PIRAMIDA.ID- Sudah lama manusia penasaran akan keberadaan berbagai bahasa. Pada zaman yang lampau sekali, orang-orang mengira-ngira atau mengarang kisah untuk menjelaskan fenomena ini.
Kita mungkin pernah dengar kisah Menara Babel. Dalam kisah Alkitab, manusia awalnya berbicara dalam satu bahasa saja. Tapi Tuhan marah ketika manusia berusaha membangun menara menuju surga. Itu tidak ada dalam rencana Tuhan. Maka Dia membuat manusia berbicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda dan menyebar mereka ke penjuru bumi.
Dalam kisah lain, yang dipercayai oleh masyarakat adat Absaroka di Amerika Serikat, seekor koyote, sejenis anjing hutan asal Amerika Utara, menciptakan manusia. Pada mulanya, manusia-manusia tersebut berbicara hanya dengan satu bahasa (seperti dalam kisah Babel), tapi seekor koyote muda berargumen kepada koyote tua bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berperang. Sang koyote muda meyakinkan koyote tua untuk membuat manusia berbicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Dengan begitu, manusia bisa salah paham – dengan demikian akan terjadi perang dan manusia dapat menunjukkan keahlian mereka tersebut!
Dalam kisah yang lain lagi, di wilayah masyarakat adat Jawoyn, Wilayah Utara, Australia, orang-orang mempercayai buaya Nabilil menanamkan bahasa ke dalam tanah, yang kemudian tumbuh dan memberikan nama kepada fitur-fitur di daratan, sembari ia mengembara.
Ada sangat banyak kisah seperti ini di penjuru dunia!
Baru-baru ini, para linguis, yakni orang-orang yang mempelajari ilmu bahasa, berupaya menjawab pertanyaan ini. Sejujurnya, kita mungkin tidak akan pernah tahu asal muasal bahasa, tapi kami punya gambaran yang cukup baik bagaimana berbagai bahasa muncul dan berubah. Dan, menariknya, ada sedikit kebenaran dalam kisah-kisah seperti Menara Babel, koyote, dan buaya tadi.
Faktor menara: tiga bahan ajaib
Dalam kisah Menara Babel, Tuhan membuat manusia mengembara ke penjuru bumi. Faktanya, kita tahu dari hasil galian arkeologis bahwa manusia telah berpindah selama ribuan tahun – atau selama manusia pernah ada!
Yang diperlukan untuk menciptakan bahasa-bahasa yang berbeda adalah tiga bahan ajaib: waktu, jarak, dan proses perubahan bahasa. Jadi ketika penutur suatu bahasa berpisah dan mengembara ke tempat lain, bahasa yang tadinya satu tadi dapat berubah menjadi dua atau lebih bahasa seiring dengan berjalannya waktu.
Misalnya, bahasa Latin. Ketika penutur bahasa Latin berpisah dan menyebar di penjuru Eropa, bahasa Latin mereka berkembang menjadi bahasa Prancis, Spanyol, Italia, dan Portugis. Jadi sebetulnya bahasa Latin tidak mati – tapi berkembang menjadi bahasa-bahasa modern tadi.
Begitu pula dengan bahasa Inggris. Pada abad ke-5 Masehi, suku-suku Jermanik yang paling kuat (Angli, Sachsen, dan Yuti) meninggalkan tanah air mereka di Eropa daratan dan menjajah Inggris. Dialek Jermanik yang mereka gunakan kemudian berkembang menjadi bahasa Inggris Kuno – yang akan terdengar seasing bahasa Jerman modern bagi penutur bahasa Inggris modern (misalnya, urne gedæghwamlican hlaf adalah kata-kata dalam bahasa Inggris Kuno untuk “our daily bread” atau “roti harian kita”).
Faktor koyote: bahasa dan identitas
Kisah koyote Absaroka menunjukkan bagaimana orang-orang dengan bahasa yang berbeda-beda dapat salah paham atau berbeda pandangan dengan satu sama lain. Bahasa kerap terkait dengan identitas kita. Selain pengembaraan ke tempat yang berbeda, identitas juga merupakan faktor yang dapat mengubah bahasa atau melahirkan bahasa baru.
Misalnya, di sebuah desa di Papua Nugini (negara yang di sisi baratnya berbatasan darat dengan Provinsi Papua, Indonesia), semua orang berbicara dalam bahasa yang sama, Selepet, seperti warga di desa-desa tetangganya. Namun, warga desa ini memutuskan untuk mengubah kata “tidak” saat menuturkannya. Dengan begini, kata “tidak” dalam bahasa Selepet mereka berbeda (bunge) dari bahasa Selepet standar (bia), dan menjadi identitas kebanggaan desa tersebut.
Di negara tetangga kita Australia sendiri ada rivalitas di antara kota-kota seperti Sydney, Melbourne, dan Perth atau antara kawasan metro dengan kawasan non-metro (tempat-tempat selain lima kota utama Australia). Faktor koyote adalah sebuah insentif utama mengapa orang-orang menunjukkan identitas mereka melalui bahasa mereka.
Lalu apakah bahasa Inggris Australia nantinya akan pecah menjadi bahasa yang berbeda-beda seperti bahasa Latin? Kemungkinan tidak. Kita tidak lagi terisolasi seperti orang-orang pada masa lampau. Kita berkomunikasi secara berkala, baik secara empat mata, dengan telepon, komputer, dan lain-lain.
Faktor buaya: kata baru untuk tempat dan pengalaman baru
Kisah buaya Nabilil menunjukkan bagaimana perkembangan suatu bahasa berkaitan erat dengan lingkungan tempat bahasa itu dituturkan, dan bagaimana mereka yang melakukan pengembaraan memberikan label-label baru bagi fitur alam, binatang, dan pengalaman yang mereka temui.
Kedatangan orang-orang Inggris di Australia adalah contohnya. Bahasa Inggris kala itu telah berusia lebih dari 800 tahun ketika ia pertama kali digunakan di Australia. Namun, para penutur bahasa Inggris tersebut tidak memiliki kata-kata untuk menjelaskan Australia. Mereka meminjam kata-kata dari bahasa-bahasa penduduk asli Australia (kangaroo, wombat) atau memberikan pengertian baru bagi kata-kata lama (magpie, possum; kedua kata ini mulanya digunakan untuk menjelaskan binatang yang berbeda di Eropa dan Amerika Serikat!).
Seperti manusia, bahasa juga terus bergerak, dan inilah alasan mengapa ada banyak bahasa di bumi – di Australia sendiri ada lebih dari 300. Salah satu cara untuk menghindari kutukan sang koyote muda adalah dengan mempelajari beberapa bahasa lain!
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris di The Conversation.