PIRAMIDA.ID- Para penerjun yang menggunakan parasut, terjun dari pesawat yang mengudara dengan kecepatan antara 120-an hingga 170-an kilometer per jam. Ketinggian maksimalnya pun 15 ribu kaki.
Di atas ketinggian itu, penerjun berisiko tinggi menderita hipoksia, atau mengalami kekurangan oksigen pada jaringan tubuh. Pada saat itu mereka harus menggunakan tabung oksigen tambahan. Lagipula, terjun dengan menggunakan parasut bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan.
Parasut memiliki berat sekitar 18 kilogram. Apabila pesawat komersial harus menyediakan parasut untuk setiap penumpangnya, berapa beban total yang ditanggung pesawat? Katakanlah, pesawat komersial harus menyediakan parasut bagi 200 penumpangnya. Artinya, pesawat itu harus menyediakan tambahan bahan bakar untuk membawa beban total parasut seberat 3,6 ton.
Selain itu, penerjunan hanya memungkinkan bila dilakukan pada saat pesawat melaju di udara. Sementara itu kecelakan fatal sebagian besar terjadi saat pesawat lepas landas atau mendarat. Sejatinya sedikit kasus kecelakaan fatal yang terjadi saat pesawat mengudara. Ada pula kecelakaan yang terjadi akibat cuaca buruk. Dalam situasi seperti ini penerjunan tentu akan menjadi sangat berbahaya.
Pesawat jet terbang pada ketinggian 35.000 kaki dengan kecepatan hingga 600 mph atau sekitar 900 kilometer per jam. Jadi, menyelamatkan diri dengan parasut bukanlah sebuah pilihan. Malah berakibat lebih fatal.
Parasut tak bisa dipakai semudah menggunakan pelampung penyelamat yang tersedia di bawah kursi pesawat. Selain itu ukurannya juga harus pas dengan tubuh masing-masing penumpang.
Terjun dengan parasut tidak semudah dibayangkan orang awam. Menurut USPA (US Parachute Association), cara tandem adalah cara termudah dan paling popular untuk melakukan terjun payung atau skydiving untuk pertama kalinya. Peserta yang belum pernah melakukan terjun payung sebelumnya perlu waktu setengah jam untuk mengikuti instruksi di darat. Setelah itu penerjunan akan dilakukan dari ketinggian 13.000 kaki, dengan posisi tubuh berimpitan dengan instruktur berpengalaman.
Sementara itu, pada penerjunan Accelerated Freefall, penerjun dengan sistem parasut yang terpasang harus ditemani oleh dua instruktur di sisi kiri dan kanannya.
Pada tahap ini, penerjun pemula harus menghabiskan empat hingga lima jam kelas pelajaran di darat sebelum terbang. Hal ini termasuk mempelajari manuver tubuh serta cara komunikasi menggunakan tangan dengan instruktur saat di udara.
Para instruktur akan memegangi tali pengaman penerjun pemula, hingga ia mengembangkan parasutnya. Selanjutnya, pemanduan akan dilakukan melalui instruksi radio agar pendaratan dapat dilakukan dengan selamat.
Bahkan, penerjun berpengalaman hanya bisa melakukan penerjunan pada ketinggian tidak lebih dari 15.000 kaki. New Zealand Parachute Industry Association tidak mengizinkan anggota penerjunnya untuk terjun pada ketinggian lebih dari 16.500 kaki.
Uniknya, perusahaan penerbangan pada awalnya pernah menyediakan parasut bagi penumpangnya. Saat itu pesawat berkecepatan 90 knot atau 166 kilometer per jam. Salah satu penerbangan dengan parasut sebagai alat keselamatan dilakukan di atas pesawat Boeing Model 40 yang hanya memuat dua orang. Akhirnya, pada 1920-an parasut tak lagi digunakan untuk para penumpang.(*)
National Geographic Indonesia