PIRAMIDA.ID- Musisi Isyana Sarasvati, pada November 2019, merilis kemasan premium untuk album ketiganya yang berjudul Lexicon.
Bekerja sama dengan Beli Album Fisik, toko musik daring milik musisi Erix Soekamti yang berfokus pada perilisan dan penjualan album fisik, album yang berbentuk piano tersebut dibandrol dengan harga Rp 600.000 per buah.
Isyana tidak sendiri. Setahun sebelumnya Kunto Aji juga merilis album keduanya yang bertajuk Mantra Mantra dalam bentuk cakram padat (CD). Sederet musisi papan atas lainnya, seperti Raisa, HIVI, Tulus, dan Barasuara, juga turut merilis album fisik.
Fenomena di atas menjadi menarik, sebab masyarakat sudah lama meninggalkan album fisik dan lebih memilih mendengarkan musik secara digital.
Data dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPA), sebuah organisasi yang mewakili kepentingan industri rekaman di seluruh dunia, menunjukkan adanya penurunan pendapatan penjualan album fisik setiap tahun. Data terakhir pada 2020 menunjukkan pendapatan dari penjualan CD turun 11,9%. Sedangkan pendapatan dari seluruh bentuk rilisan fisik hampir 5% menjadi Rp 5,8 triliun.
Sementara pada tahun yang sama, pendapatan dari layanan streaming tumbuh hampir 20% menjadi Rp 190,9 triliun. Secara umum, streaming digital menyumbangkan lebih dari 2/3 dari total kapitalisasi industri musik saat ini.
Yang jadi pertanyaan besarnya adalah, mengapa label dan musisi masih tetap memproduksi album fisik pada saat tren penjualan fisik terus menurun dan perangkat pemutarnya tidak lagi diproduksi dan dijual? Padahal sejak tutupnya Disc Tarra pada 2015, tidak ada lagi toko musik besar yang menjual album fisik.
Apa kata label dan musisi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami mewawancarai lima informan yang terdiri dari label dan musisi, mengenai alasan-alasan mereka dalam merilis album fisik.
Mereka adalah Febrian Nindyo dan Ezra Mandira (gitaris HIVI), Pongki Barata (ex vokalis Jikustik, gitaris The Dance Company), Adryanto Pratono (CEO JUNI Records), Heddy Iskandar (salah satu manager Sony Music Indonesia), dan Faturachman (pemilik Frontline Production, sebuah label independen di Jakarta).
Dari hasil wawancara dengan mereka, kami berhasil mengidentifikasi setidaknya 3 alasan mengapa rekaman fisik tetap dipertahankan:
Alat promosi
Kelima informan di atas menyatakan bahwa, alih-alih diniatkan sebagai sumber pendapatan bagi label dan musisi, rilisan fisik justru diniatkan dan diperuntukkan sebagai alat promosi untuk musisi yang bersangkutan.
“Itu lebih buat konten promosi kali ya, bukan produk musik itu sendiri,” ujar Adryanto Pratono.
Yang mengejutkan adalah, rilisan digital melalui platform streaming seperti Spotify dan Apple Music, sebenarnya diproduksi untuk maksud dan tujuan yang sama dengan rilisan fisik: sebagai alat promosi juga.
“Jadi kita fokusnya pakai digital platform ini untuk promo ke EO-EO [event organisers] atau iklan, brand-brand yang cocok dengan artis kita,” ujar Heddy Iskandar.
Kehadiran internet telah mendisrupsi dan mengubah lanskap industri musik dunia.
Martin Scherzinger, ahli kajian musik dari New York University, Amerika Serikat, dengan sangat bagus menjelaskan bahwa sekalipun platform streaming digital telah menyumbangkan persentase paling besar dari kapitalisasi industri musik saat ini, tapi pendapatan terbesar musisi justru disumbangkan oleh konser dan penampilan off air.
Hal ini terjadi karena persentase bagi hasil yang diperoleh musisi dari layanan streaming teramat kecil.
Itu artinya bahwa, baik rilisan fisik maupun digital dipergunakan oleh musisi sebagai alat promosi agar mendapat kesempatan tampil secara off air.
Scherzinger kemudian menunjukkan sebuah ironi lain: musisi saat ini tidak ubahnya seperti musisi zaman pra-modern, ketika teknologi perekam suara belum ditemukan. Sebab sama-sama mendapat penghasilan utama dari pertunjukan langsung.
Barang koleksi yang menyimpan nilai sentimentil
Selain sebagai sarana promosi, label dan musisi juga merilis album fisik karena memiliki nilai sentimentil, baik bagi musisi maupun penggemar.
Dari sudut pandang musisi, merilis album fisik adalah penghargaan tersendiri, sebuah pencapaian penting yang, dalam perspektif Pongki Barata, menjadi semacam piala. Sedangkan dalam kacamata Febrian Nindyo dan Ezra Mandira, dapat menambah portofolio mereka sebagai musisi.
Sedangkan dari sudut pandang penggemar, album fisik dianggap bernilai karena dapat menjadi kenang-kenangan dan barang koleksi.
Tidak seperti rilisan digital yang hanya dapat didengarkan, rilisan fisik memiliki nilai lebih sebab bisa menjadi barang koleksi.
“Ketika mereka (penggemar) ketemu kita, mereka minta tanda tangan di situ. Jadi ada kenang-kenangan. Dan memang collectable items [barang koleksi] begitu fungsinya,” kata Ezra Mandira.
Bagian dari karya seni
Sebuah rilisan, baik fisik maupun digital, merupakan sebuah karya seni yang menjadi identitas dari rilisan tersebut. Berbeda dengan rilisan digital yang hanya memiliki aspek seni visual pada “sisi depannya” saja, seni dalam rilisan fisik jauh lebih banyak, kaya, dan beragam.
Bagi Adryanto Pratono, rilisan fisik itu seperti “part of art [bagian dari seni]… another things[hal lainnya]…untuk seorang kolektor musik.”
Penggemar, dengan demikian, tidak hanya disuguhi musik, tapi juga karya seni visual yang dapat dinikmati secara terpisah dengan musiknya.
Jadi sekalipun media digital telah menguasai hampir seluruh lini kehidupan kita, kemajuan teknologi tetap tidak dapat membunuh media konvensional. Yang terjadi adalah, kehadiran media yang lebih baru membuat media yang lebih lama berubah fungsi dan tujuan.
Hal tersebut kita dapati juga dalam konteks musik.
Rilisan fisik akan tetap ada, tapi tidak lagi berfungsi sebagai produk akhir dan sumber pendapatan utama bagi musisi seperti di era sebelumnya. Mereka telah bergeser menjadi alat promosi, barang koleksi yang memiliki nilai sentimentil, serta karya seni visual yang dapat dinikmati secara terpisah dari musiknya.(*)
Source: The Conversation/Abdul Hair