PIRAMIDA.ID- Tampaknya sudah menjadi kodrati setiap insan untuk senantiasa menjadi “polisi tren”. Acapkali, segala penampilan dan style tiap insan itu harus diselaraskan dengan standard yang tren. Bila tidak selaras, suara sumbang berkumandang menyematkan kita sebagai kuno, kampungan, dan (uhuk!) ortodoks.
Nah, dalam hal ini, saya termasuk orang yang kerap mendapat predikat semacam. Mulai dari potongan rambut, penampilan berpakaian, hingga selera musik saya kerap disorot teman sekeliling – ya, disorot untuk diledek.
Pasalnya, tak lain, karena penampilan dan style saya dilihat gitu-gitu mulu dan, katanya, tak selaras dengan semangat globalisasi.
Padahal soal penampilan dan style kan masalah rasa dan kenyamanan kita. Betapa pun ringkihnya penampilan dan style itu, kalau itu buat nyaman, kalian bisa apa?
Misalnya, dalam hal potongan rambut. Sedari kali pertama saya berani pergi sendirian ke tukang pangkas rambut dua windu lalu, saya selalu setia dengan cukuran rambut ala eks-Kapten Liverpool, Steven Gerrard, yakni pendek dan rapi.
Saya nyaman dan merasa itu model yang pas di kepala saya. Tak terpengaruh untuk mencoba model lain di tengah menjamurnya inovasi model rambut saat ini.
Kemudian, dalam hal pakaian. Saya selalu konsisten membeli berbagai pakaian di pasar tradisional. Iklim tawar-menawar yang dibangun dalam kekhasan transaksinya amat menyenangkan dan cukup saya nikmati.
Hal lainnya, saya kerap mendapat donasi pakaian dari saudara saya yang tidak muat lagi untuk dikenakannya. Tidak terbersit di pikiran untuk mencoba membeli pakaian di mall atau distro pakaian yang – katanya – mengimingi diskon besar dan gila-gilaan itu.
Untuk kedua hal di atas, saya biasanya abai dan cuek bilamana ada suara sumbang atau nyinyir dari teman-teman luck nut saya terhadap selera saya itu.
Nah, yang kerap buat saya terpancing untuk jengkel adalah saat ada yang mulai ledekin selera musik saya. Iya, saya adalah penggemar setia tembang lawas.
Di playlist musik HP saya didominasi penyanyi-penyanyi tembang lawas, seperti Koes Plus, Trio Ambisi, Rachmat Kartolo, Tantowi Yahya, Bob Tutupoly, Pance Pondaag, Edi Silitonga, Rita Butar-butar, dan lainnya. Sisanya, lagu-lagu Batak – yang juga lawas dikemas dengan musik kekinian.
Sebagai penikmat karya lagu dan musik-musik lawas, seringkali saya disambut dengan perundungan tatkala mulai memutar lagu-lagu kenangan tersebut dan larut mendendangkannya.
“Lae, entah kek mana selera lagu mu. Tua kali. Lagu zaman bapakku dulu itu,” ucap teman saya saban hari lalu sembari ketawa cekikikan ketika saya memutar lagu Koes Plus yang berjudul “Diana” di playlist musik HP saya.
“Iya, kan. Entah apa. Macam dah orangtua kau. Macam gak ada lagi lagu lain. Banyak lagu-lagu baru dan keren yang bisa diputar,” sambung teman lainnya menimpali.
“Sukaku lah! Kan, aku yang dengar,” balas saya dengan ketus sembari tetap memutar lagu tersebut.
“Ehh, bebal. Kepala batu,” semat mereka kepada saya sambil nyengir kolektif.
Suasana dan nyinyir semacam senantiasa berulang hadir jika saya sudah mulai memutar list lagu lawas tersebut saat bersama teman. Sesuatu yang menjengkelkan.
Dan, saya kira, hal serupa dialami rekan sejawat lain yang juga menggemari tembang lawas. Ada semacam sebuah anomali dibangun bila generasi milenial menggemari tembang lawas.
Karenanya, saya ingin mengajukan pledoi atau pembelaan. Apa salahnya bila kita menggemari tembang lawas?
Saya tahu, deretan penyanyi favorit yang saya sebut di atas merupakan angkatan penyanyi yang populer dan menghiasi belantika musik Indonesian sebelum saya lahir, yakni pangsa masa muda para generasi baby boomers; generasi orangtua saya.
Wajar bila kemudian telinga teman saya dan umumnya generasi milenial kurang cocok dengan komposisi musiknya yang relatif sederhana dan miskin inovasi untuk standard musik kekinian.
Namun, ada hal yang menjadi alasan kuat saya untuk mengukuhkan diri dan terpikat dengan deretan penyanyi dan lagu lawas tersebut.
Lirik lagu-lagu lawas ini dikemas sangat puitik, diksinya elegan, suaranya jernih. Lagu-lagunya dinyanyikan begitu romantik namun tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga nada yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta.
Itu nilai kekhasannya yang tidak saya dapati pada lirik lagu-lagu kekinian.
Saya sendiri bukan tidak pernah untuk mencoba menjajal-dengar lagu-lagu trend kekinian. Masa-masa remaja saya dihiasi oleh lagu-lagu Peterpan, The Fly, Padi, Dewa-19, dan lainnya.
Dan saya cukup menikmati karya-karya lagu saat itu. Nuansa puitik dan elegan di tiap lirik lagunya masih kental di era itu.
Namun, semakin ke sini, di tengah produktif dan menjamurnya mencipta karya lagu, lagu kekinian itu semakin minim kreasi dan hilang sentuhan puitisnya di tiap baitnya.
Nuansa liriknya terkesan bahasa sehari-hari, tidak sarat makna, hingga terkesan ditempatkan hanya sebagai sebuah produk hiburan yang menjual di pasaran semata, bukan ditempatkan sebagai sebuah karya seni.
Asumsi menurunnya kualitas musik saat ini tentu saja sudah menjadi rahasia umum. Dan tidak harus menjadi seorang pengamat musik kondang dan sepuh untuk melihat beningnya distingsi kualitas musik kekinian dan lawas tersebut.
Generasi milenial seperti saya pun dapat memahaminya.
Tak ayal, rasa ingin larut dan kembali dalam glorifikasi tembang lawas seringkali menguat dalam perbincangan generasi baby boomers, seperti orangtua saya tatkala mengomentari kualitas musik saat ini yang menurun.
Karenanya, bilamana saya saat ini juga justru menggemari tembang lawas, maka, ehem, itu adalah bentuk otokritik untuk menggugat menurunnya kualitas permusikan kita saat ini, bukan? Pun demikian dengan sejawat lainnya yang menggemari dan mendendangkan tembang lawasnya.
Adalah kekeliruan bila kami dirundung dengan ledekan dan nyinyiran.
Justru, dengan kami memutar dan mendendangkan kembali lagu lawas di ruang pertemanan kami, ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa kualitas musik kita saat ini kalah dengan kualitas musik yang populer beberapa dekade lalu – dan terbukti mampu bertahan dan relevan dinikmati sampai saat ini.
Itulah ekspresi otokritik kami!
Editor: Red/Hen