Oleh: Roberto Duma Buladja*
PIRAMIDA.ID- Konsultasi Nasional (Konas) GMKI berlangsung pada 23–27 Agustus 2022 di Jayapura, tanah Papua. Kurang lebih 5 hari lamanya, forum Konas melakukan kajian secara mendalam pada setiap agenda study meeting dan business meeting. Hajatan pra-Kongres ini bisanya menjadi daya tarik bagi civitas GMKI se-tanah air untuk berdatangan. Sebuah momen mengkonsultasikan gagasan-gagasan bernas, sekaligus mengkonsolidasikan potensi GMKI secara nasional.
Bagi saya, ini sebuah kesempatan emas untuk berjumpa dengan banyak kader, sekaligus momen silahturahmi akbar di negeri berlimpah sumber daya alam dan budaya. Tidak salah, setelah mengikuti semua rangkaian aktivitas, saya mengantongi banyak cerita menarik untuk dibawa pulang.
Bakar Batu
Konas GMKI dibuka dengan pesta Bakar Batu. Bakar batu adalah tradisi masyarakat Papua. Sebuah ritual memasak bersama yang dilangsungkan di halaman Gereja Baptis Sion Angkasa. Saat memasuki lokasi acara, rombongan peserta Konas langsung disambut oleh 4 orang mama-mama Papua. Mama-mama ini mengenakan noken Papua sambil menari riang menyambut kami. Warga jemaat setempat dengan penuh ramah dan tampak ramai berjejeran. Rupanya mereka sudah sibuk mempersiapkan sejak pagi hari dan sedang menunggu kami.
Persis di halaman gereja itu, ada dua wadah batu besar persegi empat, dua ekor babi yang siap dipanah di tengah lapangan. Ada juga jagung, umbi dan sayuran. Tidak jauh dari wadah batu itu, telah disiapkan dua kolam galian besar sebagai tempat nantinya jagung, umbi, sayuran dan daging babi (komunitas islam Papua biasanya menggunakan ayam) yang dimasukkan secara bertahap dengan beralaskan batu-batu panas dan alang-alang. Prosesi awal hingga puncak dari acara Bakar Batu ini diterangkan secara detail oleh Sekretaris Panitia, bung Christian Shilait.
Sungguh, kami disuguhi dengan ritual adat penerimaan luar biasa. Sebuah ritual terselip wajah kesederhanaan masyarakat yang hidup di wilayah paling ujung Timur Indonesia ini. Bahan-bahan makanan tidak diberikan bumbu pengawet, melainkan diambil langsung dari alam, yang secara alamiah justru memenuhi kebutuhan makan banyak orang. Sembari menunggu makanan masak, kami menanami pohon di sepanjang rute yang telah disiapkan panitia.
Bung Benyamin Arisoy, yang adalah Ketua Pengurus Cabang Perkumpulan Senior (PCPS) Cabang Jayapura sekaligus Ketua Panitia, dalam sambutannya menyampaikan bahwa acara Bakar Batu sebagai penanda bahwa Konas GMKI diterima oleh masyarakat Papua, khususnya di Jayapura.
Di sela-sela kegiatan, seorang Bing dari Jayapura berbisik kepada saya, “Bakar Batu ini adalah bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan, sekaligus penghargaan kepada keluarga dan kerabat. Ini sambutan kasih untuk bung dan bing yang sudah datang jauh-jauh kesini. Kami, Keluarga Besar GMKI di Tanah Papua beserta masyarakat pada umumnya menyambut saudara-saudari kami dengan penuh kegembiraan”. Wah, keren!
Ritual Bakar Batu memperlihatkan ikatan sosial yang begitu kuat. Peran dan kedudukannya melampaui batas-batas struktur sosial masyarakat. Dalam amatan saya, ada pelbagai nilai luhur yang hidup di dalamnya, antara lain: kebersamaan, kekompakan, kesederhanaan, kesetaraan, ketulusan dan perdamaian. Ini menjadi modal sosial yang dari “sononya” mampu merawat keharmonisan masyarakat di Tanah Papua.
Ke Tapal Batas Negeri
Pada hari terakhir Konas, kami diajak jalan-jalan ke perbatasan. Batas antara Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, Jayapura. Lebih dari tiga bus yang kami tumpangi berjalan beriringan menuju ke perbatasan. Sorak-sorai peserta semakin menambah ramainya suasana perjalanan.
Setibanya di tapal batas Papua-PNG, kami terpukau oleh pemandangan bentangan alam. Semacam ada suntikan semangat nasionalisme yang masuk dalam diri. Perjalanan ini tentu menjadi satu pengalaman unik dalam hidup saya. Sebab, sebelumnya garis batas lurus ini hanya bisa ditatapi melalui kertas bergambar dengan arsiran warna-warni (peta).
Satu per satu mulai mengambil posisi terbaiknya. Setiap orang menampilkan gaya terbaiknya, dan mengabadikannya dengan foto bersama. Ada banyak cerita tentang daerah perbatasan yang dituturkan oleh bung dan bing. Jalur perbatasan darat sepanjang 820 kilometer ini menyimpan potensi pariwisata dan ekonomi yang luar biasa. Juga, tersimpan adanya ketegangan sosial dan politik yang sewaktu-waktu dapat bergejolak.
Semenjak kecil, saya selalu memendam rasa penasaran dan kekaguman terhadap negeri ini.
Faktanya, PNG adalah negara tetangga terdekat, tetapi terasa begitu jauh. Soalnya, kita nyaris tidak mendengar, bahkan tidak tahu-menahu tentangnya. Namun, kali ini kesempatan baik itu datang, dan menibakan saya dengan penuh takjub. Walaupun durasinya singkat, tanpa ada persiapan lebih, tapi ada kebanggaan tersendiri yang saya dapatkan.
Jujur saja, ada kerinduan untuk menjelajahi tapal batas Papua-PNG, menyusuri sepanjang garis tegak lurus di peta itu, mengamati seluk-beluk aktivitas masyarakat perbatasan, dan mempelajari hal-hal baru. Biarlah keingintahuan ini menjadi dorongan positif untuk kembali lagi suatu waktu nanti.
Mengudara dengan Hercules
Setelah seluruh rangkaian Konas selesai, peserta diarahkan untuk mengemas barang-barangnya dan siap kembali ke tempat asalnya masing-masing. Ada tiga rombongan besar yang pulang melalui jalur darat, laut dan udara. Kami, rombongan dengan tujuan akhir Jakarta terbang mengudara dengan pesawat Hercules.
Tidak disangka-sangka, kami menempuh rute yang cukup panjang. Mulai dari Sentani – Wamena – Biak – Morotai – Manado – Makassar – Malang dan pada akhirnya mendarat di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Butuh empat hari lamanya kami menghabiskan waktu dalam perjalanan, mengingat 2 hari lamanya kami harus transit di Biak. Rute penerbangan ini sungguh di luar dugaan.
Ada banyak cerita ketika mengudara dengan pesawat milik TNI AURI ini. Saling berebut kursi dengan para penumpang lainnya. Ada yang berdiri. Ada juga yang duduk dengan posisi ternyaman. Di samping itu, kami tampak berdesak-desakan dengan orang-orang berseragam loreng hijau dan beragam jenis barang bermuatan berat. Wajar saja, karena Hercules ini adalah alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI AURI, yang difungsikan sebagai alat angkut pasukan dan logistik.
Terlepas dari kondisi kesesakan di dalam ruang kecil itu, dalam benak saya, muncul rasa syukur yang tiada tara. Sebab, ini menjadi pengalaman pertama terbang dengan angkutan militer bersejarah. Indonesia tercatat sebagai negara pertama di luar Amerika Serikat yang mengoperasikan pesawat dengan nomor C-130 Hercules bermesin turboprop empat buah yang terpasang di sayap pesawat.
Pesawat yang pertama kali tiba di Pelabuhan Udara Kemayoran 18 Maret 1960 ini merupakan bentuk “terima kasih” Presiden AS Jhon Kennedy terhadap Presiden Soekarno. Karena kebaikan Soekarno membebaskan Allan Pope, tawanan pilot CIA yang ditembak jatuh karena keterlibatannya dalam PRRI/Permesta dalam sebuah pertempuran udara pada 1958. Pope yang dipulangkan digantikan dengan 10 unit pesawat Hercules C-130B dari pemerintah AS.
Tidak sedikit dari kami yang mengudara dengan Hercules memberikan testimoni tentang pesawat Hercules ini.
Satu kesan dari saya bahwa bagaimanapun cuacanya, mengudara dengan Hercules rasanya stabil dan pasti. Ini menjadi pengalaman pertama yang luar biasa!
Adapun kesan luar biasa datang dari kaka Ewa, sapaan akrab senior Eddy Way terhadap kader-kader GMKI yang terbang dengan Hercules: “Anak-anak yang ke Biak itu anak-anak yang dengar-dengaran! Kalo panitia adalah Tuhan, dan anak-anak itu “pendengar” yang baik, maka setiap kata Tuhan, anak-anak dengan rela mendengar, menyimpan, dan mengubah kata-kata tersebut menjadi aksi. Sa coba menulis sebagai satu bukti kesaksian, bahwa anak-anak yang berangkat dengan Hercules ke Biak-Jakarta, nyaris kesemuanya masih “buta” terbang dengan Hercules, dan juga transit untuk beberapa rute perjalanan penerbangan.
Pengalaman transit di Biak selama 2 hari akan menjadi cerita indah anak-anak itu, bahwa dengan dengar-dengaran sesuatu yang masih gelap pada pandangan mata serta yang membentuk pikir, Tuhan ubahkan dengan terang, dalam maksud Tuhan. Poin yang sa mo bagikan adalah “dengar”. Menjadi pendengar, terus betah terhadap kata-kata yang didengar, serta sukses melakukannya, pasti akan menjumpai nubuatan yang telah diikrarkan atas tanah papua, yaitu: “Menjumpai tanda heran yang satu kepada tanda heran yang lain”. Tuhan Yesus memberkati.
Eksplor Biak
Kurang lebih dua hari lamanya kami transit di negeri Karang Panas, Biak Numfor. Di Bandara Frans Kaisiepo kami disambut oleh Bung Revelino Randongkir (Ketua GMKI Cabang Biak), kaka Jimmy Krobo (Ketua KNPI Kab. Biak Numfor), Kaka Valen (Ketua DPC GAMKI Biak), kaka Kristian Mansnandifu (Ketua DPC GAMKI Supriori) serta bung-bing para kader GMKI Biak. Kami disambut dengan penuh kasih dan keramahan.
Dua hari di Biak rasanya tidak cukup. Rasanya begitu singkat. Mengingat Biak adalah surga wisata sejarah dan alam yang membutuhkan banyak waktu dan energi untuk dieksplorasi. Tiga lokasi wisata yang sebisanya kami kunjungi adalah Monumen Perang Dunia II, Goa Binsari dan sejuknya air di Negeri Dongeng.
Walaupun singkat, tapi kami bisa menjelajahi secuil kisah sejarah pertempuran pasifik melalui Monument PD II. Abu dan tulang-belulang dari jenasah tentara Jepang masih tersimpan baik di dalam 7 kotak besi di bawah monumen itu. Goa Binsari dan artefak peninggalan alat perang menjadi saksi bisu pertempuran dahsyat antara Jepang dan Sekutu. Mata dan hati kami turut dimanjakan oleh indahnya danau di Negeri Dongeng. Tentu masih banyak lagi spot wisata alam dengan panorama pantai eksotis.
“Di sini kita makan ikan segar dan besar-besar. Kalau di kota-kota besar, kita makan ikan yang telah mati berkali-kali,” kira-kira begitulah kesan yang disampaikan oleh seorang kader dari negeri seberang. Barangkali testimoni yang disampaikan oleh kaka Ewa adalah benar adanya, bahwa kami akan menjumpai tanda heran yang satu kepada tanda heran yang lain. Terbaiklah!
Kami juga dijamu penuh kasih oleh senior Herry Ario Naap (Bupati Biak Numfor), para senior members dan kader GMKI setempat. Suasana persaudaraan tampak menyelimuti keberadaan kami. Secara khusus, saya diberikan beberapa oleh-oleh khas Biak, yakni: satu gelang adat dari Bung Manu Runaweri (Sekfung Media dan Komunikasi), dan dua noken Biak, masing-masing dari Bung Revelino Randongkir (Kecab Biak) dan Bing Sarce Rumbiak (Wabenkom).
Terima kasih Biak, atas setiap kebaikan yang kami rasakan. Saya berjanji, bukan hanya karena Bila Ingat Akan Kembali (BIAK), tetapi suatu saat saya pasti kembali. Pasti itu!
Beberapa Kisah Lainnya
Tentu masih banyak kisah yang tidak tertulis dalam catatan perjalanan ini. Baik perjumpaan pada pembukaan Konas di Auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen) dan di sela-sela berlangsungnya kegiatan Konas di Jayapura, jalan-jalan santai di Biak dan titik bandara lainnya hingga tiba di Jakarta.
Di pantai Ciberi, segenap peserta Konas dan panitia “menampilkan goyangan Indonesia”. Ya, mulai dari goyang Yospan, goyang Maumere, goyang Tobelo, goyang Meti Kei, goyang Poco-Poco Manado, Caca ala Timur, pukulan dangdutan Jawa, hingga goyangan Tor Tor ala Batak. Semuanya lengkap. Semuanya tampak bergoyang dengan penuh sukacita. Pantai yang letaknya persis di samping jembatan merah itu diramaikan dengan acara pelepasan rombongan peserta Konas GMKI.
Di tengah kesukacitaan itu juga, ada kabar duka yang dirasakan oleh civitas GMKI, UKSW dan masyarakat Biak Numfor pada umumnya. Orang tua dan senior terkasih kami, bung Jan Dantje Kbarek meninggal dunia (28/08/2022). Sungguh suatu duka mendalam. Saya berkesempatan melayat ke rumah duka, bersama Bunga Sipahutar (Kecab Salatiga), Kecab Biak, Ketua GAMKI Biak, Ketua KNPI Biak dan para senior lainnya. Kami mewakili keluarga besar GMKI Cabang Salatiga dan PP GMKI menyampaikan secara langsung pesan kedukaan kepada keluarga.
Semasa berkuliah di Fakultas Hukum UKSW, almarhum yang akrab disapa Om Yan aktif di GMKI Cabang Salatiga. Seperti ungkapan hati yang disampaikan oleh senior bung Teodhore Weohau dan Theofransus Litaay dalam WA grup Senior GMKI Salatiga, bahwa Om Yan adalah orang yang cerdas dan militan dalam memperjuangkan kebenaran. Teringat momen Kongres GMKI di Palangkaraya (1986), dimana keterlibatannya sebagai delegasi Cabang Salatiga dalam pembahasan dan pengesahan asas tunggal GMKI. Pilihan dan keputusan serta jalannya persidangan dengan segala dinamika menjadi cerita inspiratif. Selamat jalan senior. Damai bersama Kepala Gerakan.
Ada banyak cerita bersama para senior hebat, seperti senior bung Frans Rumsarwir, Petrus Yoram Mambai, Benyamin Arisoy, Christian Shilait, Eddy Way, John Betaubun, Anthonius Mathius Ayorbaba, dan para senior hebat lainnya di Tanah Papua. Ada juga bung dan bing kader GMKI se-tanah Papua dan cabang lainnya di Indonesia. Sungguh saya mendapatkan banyak cerita menarik dan merasakan suasana persaudaraan “benang biru” yang sangat menginspirasi. Ut Omnes Unum Sint!(*)
Penulis merupakan Kabid PKK PP GMKI M.B 2020-2022.
Mantap Ketum