Romian Siagian*
PIRAMIDA.ID- Beberapa hari yang lalu, aku berbincang dengan seorang kawan mengenai feminisme. Katanya, yang dia ketahui tentang feminisme itu menolak keberadaan laki-laki. Dia juga bilang bahwa feminisme mendukung LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexsual, Trandgender, Intersex, Queer) dan matriarki.
Aku memang belum dalam memahami paham feminis. Bisa dikatakan, aku baru dan sedang belajar mengenai paham ini. Tapi, waktu itu aku langsung membantah pernyataannya. Aku tidak sepakat dengan hujatannya mengenai feminisme.
Yang pertama, tentang menolak keberadaan laki-laki. Secara universal, cita-cita feminisme bukanlah menolak keberadaan laki-laki. Tapi, menolak anggapan yang laten di kepala bahwa kedudukan laki-laki berada di atas kedudukan perempuan.
Sering kali ditemui anggapan bahwa laki-laki itu superior dan perempuan itu inferior. Yang memiliki kesempatan mengambil peran di masyarakat bukan para laki-laki saja dan yang melakukan pekerjaan domestik bukan para perempuan saja.
Misalnya, yang mempunyai kemampuan memimpin sebuah kelompok atau organisasi hanyalah laki-laki dengan alasan laki-laki memiliki tingkat rasionalitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, sementara perempuan dikenal sebagai manusia paling perasa, mudah tersentuh hatinya, dan emosional.
Padahal memimpin tidaklah mempersoalkan gender, tapi mempersoalkan kemampuan. Siapa yang memiliki kemampuan memimpin maka dialah yang layak menjadi pemimpin.
Doktrin superiornya laki-laki tidak hanya ditemukan pada tokoh-tokoh di masyarakat. Yang paling sederhana saja di jenis warna dan kartun untuk anak-anak.
Warna hitam, merah dan biru akan dicirikan maskulin karena menggambarkan keberanian. Sementara warna putih, merah muda, dan orange akan dicirikan feminin karena menggambarkan kelembutan. Tanpa disadari, kita sebagai orang dewasa telah menghadirkan relasi kuasa kepada anak-anak. Bukannya memberi kebebasan untuk memilih warna kesukaan kepada anak-anak.
Begitu juga dengan serial kartun, anak laki-laki identik dengan tokoh super seperti Superman, Batman, Ironman, dan Spiderman karena tangguh dan memiliki kemampuan yang baik untuk berkelahi.
Sebaliknya, anak perempuan identik dengan serial kartun Hello Kitty, Panda bahkan barbie-barbie yang terkesan manja, senang berdandan dan berbelanja. Contoh yang kuberikan bukan mengarah pada penegasian laki-laki.
Namun, aku mencoba memberi contoh bahaya latennya budaya patriarki, di mana menganggap kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Yang kedua,ctentang feminisme mendukung LGBTIQ dan matriarki. Aku pernah beberapa kali menghadiri diskusi tentang feminisme bersama kawan-kawan feminis dan LGBTIQ. Di sana, kami membahas banyak hal termasuk LGBTIQ dan matriarki.
Kemudian untuk menanggapi bahwa feminisme mendukung LGBTIQ. Menurutku itu tepat sekali. Karena cita-cita feminisme adalah mewujudkan kesetaraan gender. Itulah sebabnya para feminis memperjuangkan hak-hak LGBTIQ dalam sosial, ekonomi, politik hingga hak untuk memperoleh pendidikan dan diterima di masyarakat.
Menurut ‘si kawan’, gender itu adalah jenis kelamin yang berarti laki-laki dan perempuan. Dia menggunakan logika berpikir biner. Itulah sebabnya, dia menganggap mendukung LGBTIQ adalah sebuah hal tabu.
Lagi-lagi aku tidak sepakat dengannya. Aku beranggapan bahwa gender itu adalah karakteristik yang membedakan jenis kelamin itu sendiri, tetapi bukan secara biologis. Yang kumaksud biologis adalah vagina atau penis, hormon, kromosom, dsb.
Karakteristik yang kumaksud dalam konteks ini adalah sesuai dengan peran, perilaku, aktivitas, dan atribut yang ditentukan masyarakat. Atau biasa disebut konstruksi sosial. Sederhananya, gender itu adalah konstruksi sosial.
Menurutku, edukasi gender harus sudah diberikan kepada anak-anak sedari kecil untuk meminimalisir bahkan menghapuskan diskriminasi gender di hari depan.
Karena harus kuakui, doktrin yang kuterima sedari kecil tentang gender sangatlah sempit, yaitu sebatas yang memiliki penis disebut laki-laki dan yang memilki vagina disebut perempuan.
Karena hanya itulah yang diakui negara dan sisanya tidak (dan belum) diakui. Padahal, tidak (dan belum) diakui negara bukan berarti tidak ada.
Dan yang terakhir adalah tentang matriarki. Aneh sekali jika didengar bahwa, “Feminisme itu menghancurkan patriarki untuk mewujudkan matriarki”.
Padahal kedua budaya tersebut terdapat penindasan terhadap gender yang lain. Masa sih, menghapus penindasan untuk membuat penindasan baru? Persepsi yang salah, menurutku.
Apalagi jika mendengar bahwa feminisme mengajak perempuan untuk mengingkari kodratnya, terkesan sangat geli pernyataan itu. Pada dasarnya, feminisme itu menjunjung tinggi kesetaraan.
Kupikir, ini cukup untuk menanggapi kesalahan-kesalahan persepsi yang kita bicarakan beberapa hari yang lalu, aku tak mau orang-orang di sekitarku turut menghujat feminisme secara membabi-buta padahal tak memahami substansinya.
Setidaknya, kita bisa sama-sama belajar mengenai feminisme itu adalah sebuah gerakan memperjuangkan kesetaraan gender bukan memperjuangkan hak satu gender.
Aku sengaja menuliskanya kembali agar kita tidak lupa bahwa kita pernah punya pembicaraan yang menarik, kawan.
Penulis merupakan mahasiswa Unimed, Medan. Mantan Sekjen Barsdem. Perempuan yang akan selalu memaksimalkan dirinya.