PIRAMIDA.ID- Millah Abraham atau yang dikenal pula sebagai Gafatar, pernah mengguncang Indonesia pada 2016. Ribuan pengikutnya yang sukarela bertransmigrasi ke Mempawah, Kalimantan Barat, diusir. Mereka pulang ke daerah masing-masing dengan kisah pilu. Maret 2017, Ahmad Mushaddeq selaku pemimpinnya, divonis lima tahun penjara atas dakwaan penodaan agama.
Pengikut Millah Abraham meyakini, kesalahpahaman masyarakat sering berujung pada sikap negatif terhadap mereka. Kelompok ini, kata Adam Mirza, bukanlah sebuah agama baru. “Millah Abraham itu bukan kelompok agama, bukan juga mazhab atau aliran baru dari agama yang ada. Kami sama sekali tidak bermaksud menggabungkan ajaran agama untuk membuat suatu entitas agama baru,” kata Adam Mirza.
Pernyataan itu disampaikan Adam Mirza, mewakili Millah Abraham, ketika berbicara dalam diskusi daring mengenai kebebasan agama dan kepercayaan di Indonesia. Diskusi ini merupakan satu sesi dari rangkaian konferensi dengan tema serupa. Penyelenggaranya adalah berbagai organisasi yang memiliki perhatian terhadap isu ini, seperti CRCS UGM,YLBHI, APHR dan HRWG.
Dalam diskusi ini, berbicara pula Rina Tjua Lee Na, dari Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia. Baha’i adalah agama asal Persia, yang sudah masuk ke Indonesia sejak 1878. Jumlah pengikutnya di Indonesia mencapai ratusan orang dan tersebar di berbagai wilayah.
Rina mengatakan, status agama resmi dan dikotomi mayoritas/minoritas dalam wacana soal agama di Indonesia, masih menjadi simpul persoalan. “Kami melihat, ini hanyalah merupakan satu gejala kecil masalah yang lebih sistemik yang lebih besar yang tentu saja memerlukan perubahan pola pikir dan tindakan dari seluruh stakeholder yang ada,” kata Rina.
Sementara Siti Aisyiah Bakrie yang berbicara mewakili Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), kembali menyebut Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri sebagai akar sejumlah masalah bagi mereka. JAI mengalami kekerasan, baik berupa kekerasan fisik maupun pelarangan beribadah. Mereka berulangkali meminta peninjauan kembali SKB tersebut.
Faktanya, tidak ada pelarangan beribadah dan organisasi bagi JAI dalam SKB. Namun, para pejabat di daerah selalu menjadikan SKB sebagai dasar tindakan represif mereka.
“SKB ini selalu menjadi bom waktu yang bisa diaktivasi kapan saja oleh para petualang kepentingan yang potensial justru memicu konflik horizontal akibat adanya framing bahwa SKB adalah pelarangan Ahmadiyah, padahal sejatinya adalah tidak demikian,” kata Siti.
Problem Konstitusi
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani mencatat sejumlah persoalan yang menyebabkan tekanan terhadap kelompok minoritas terus muncul.
Pertama adalah tendensi Messiah, di mana kelompok mayoritas merasa harus menyelamatkan minoritas ke peradaban lebih maju. Kedua adalah adanya kebijakan yang keliru, di mana muncul keyakinan untuk menyelamatkan minoritas dari dosa dalam beragama. Ketiga adalah eufimisme harmoni, di mana keselarasan diartikan bahwa kelompok minoritas harus mengalah.
Keempat adalah konstruksi mental yang konservatif yang percaya bahwa masalah muncul karena minoritas menyinggung mayoritas. Kelima, dan yang terakhir adalah pluralisme terbatas.
Indonesia menetapkan adanya enam agama resmi, kelompok agama lain, dan aliran kepercayaan. Pengelompokan ini menyebabkan perbedaan pelayanan oleh negara.
Selain lima faktor itu, kata Ahmad, Indonesia juga memiliki persoalan terkait hukum yang melingkupi kehidupan beragama. “Kita belum memiliki basis hukum yang kuat, ini diantaranya menyebabkan kelompok-kelompok minoritas itu tidak memiliki identitas yang jelas, mereka memiliki kondisi seperti in between, ada di antara status mereka saat ini dengan status mayoritas,” kata Ahmad.
Salah satu lubang di dalam konstitusi Indonesia, lanjut Ahmad, justru adalah di dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 28 antara lain menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Pasal ini, lanjut Ahmad, sering digunakan secara sewenang-wenang oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan beragama bagi kelompok tertentu.
Perlu Upaya Tersistem
Anggota DPR Maman Imanul Haq, memetakan upaya untuk memperbaiki kondisi ini dalam tiga area besar, yaitu regulasi, advokasi dan edukasi.
Dalam problem regulasi, kata Maman, aktivis kebebasan beragama harus bisa meyakinkan partai politik mengenai pentingnya isu ini. “Kita perlu mulai secara sistematis dan militan, untuk memahami bahwa regulasi bisa diubah kalau kita bisa menguasai parlemen. Dan kalau kita ingin menguasai parlemen, salah satunya adalah bagaimana kita masuk kepada nalar partai politik,” ujar Maman dalam diskusi ini.
Pegiat kebebasan beragama disarankan untuk terlibat aktif dalam kaderisasi partai politik. Proses semacam ini harus diisi wacana-wacana terkait kebebasan beragama dan berkepercayaan. Aktivis juga tidak boleh alergi terhadap aktivitas di parlemen. Maman memberi contoh, pada periode DPR lalu, justru yang aktif melakukan pertemuan dengan Komisi 8 DPR, adalah mereka yang menolak kelompok syiah di Indonesia.
Jalur kedua, tambah Maman, adalah advokasi. Di sisi ini, Maman juga menyarankan agar para pembela kebebasan beragama aktif melakukan kepada pendekatan kepada organisasi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Belakangan ini, muncul banyak suara dari MUI yang tidak sejalan dengan sikap kelompok Islam mayoritas seperti NU dan Muhammadiyah. Karena itu, wakil kedua organisasi itu di MUI harus didampingi agar mampu lebih bersuara.
Di luar ini, Maman juga merekomendasikan upaya edukasi bagi seluruh pihak, untuk lebih memahami isu kebebasan beragama dan kepercayaan. Media jalur utama, media sosial, organisasi masyarakat dan publik secara umum, membutuhkan edukasi untuk memahami persoalan sesuai porsinya.
Sumber: VOA Indonesia/Nurhadi Sucahyo