Oleh: Radityo Dharmaputra*
PIRAMIDA.ID- Sebagai tuan rumah KTT G20 tahun ini, Indonesia tetap konsisten untuk tidak mengecam secara jelas dan tidak menjatuhkan sanksi pada Rusia atas invasi terhadap Ukraina. Padahal, perang yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan itu telah memaksa 11 juta warga Ukraina mengungsi dan menghancurkan banyak kota di sana.
Beberapa pengamat mengkritik Indonesia karena bersikap pragmatis dan memilih mengambil jalan tengah.
Namun, narasi yang berkembang di Indonesia, khususnya di media sosial, justru menunjukkan kecenderungan dukungan terhadap agresi Rusia.
Survei tahun 2021 oleh Lowy Institute menunjukkan masyarakat Indonesia lebih percaya pada pemerintah dan pakar, atau ahli di bidangnya, daripada media. Atas alasan inilah saya berargumen bahwa opini dan pendapat para pakar dan praktisi Hubungan Internasional (HI) Indonesia merupakan salah satu faktor penting yang mendorong sentimen pro-Rusia di Indonesia.
Pola opini pakar HI di Indonesia
Sebagian besar komentar dan opini para akademisi dan mantan diplomat Indonesia hanya berfokus pada aspek kontestasi politik negara-negara besar, termasuk menggambarkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina dipicu oleh konflik antara Rusia dan negara-negara Barat – Amerika Serikat (AS) dan para sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Narasi semacam itu cenderung mengesampingkan perspektif Ukraina.
Beberapa pakar HI menyalahkan AS karena memperluas aliansi militer NATO ke Eropa Timur. Ada pula yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina dapat dipahami dan menggangap Rusia sebagai kekuatan besar. Ada yang menuduh AS dan Rusia sama-sama pembohong. Bahkan, beberapa pakar menyarankan agar Ukraina bersikap netral dan mengakui kekalahan karena kemampuan militer mereka jauh di bawah Rusia.
Hanya sedikit ahli yang membahas tentang kondisi pengungsi, atau menjabarkan perspektif Ukraina serta negara-negara kecil pecahan Uni Soviet lainnya.
Lebih parah lagi, sulit sekali menemukan opini yang secara gamblang mendukung Ukraina.
Artikel yang ditulis oleh Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, yang isinya mengkritik posisi para pakar dan praktisi HI di Indonesia, seakan menjadi oasis di tengah keringnya pandangan alternatif.
Mengapa para ahli kurang bersimpati terhadap Ukraina?
Kajian dan studi HI di Indonesia masih bersifat Western dan American-centric, atau berkiblat pada pandangan Barat, termasuk AS, yang mengutamakan rasionalitas dan persaingan antar kekuatan besar.
Sebagian besar pakar HI pastinya familiar dengan sebuah artikel yang ditulis oleh ahli HI asal AS yang juga ahli teori neorealis, John Mearsheimer, yang mengkritik Barat karena memprovokasi Rusia.
Artikel tersebut sebenarnya sudah banyak menuai kritik karena cacat logika, namun tetap sangat populer di Indonesia dan banyak digunakan oleh para pakar untuk menjelaskan apa yang terjadi di Ukraina, yakni tentang ekspansi NATO ke arah Timur serta kompetisi antar kekuatan besar Rusia dan NATO. Hal ini telah menyebabkan banyak proposal kebijakan yang menjadi salah arah.
Narasi tersebut jelas telah gagal mengakomodasi perspektif Ukraina dan membuat para pakar justru menjadi korban westplaining Ukraina karena hanya menggunakan logika Barat untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Selain didominasi oleh paradigma realis, Indonesia juga kekurangan pakar kajian Rusia dan Eropa Timur.
Saat ini, hanya dua universitas di Indonesia yang menawarkan program studi Rusia. Hal ini menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang sejarah dan politik Rusia serta Eropa Timur, sehingga para pakar di Indonesia pun menjadi rentan terprovokasi oleh kampanye disinformasi Rusia.
Contoh kampanye disinformasi misalnya sebuah artikel yang dimuat di harian Media Indonesia yang menggunakan istilah seperti “operasi khusus” dan “demiliterisasi serta denazifikasi” untuk menggambarkan invasi Rusia.
Istilah “operasi khusus” adalah cara Rusia menghindari penggunaan istilah “perang” agar tidak memicu gelombang penolakan dari masyarakat Rusia sendiri.
Sementara itu, istilah demiliterisasi dan denazifikasi digunakan Rusia untuk meyakinkan warganya bahwa Ukraina dikuasai kelompok Neo-Nazi dan karenanya Rusia melakukan invasi demi melucuti persenjataan militer kelompok tersebut.
Padahal, kelompok Neo-Nazi di Ukraina jelas tidak memegang kekuasaan politik dan serangan Rusia justru terbukti membunuh banyak warga sipil yang tidak ada kaitannya dengan kelompok tersebut.
Terlebih lagi, para pakar HI di Indonesia juga sering membanggakan potensi Indonesia menjadi mediator untuk dapat menengahi pihak-pihak yang bertikai dalam perang Rusia-Ukraina.
Nyatanya, menurut sejarah, Indonesia hanya pernah berperan sebagai mediator di cakupan Asia Tenggara.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yang juga berambisi menjadi kekuatan besar di dunia, ternyata cukup sulit bagi Indonesia untuk bisa memahami perspektif dan kekhawatiran negara-negara kecil terhadap negara-negara besar tetangganya.
Berdasarkan sejarah Indonesia sebagai korban penjajahan, pakar di Indonesia seharusnya bisa bersimpati atas penderitaan Ukraina.
Sayangnya, gagasan anti-imperialis Indonesia hanya ditujukan ke Barat. Para pakar tersebut lupa bahwa Ukraina dan negara-negara Eropa Timur lainnya juga merasakan penderitaan berkepanjangan akibat imperialisme Rusia dan Soviet.
Di samping itu, kita juga harus mencatat bahwa Indonesia memiliki sejarah konfrontasi dengan Malaysia terkait serangan agresif ke negara tetangga, serta sejarah buruk dekolonisasi Papua dan Timor Timur. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat para pembuat kebijakan dan intelektual publik mudah mengabaikan perspektif negara pascakolonial di Eropa, seperti Ukraina.
Sebuah refleksi bagi intelektual publik
Di saat pemerintah sangat berhati-hati dalam merespons situasi, para pakar dan akademisi seharusnya bisa memanfaatkan kepercayaan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan informasi yang sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina.
Mereka harusnya lebih menonjolkan komentar dan opini yang berfokus pada aspek kemanusiaan di masa perang, seperti mengenai kejamnya pihak militer Rusia kepada warga sipil dan tentang penderitaan pengungsi yang terdampak perang.
Memang, sebagai intelektual, kita sebaiknya berusaha bersikap netral dan objektif, tapi kita juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengatakan kebenaran tentang krisis kemanusiaan yang saat ini terjadi di Ukraina. Kita juga seharusnya bisa mengedepankan moralitas dengan cara, misalnya, berani mengutuk kekejaman dan agresi Rusia ke Ukraina.
Seringkali, mengedepankan objektivitas dalam menganalisis penyebab perang tidak akan membantu menghentikan bencana kemanusiaan yang terjadi. Akan ada waktu untuk itu nanti. Di saat seperti ini, memaksakan diri untuk tetap netral dan diam berarti secara tidak langsung mendukung agresi Rusia dan memperburuk krisis kemanusiaan di Ukraina.(*)
Penulis merupakan pengajar di Universitas Airlangga. Artikel pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris untuk The Conversation.