PIRAMIDA.ID- Adegan pembuka film The White Tiger di Netflix ialah tokoh Balram Halwai yang berada di mobil bersama kedua majikannya yang mabuk. Saat mobil mau menabrak seseorang, adegan dipotong oleh narasi suara Balram.
“Maaf, ini bukan awal baik untuk berkisah. Lagi pula aku orang India, merupakan tradisi kuno dan dihormati bangsaku untuk mengawali kisah dengan berdoa,” adegan berganti ke orang-orang yang sedang beribadah. Sebelum masuk ke kisah Balram.
Penggalan singkat film itu seakan mengingatkan kita dengan apa yang ada di Indonesia. Bukan mengendarai mobil sambil mabuknya. Tapi memulai sesuatu dengan doa. Orang Indonesia memulai santapan lezat dengan berdoa, mensyukuri nikmat atas berkat lauk-pauk yang diberikan. Sebelum berkendara juga memanjatkan doa, meminta perlindungan dari marabahaya. Serta segala kegiatan lainya, yang tanpa kita sadari bahwa kita tak bisa melakukanya tanpa berdoa.
Mari kita pinjam kata-kata Clinebell dalam penelitianya The Role of Religion in the Prevention an Treatment of Addiction. Bahwa setiap orang apakah ia seorang yang beragama atau sekuler sekalipun, mempunyai kebutuhan dasar yang sifatnya kerohanian. Adapun itu bisa jadi alasan mengapa kita butuh berdoa — terlepas ia sudah jadi budaya dan kebiasaan.
Doa ternyata juga berpengaruh pada kesehatan fisik dan sel darah. Menurut Rebecca Marina dan Dr. Felici dalam jurnal Doa Dalam Perspektif Psikologi oleh Shanty Komalasari ditulis bahwa kondisi sel darah merah saat berdoa berbeda dengan kondisi biasa, cairan darahnya cerah, gerakannya teratur, muncul subtansi berkilauan.
Penelitian yang menggunakan alat Potensi EFT (Emotional Freedom Technique) itu menyimpulkan bahwa emosi dan berdoa menimbulkan efek yang berbeda secara drastis pada kesehatan darah manusia dan secara otomatis berpengaruh pada kondisi kesehatan manusia.
Melalui penelitian-penelitian di atas kita bisa melihat bagaimana doa bisa menjelaskan perubahan kondisi kesehatan seseorang, terlepas mengenai ukuran efektif doa tersebut.
Pada penelitianya, Shanty melakukan eksperimen psikologi dengan 188 subjek, dirangkai oleh teori Lowenthal yang merumuskan aspek-aspek berdoa. Seperti aspek perilaku, aspek bahasa, aspek kognitif, dan aspek emosional.
Hasilnya, subjek yang berdoa dengan pernapasan teratur dapat memengaruhi kerja korteks otak. Ia mampu menstabilkan korteks cerberi dan berdampak pada penurunan depresi.
Kemudian saat berdoa dengan khusyu subjek berada di kondisi trans, yakni gelombang otak berada di gelombang alfa, mengakibatkan ia fokus, rileks, dan masuk pada gelombang theta. Kondisi ini memicu kata-kata yang diucapkan. Subjek dapat mengingat kata-kata yang terarah menjadi sebuah pengingat diri.
Terjadi juga proses berpikir yang berujung kesadaran dalam doa subjek. Bahwa ia memiliki keyakinan terhadap pilihan yang dijalaninya. Ditambah pada emosionalnya, subjek merasa merendah dan tenang terhadap apa yang ia sembah. Kodisi ini membuatnya lebih berserah dan tenang karena dekat dengan Pencipta.
“Berdoa secara psikologi memiliki peran besar terhadap manusia secara psikis. Ia bisa menjadi penenang dan pemantap diri terhadap masalah dan pilihan. Selain itu doa memiliki sifat mengikat, tanpa disadari menjadi self-reminder untuk terus terjaga dan terarah pada doa yang dipanjatkan,” tulis Shanty.(*)
National Geographic, berbagai sumber.