PIRAMIDA.ID- Pada Februari 1970, sekelompok hippie dan aktivis berkumpul di Vancouver, Kanada untuk membahas rencana uji coba nuklir di Pulau Amchitka, Alaska. Mereka akhirnya setuju untuk berlayar ke lokasi pengujian tersebut dan memprotes secara langsung rencana ledakan itu.
Di akhir pertemuan, ketua perkumpulan itu mengangkat dua jari dan berteriak “Peace! (Damai)”.
Tidak lama, seorang peserta muda menyusul pernyataan itu dengan kalimat yang sekarang menjadi abadi: “Mari kita buat sebuah perdamaian hijau (green peace)”.
Kelompok itu begitu terpesona dengan ungkapan tersebut sehingga mereka menamai perahu pertama mereka Green Peace.
Selama 50 tahun terakhir, gerakan lingkungan telah menjadi begitu erat terkait dengan warna hijau sehingga hampir tidak mungkin untuk melihat poster hijau, label atau tas daur ulang tanpa memikirkan masa depan planet kita.
Tetapi meskipun hubungan itu adalah terjalin sebagai hasil dari krisis yang tidak lama ini terjadi, asal-usulnya dapat ditelusuri kembali hingga masa sejarah kuno.
Mengaitkan warna hijau dengan alam dan segala prosesnya sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kata “green (hijau)” sendiri berasal dari kata Proto-Indo-Eropa kuno ghre, yang berarti “grow (tumbuh)”.
Spesies manusia, yang muncul di hutan lebat dan sabana Afrika sekitar 300.000 tahun yang lalu, memiliki ikatan biologis khusus dengan warna hijau.
Mata kita bahkan mungkin telah berevolusi secara khusus untuk melihat klorofil pada tumbuhan.
Tidak seperti kebanyakan mamalia, yang buta warna merah-hijau, manusia dan primata mengembangkan sel kerucut ketiga.
Fotoreseptor tambahan ini memungkinkan nenek moyang manusia untuk melihat buah merah dan kuning matang dengan latar belakang dedaunan hijau, dan untuk membedakan daun hijau yang berbeda satu sama lain.
Dalam kondisi siang hari, mata manusia lebih sensitif terhadap warna hijau daripada warna lainnya.
Dengan munculnya pertanian, manusia mulai menggunakan warna hijau sebagai simbol alam. Para arkeolog baru-baru ini menemukan tumpukan manik-manik dan liontin hijau dalam jumlah yang luar biasa di Levant, yang berusia sekitar 10.000 tahun.
Para peneliti meyakini bahwa benda-benda ini, banyak di antaranya datang dari jarak ratusan mil, dipilih karena menyerupai daun muda dan mungkin telah digunakan oleh petani awal untuk mengundang hujan atau menyuburkan tanaman.
Orang Mesir Kuno, yang bertani di tepi Sungai Nil dari sekitar 8000 SM, juga mengidentifikasi tanaman mereka dengan warna hijau.
Istilah mereka untuk warna ini adalah “wadj“, yang juga berarti “berkembang”, dan diwakili dalam hieroglif oleh tangkai berbunga tanaman papirus.
Pelukis Mesir sering menggambarkan dewa pertanian mereka, Osiris – yang bertanggung jawab untuk membanjiri tepian Sungai Nil, mengisi tanah dengan nutrisi dan mendorong tunas hijau pertama tumbuh – sebagai makhluk hijau cerah.
‘Pemikiran hijau’
Di seluruh dunia, orang-orang mencoba menghubungkan alam dengan benda-benda berwarna hijau.
Batu giok, misalnya, digunakan untuk membuat benda-benda yang akan menjamin panen yang sukses. Suku Maya mengubur pemimpin mereka dengan topeng kematian batu giok karena alasan ini.
Salah satu objek itu, yang dibuat antara 660 dan 750 di Meksiko modern, menggambarkan penguasa tak dikenal yang dikelilingi oleh simbolisme tanaman. Wajahnya yang mengintimidasi diapit oleh dua bunga, hiasan kepalanya membentang sebagai gunung hijau, dan dua tunas jagung mengarah ke masa depan.
Topeng itu menyiratkan bahwa pemakainya akan, seperti Osiris, menyuburkan Bumi, memastikan bahwa rakyatnya yang hidup terus berkembang.
Sementara, dalam kebudayaan Islam, alam dihormati secara unik dalam sejarah panjangnya. Lebih dari satu milenium sebelum munculnya gerakan lingkungan, Al Quran memerintahkan umat Islam untuk menjaga habitat mereka.
Dengan kata-kata yang jelas, tulisan menggambarkan manusia sebagai penjaga sementara ekosistem, menasihati mereka untuk tidak mengganggu keseimbangan ciptaan yang rapuh dengan konsumsi berlebihan atau perusakan yang tidak perlu.
Antara abad kedelapan dan 13, para filsuf dan ilmuwan Islam bahkan menulis risalah tentang pertanian berkelanjutan, polusi dan konservasi satwa liar, dan menyusun rancangan undang-undang hak untuk hewan.
Maka, tidak mengherankan jika umat Islam menyukai warna hijau. Muhammad berpikir itu adalah warna yang paling indah dari semuanya, mirip dengan pemandangan sebuah oasis di gurun Timur Tengah yang sebagian besar berwarna coklat.
“Ada tiga hal di dunia ini yang menghilangkan kesedihan,” katanya, “Air, tanaman hijau, dan wajah cantik”.
Al Quran, sementara itu, menggambarkan surga sebagai taman yang subur dan diairi dengan baik, didominasi oleh kebun-kebun dari pohon-pohon hijau supranatural.
Tulisan tersebut menggunakan kata sifat yang unik untuk menunjukkan warna khusus mereka: madhamatan. Ini adalah satu-satunya kata dalam ayat terpendek Al Quran.
Masyarakat Barat membutuhkan waktu lebih lama untuk merangkul keindahan alam, dan dengan demikian, warna hijau.
Tetapi pada paruh kedua Abad Pertengahan, para penulis Eropa melukiskan warna hijau dengan keyakinan baru mereka pada lanskap, menghubungkannya dengan kesuburan, pertumbuhan, musim semi, harapan, dan kegembiraan.
Dalam satu tulisan dari abad ke-15, penulis Prancis Jean Courtois tidak dapat menahan antusiasmenya terhadap warna klorofil itu: “Tidak ada di dunia ini yang lebih menyenangkan daripada kehijauan ladang mekar, pepohonan yang ditutupi dedaunan lebar, tepi sungai tempat burung layang-layang datang dan mandi, batu-batu berwarna hijau, seperti zamrud yang berharga,” tulisnya.
“Apa yang membuat April dan Mei menjadi bulan-bulan paling menyenangkan sepanjang tahun? Kehijauan di ladang yang mendorong burung-burung kecil untuk bernyanyi dan memuji musim semi dan warna hijau yang menyenangkan.”
Pada akhir abad ke-17, penyair Inggris mulai menyadari, seperti yang umum diketahui sekarang, bahwa ruang hijau dapat menjadi sangat terapeutik.
Puisi Andrew Marvell yang sangat dikenal, “The Garden”, adalah persembahan yang menggambarkan unsur menenangkan dari warna hijau itu.
“Tidak ada putih atau merah yang pernah terlihat begitu penuh kehangatan seperti hijau yang indah ini,” tulisnya.
Marvell lalu menggambarkan taman imajinernya sebagai tempat kedamaian dan pelarian – yang dapat menggantikan kekhawatiran duniawi dengan, seperti yang dia katakan, “pemikiran hijau dalam naungan hijau”.
Awal yang baru?
Dalam beberapa tahun terakhir – dan khususnya sekarang, dengan penyelenggaraan COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun ini – sebagian besar “pemikiran hijau” dinodai oleh ketakutan akan bencana ekologis.
Sejak pertemuan riuh di Vancouver pada awal 1970-an, warna ini telah menjadi label resmi gerakan lingkungan.
Sekarang ada lebih dari seratus partai “Hijau” yang diakui di seluruh dunia, yang bersama-sama telah mengubah warna ini menjadi ideologi yang khas pada zaman sekarang, sebanding dalam beberapa hal dengan “konservatisme”, “sosialisme” atau “liberalisme”.
Hijau tidak lagi hanya warna, namun telah menjadi agenda politik, cara hidup.
Tokoh budaya telah mempelopori gerakan ini sejak awal. Artis Joseph Beuys membantu mendirikan “Partai Hijau” nasional pertama di dunia, die Grünen, di Jerman pada Januari 1980, dan memainkan peran utama dalam penghijauan dunia secara fisik, dengan menanam 7.000 pohon ek di sekitar Kota Kassel di Jerman dari tahun 1982.
Seniman Inggris David Nash telah menghabiskan empat dekade terakhir membuat patung berbahan tumbuhan di Wales Utara. Ash Dome, ruang berkubah melingkar yang terbuat dari 22 pohon ash yang dilatih dengan hati-hati, telah tumbuh sejak 1977.
Awalnya proyek itu dianggap sebagai tindakan optimisme ekologis. “Kita perlahan membunuh planet ini,” kenang Nash. “Ash Dome adalah sebuah komitmen jangka panjang, tindakan iman”.
Namun, tidak semua orang optimis. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, seniman Islandia-Denmark Olafur Eliasson menumpahkan sejumlah besar uranine (pewarna fluoresen kuning-hijau) ke saluran air di berbagai tempat di dunia tanpa peringatan, mengubah sungai dan aliran air menjadi hijau menakutkan.
Green River secara luas ditafsirkan melalui lensa ekologi. Para kritikus tidak bisa tidak diingatkan akan jutaan ton limbah yang masuk ke perairan dunia setiap hari, dan warnanya itu merupakan peringatan terhadap habitat hijau yang tercemari.
Sejumlah seniman lainnya hanya terinspirasi oleh keindahan alam yang membangkitkan semangat, seperti para nenek moyang mereka sebelumnya.
Menjelang akhir hidupnya, Howard Hodgkin menggunakan kuas tebal dengan cat hijau zamrud, dan kemudian, dengan satu gerakan sapuan tegas, menghasilkan sebuah sketsa pada panel kayu.
Hasil lukisan itu mungkin pada pandangan pertama terlihat abstrak, tetapi menggambarkan sesuatu yang kita semua sangat kenal: itu adalah daun – cerah, segar dan bergelombang dengan kehidupan.
Sementara masa depan planet tetap tidak pasti, banyak ilmuwan yakin bahwa daun, dan pigmen hijau ajaib yang bersembunyi di dalamnya, akan terbukti menjadi senjata yang menentukan dalam pertempuran melawan perubahan iklim. Ini memang yang seharusnya terjadi.
Bagi para petani awal yang menunggu tunas muncul dari tanah, bagi kaum Muslim yang tinggal di gurun yang memimpikan surga, dan bagi para aktivis zaman modern yang bertekad untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan, hijau merupakan warna harapan – berharap bahwa, setelah musim dingin yang panjang atau musim panas yang dilanda kekeringan, kedatangan klorofil akan menandai awal yang baru.(*)
Source: BBC Culture