ide tentang di mana posisi suku; 3)Ide tentang di mana posisi ras/warna kulit/keturunan.
Tiga inilah yang mengarsiteki indonesia tetapi sering tak menemukan jawabannya. Tiga yang sering dilupa oleh kita semua sehingga menjadi bara api dalam sekam. Tiga yang sering meledak tanpa disangka-sangka.
Padahal, kita hidup dalam negara Pancasila. Satu sintesa yang telah disepakati para pendiri Indonesia. Di dalam negara Pancasila mestinya ketergantungan (utang), ketimpangan dan kemiskinan berbanding lurus dengan konstitusi.
Jika konstitusional kita dahsyat karena direalitaskan dalam kebijakan publik, maka ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan akan habis. Juga sebaliknya! Jika ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan makin merajalela berarti kita telah lama mengkhianati Pancasila.
Jadi, jika kita kini hidup di bukan negara Pancasila, kita punya negara apa? Negara impotenkah? Sebab, impotence state is inability government to take effective action. Negara yang tak berfungsi sebagaimana baiknya, sebagaimana yanh dicita-cita.
Lalu, bagaimana agar kita melampaui negara impoten? Tidak ada jalan mudah kecuali kita perlu mengintegrasikan sembilan pembentuk dan tantangan di atas serta menjadikannya riil di lapangan.
Artinya, kita harus membuat negara integral yang bergotong-royong dengan menjadikan pancasila sebagai jalan keluar.
Sebab, cara terbaik mengatasi ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan adalah mempraktekkan negara integralistik, yaitu negara yang integratif dan bertindak progresif dengan tidak boleh memihak pada salah satu golongan.
Negara ini harus berdiri di atas semua kepentingan; yaitu negara yang berdiri di atas semua warga negara; yaitu negara yang mengarus utamakan warganya (asli); yaitu negara yang tak kalah oleh oligarkik, kartelik, predatorik dan kleptokrasik.
Inilah sintesa Indonesia. Satu postur hibridasi yang arif dan inovatif demi terciptanya cita-cita berbangsa bernegara.
Di Indonesia, “kita harus mengendus masa depan,” kata Maestro Jazz, Idang Rasidi suatu kali. Sebab sejarah harus diciptakan, dengan tangan, kaki, pikiran, ucapan dan perbuatan sendiri yang menancap kuat atas pengetahuan masa lalu, kini dan ke depan.
Jika ingat hipotesa itu, aku ingat Muhammad dan Marx. Aku ingat. Ya ingat. Akan petuah tuan Idang Rasidi. Cuma aku belum punya sekutu. Apalagi pasukan.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre.