Carolina Leonard*
PIRAMIDA.ID- Seorang penulis di The New York Times menyampaikan kekhawatirannya: “Apa jadinya jika vaksin Covid-19 ditemukan tapi setengah penduduk [Amerika Serikat] menolak untuk divaksin?”
Pertanyaan itu ia ajukan sebab adanya beragam misinformasi yang beredar mengenai wabah Covid-19, terlebih dari orang-orang yang percaya dengan teori konspirasi. Ia khawatir karena para penganut teori konspirasi percaya bahwa Covid-19 adalah buatan kelompok elit global yang mencari untung dari hasil penjualan vaksin.
Inilah kenyataan yang harus kita hadapi di tengah wabah virus corona: wabah teori konspirasi.
Douglas, dkk. (2019) mendefinisikan teori konspirasi sebagai “upaya untuk menjelaskan penyebab kejadian sosial dan/atau politik sebagai plot rahasia oleh dua atau lebih aktor”. Teori konspirasi bukan sekadar obrolan ringan semata; ia bisa potensial berkaitan dengan gerakan ekstrimisme, politik radikal, hingga terorisme.
Ketidakpercayaan penganut teori konspirasi pada data dan fakta, membuat keberlangsungan bumi (misalnya gerakan anti-pemanasan global) dan kesehatan masyarakat (misalnya gerakan anti-vaksin) menjadi taruhannya.
Meski teori konspirasi menghasilkan cerita yang mengada-ada, lantas mengapa masih ada orang yang percaya pada teori konspirasi?
Menurut Douglas, Sutton, & Cichocka (2017, 2019), ada tiga motivasi utama yang mendasari kepercayaan orang terhadap penjelasan konspiratif.
Pertama, kebutuhan seseorang untuk memiliki kerangka pikir atau informasi dasar untuk dapat menjelaskan suatu fenomena. Ini hal yang lumrah sebenarnya, manusia memang punya rasa ingin tahu yang tinggi, tidak suka pada ketidakpastian, dan ingin memaknai suatu kejadian yang ganjil.
Tapi bagi penganut teori konspirasi, penjelasan umum tidaklah cukup. Maka dari itu, biasanya dalam penjelasan konspiratif ada tambahan lain: spekulasi (ada agenda tertentu yang tidak diketahui publik), kompleks (biasanya melibatkan beberapa aktor), dan tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya.
Motivasi kedua didorong oleh kebutuhan manusia akan rasa aman dan kontrol atas lingkungannya. Seperti penjelasan sebelumnya, para penganut teori konspirasi tidak puas hanya mengacu pada penjelasan umum (dalam menjelaskan fenomena atau kejadian tidak terduga).
Mereka lalu beralih ke teori-teori konspirasi karena narasinya mengidentifikasi sederet aktor dan ancaman yang berbahaya. Komponen inilah yang membuat para penganut teori konspirasi merasa lebih aman karena sudah tahu kambing hitamnya. Mereka juga merasa lebih punya kuasa atas kejadian tidak terduga karena merasa lebih tahu daripada masyarakat awam.
Ketiga adalah motivasi sosial, yaitu kebutuhan seseorang untuk menjaga pandangan positif dirinya dan kelompok sosialnya. Di sini, narasi konspiratif dijadikan alat pelindung seseorang dan kelompoknya untuk menyudutkan dan menyalahkan kelompok lain atas peristiwa negatif.
Kontribusi ekosistem digital
Lalu bagaimana dunia digital hari ini berkontribusi pada berkembang dan tersebarnya teori konspirasi?
Menurut Douglas, dkk. (2019), sirkulasi teori-teori konspirasi ada dan berkembang dalam komunitas online yang memang sejak awal berpandangan konspiratif. Teori konspirasi tidak secara acak dapat menggaet pengikut baru karena, ya, nggak semua orang percaya, share, dan posting teori-teori ini.
Mereka yang sudah percaya (atau secara psikologis rentan untuk percaya) pada teori-teori konspirasi saling berkomentar atau membagikan “bukti-bukti” konspirasi di dalam kelompok online mereka saja. Artinya, dalam hal narasi konspiratif, internet berperan penting dalam membuat mereka semakin homogen dan radikal (Douglas, dkk., 2019).
Hal ini kemudian diperparah dengan ekosistem di ranah digital, yakni adanya filter bubble dan echo chambers.
Filter bubble adalah kondisi dalam dunia digital di mana pandangan yang tidak sesuai dengan keyakinan seseorang dikurangi keterpaparannya. Ini merupakan konsekuensi dari peran algoritma yang menyebabkan kita lebih terpapar dengan konten yang sejalan dengan pemahaman kita pribadi. Seseorang kemudian senang hidup dalam “gelembungnya” karena ia mendapatkan afirmasi atas apa yang ia yakini.
Sedangkan echo chamber adalah sebuah metafora untuk menamai sebuah situasi di mana seseorang mempertebal keyakinannya pada suatu hal dalam sistem komunikasi yang tertutup. Sesuai namanya, echo chamber hanya memantulkan balik suara atau pandangan yang satu paham.
Seseorang bisa saja menemui konten informasi dari pandangan yang berseberangan, tapi ia langsung menilai bahwa informasi tersebut tidak valid dan tidak dapat dipercaya. Intinya, echo chamber mengisolasi orang dari pandangan lain yang berbeda.
Melalui dua konsep ini kita bisa memahami bagaimana teori konspirasi subur di ekosistem digital: karena informasi yang beragam disingkirkan dan kepercayaan seseorang terhadap pandangannya sendiri meningkat. Ketika penganut teori konspirasi berada dalam echo chamber-nya, mereka menganggap bahwa pandangan yang kontradiktif dengan pandangan mereka sebagai bagian dari teori konspirasi.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pemeluk teori konspirasi punya kecenderungan untuk meminjam teori-teori konspirasi dari kelompok konspiratif lain pada topik yang berbeda. Ini tentu saja membuat semacam siklus tiada henti ketika membahas teori-teori konspirasi.
Apalagi, para pendukung narasi konspiratif juga secara aktif mencari medium dan orang-orang yang sepaham. Di Indonesia, ini bisa dilihat dari menjamurnya teori-teori konspirasi di berbagai media sosial.
Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman Remotivi.or.id