PIRAMIDA.ID- Jika Anda adalah seorang pemelihara hewan seperti kucing atau anjing, pernahkah Anda berlarut dalam kesedihan ketika peliharaan Anda sakit? Dan, apakah Anda pernah merasa bila kesedihan Anda justru lebih larut daripada seseorang yang Anda cintai sakit?
Jika iya, Anda tidak sendirian. Ada banyak pemelihara hewan yang mencintai peliharaannya begitu dalamnya. Bahkan, saking dalamnya ada pula yang memberikan perhatian khusus pada mereka daripada orang lain.
Hal Herzog, profesor psikologi dari Western Carolina University menganalisa interaksi hubungan manusia dengan hewan peliharaan. Menurutnya, manusia terlalu terikat pada hewan umumnya disebabkan kombinasi dari biologis kita, dan kebutuhan kita akan kasih sayang.
“Ketika kamu menyentuh dan melihat peliharaanmu, otak akan mengeluarkan zat kimia yang membuatmu merasa baik,” terangnya dikutip dari BDCwire.com.
Adapun kebutuhan kasih sayang itu bermuara pada fakta bahwa hewan peliharaan dapat menawarkan (umumnya) cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat inilah yang membuat orang merasa senang.
Ia juga menerangkan, bahwa fenomena itu juga terpengaruh dari media dan iklan yang berunsur hewan peliharaan. Industri hewan peliharaan memasarkan hewan peliharaan sebagai sahabat yang diingikan manusia, dan makhluk penyayang yang dapat kita merasa tidak terlalu kesepian. Sehingga, hidup terasa dipuaskan.
“Ketika saya masih kecil, kami menonton TV, dan acara favorit saya itu adalah Lassie,” terang Herzog. “Dan Lassie adalah sahabat terbaik Teddy, maka mereka memperlakukannya seperti anggota keluarga.”
Mengenai perilaku yang berbeda antara hewan peliharaan dengan manusia, diungkap oleh Jack Levin dan tim studinya dari Northeastern University. Mereka mempublikasinya dalam jurnal Society & Animals pada 2017. Menurut mereka, kelemahan manusia yang mudah berempati pada hal yang dianggap lemah di sekitarnya.
Dalam studi, mereka memberikan pada partisipan yakni sebuah berita bohong tentang korban yang diserang dengan tongkat baseball. Akibat serang tongkat itu, korban tidak sadarkan diri dengan beberapa anggota tubuhnya yang patah.
Meski ceritanya sama, berita itu divariasikan dengan mengubah objek korbannya, yakni bayi berusia satu tahun, manusia dewasa, anjing berusia enam tahun, dan anak anjing.
Hasilnya cukup mengejutkan. Responden ternyata menunjukan empati yang cenderung sama untuk berita dengan korban bayi, anak anjing, dan anjing dewasa. Tetapi secara signifikan, lebih sedikit untuk manusia dewasa.
Menurut para peneliti, ini menunjukkan bahwa tingkat empati manusia tidak terkait dengan spesies. Sejatinya, empati kita justru berkaitan dengan ketidaberdayaan dan kerentanan yang dirasakan.
Para peneliti menulis, manusia menganggap bahwa anak-anak dan hewan peliharaan dipersepsikan tak mampu membantu diri mereka sendiri dengan mudah. Anak-anak dan hewan sama-sama menunjukkan kepolosan yang dirasa harus dilindungi. Sehingga tertanam dalam benak kita, bahwa mereka harus dirawat dan dibantu secara empati.
Sedangkan manusia dewasa dipersepsikan sebagai orang yang mudah untuk menyarakan hak-haknya, dan membela dirinya dari bahaya. Maka, kita menganggap agar tak perlu berempati terlalu dalam atas tragedi yang menimpanya.
Lewat penelitiannya, rasa kasih sayang alami manusia pada hewan peliharaan juga dapat dibangingkan dengan kasih sayang pada anak-anak.
Sebab, manusia memiliki persepsi akan rasa ingin merawat dan ingin membantu mereka. Sehingga tertanam dalam benak anggapan, bahwa hewan peliharaan tidak dapat membantu diri mereka sendiri dengan mudah.
Levin dan timnya menyimpulkan, bahwa fenomena orang lebih menyayangi tak berhubungan dengan spesiesnya. Melainkan, adanya rasa kasih sayang pada golongan yang dianggap inferior, seperti bayi dan hewan peliharaan.(*)
National Geographic