Oleh: Agi Julianto Martuah Purba
PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di masa akan datang, padahal kami notabene adalah mahasiswa yang kelak bergelar sarjana pendidikan?”
Itulah satu pertanyaan yang saya sampaikan di depan dosen dan teman-teman yang lain pada satu acara kuliah umum yang diadakan kampus.
Dosen saya kemudian membahas kritik yang saya sampaikan tersebut. Bahwa poin intinya adalah mahasiswa harus explore informasi dari banyaknya seminar dan forum lainnya yang bisa membantu mereka (red: kami) dalam melengkapi kompetensi dan setskill untuk menjadi guru di masa yang akan datang.
Saya sepakat dengan beliau (jika tulisan ini dibaca oleh beliau, saya ucapkan terimakasih telah bersedia mendiskusikan pertanyaan dan kritik saya).
Namun, di sisi lain saya masih merasa geram dengan alasan yang melatarbelakangi kritik saya tadi. Sejauh yang saya ketahui, tidak ada diskusi maupun seminar umum yang diselenggarakan oleh kampus maupun universitas, yang membahas profesi guru ke depan beserta tantangan perubahan yang, konon katanya, sudah berada di era 4.0.
Kita boleh bersepakat bahwa kami sebagai mahasiswa harus rajin mencari informasi, memperlengkapi diri dan juga mengikuti beragam seminar dan diskusi tentang pendidikan dalam rangka memenuhi kompetensi kami sebagai guru di masa yang akan datang.
Tapi saya rasa, kampus beserta dosen yang juga sebagai fasilitator, seyogianya memberi kami fasilitas untuk bertemu di dalam satu diskusi ataupun seminar yang membahas tentang apa dan bagaimana tantangan dan strategi yang harus kami miliki dalam mengarungi dunia pendidikan sebagai seorang guru yang profesional kelak.
Apakah tema diskusi tentang sarjana kependidikan tidak terlalu menarik untuk dibahas? Atau apakah dalam perkembangan teknologi, kita dapat berhipotesa bahwa profesi guru sudah mulai tidak digandrungi? Sama sekali tidak.
Data yang termuat di majalah Dikti volume 3 tahun 2013, jumlah mahasiswa kependidikan mencapai 1.440.770 orang. Tentu statistik ini mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah. Dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun.
Padahal kebutuhan guru hanya sekitar 40.000. Artinya akan ada gap yang sangat besar.
Guru adalah profesi vital yang menjalankan pendidikan di lapangan. Dengan begitu pentingnya guru, sehingga 25 November setiap tahun diperingati sebagai Hari Guru di Indonesia; yang kemudian tanggal tersebut direfleksikan untuk menunjukkan apresiasi dan penghargaan kepada guru.
Tantangan kami di dalam dunia kerja sehabis kuliah bukan hanya beradu kompetensi dengan sesama manusia, namun juga dengan robot dan algoritma yang sebagai tanda era digitalisasi. Digitalisasi juga pelan-pelan merambat ke dunia pendidikan.
Pelan tapi pasti, pemberlakuan hukum alam “siapa yang bisa beradaptasi, dialah yang bertahan” tampak semakin terasa. Poin adaptasi itulah yang kami butuhkan untuk diakomodir dan dibahas secara komprehensif di dalam kampus.
Dalam bukunya “21 Lessons”, Harari menyatakan bahwa, “Robot dan algoritma tidak harus sempurna, mereka hanya harus lebih baik daripada manusia rata-rata”. Penyataan ini mungkin bisa dikaitkan dengan program merdeka belajar yang sedang ramai dibahas beberapa waktu lalu, terutama di kalangan profesi kependidikan.
Apakah kami, para mahasiswa harus meng-explore semuanya sendiri dengan sumber informasi yang tersedia di zaman canggih ini? Jika iya, di mana letak eksistensi para pendidik? Saya berharap lebih dari hanya menjadi pemberi stimulus.
Persoalan di mana letak eksistensi pendidik ini pulalah yang jika tidak didiskusikan dengan baik, akan menjadi warisan persoalan bagi kami sarjana kependidikan di masa yang akan datang. Di satu sisi kami perlu peka dan adaptif pada perkembangan zaman, di sisi lainnya kami perlu memikirkan eksistensi kami sebagai guru di tengah era digitalisasi.
Jika terus begini, tidak menutup kemungkinan profesi guru akan pelan-pelan tidak digandrungi dan dicita-citakan anak-anak kecil lagi, karena mungkin mereka tidak melihat secara gamblang masa depan dari seorang guru.
Sebagaimana yang termuat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menunjukkan bahwa, lebih banyak siswa yang memilih profesi Youtuber ketimbang menjadi seorang guru.
Fakta ini kiranya ini menjadi alarm bagi kampus, terlebih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) untuk menemukan kebijakan transformatif dan adaptif yang selaras dengan semangat zaman, namun tetap memperhatikan masa depan dan eksistensi profesi guru. Semoga.
Editor: Red/Hen