Ignatius Tri Endarto*
PIRAMIDA.ID- Jika ada satu kemampuan yang paling membedakan manusia dari makhluk lain, itu adalah kemampuan kita dalam mengutarakan kata-kata, tepatnya kemampuan berbahasa. Lewat bahasa, kita menyampaikan perasaan dan pikiran kita dan kita juga bisa mempengaruhi orang lain.
Bahasa merupakan elemen yang sangat penting dalam sebuah komunitas dan telah menjadi alat utama kita dalam bersosialisasi. Tanpa bahasa, manusia tidak mungkin bisa meraih pencapaiannya seperti saat ini.
Ilmuwan kognitif Lera Boroditsky, bahkan menyatakan bahwa bahasa mampu membentuk kognisi kita dan “mempengaruhi bagaimana kita memahami segala sesuatu secara bawah sadar.”
Contoh sederhananya adalah perbedaan gender dalam tata bahasa beragam bahasa di dunia. Dalam rumpun bahasa-bahasa Jermanik dan Romanik, kata benda dikategorisasikan menjadi “maskulin versus feminin” atau “maskulin versus feminin versus netral.”
Di samping itu, bahasa-bahasa lain juga memiliki lebih banyak jenis gender untuk kata benda. Menurut George Lakoff, bahasa-bahasa suku asli Australia bahkan memiliki enam belas gender untuk kata benda.
Namun sejak kapan kita punya bahasa? Apakah manusia menciptakan bahasa, ataukah bahasa merupakan kemampuan yang sudah ada sejak manusia pertama?
Para ahli linguistik telah memikirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti ini selama berabad-abad, dan hingga kini belum ada jawaban yang kuat.
Pakar linguistik Arika Okrent menyatakan bahwa “teori asal-usul bahasa pada umumnya lebih didasarkan pada firasat.” Asal-usul bahasa tak ubahnya seperti teka-teki ayam dan telur yang selalu mengundang berbagai teori spekulatif.
Dalam grafik korpus Google Books di bawah ini, perdebatan tentang asal-usul bahasa mencapai puncaknya pada periode antara 1860 dan 1880-an. Meskipun demikian, pada periode tersebut—pada tahun 1866—Paris Linguistic Society melarang adanya kajian mengenai topik tersebut.
Ada banyak teori, dengan judul yang menarik (misalnya teori bow-wow, teori pooh-pooh, teori ding-dong, teori yo-he-ho, dll.) yang mencoba menjelaskan dari mana bahasa berasal. Tapi sejauh ini belum ada teori yang kuat atau bisa dikatakan sejajar dengan posisi teori Darwinisme dalam biologi atau teori _Big Bang _dalam fisika.
Simbol
Inti dari bahasa adalah simbol. Ahli linguistik sering membuat klasifikasi antara simbol, ikon, dan indeks, tetapi pada dasarnya ketiganya mengacu pada gagasan tentang “sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain”. Dan manusia memang sepanjang hidupnya membuat dan memahami makna melalui simbol-simbol.
Hewan juga berkomunikasi, tetapi dengan simbol yang berbeda dan jauh lebih sederhana dari manusia. Kita tidak memahami simbol mereka. “Bahasa non-manusia” mereka tidak memiliki arti bagi kita. Itulah mungkin mengapa kita, manusia, tidak menganggap hewan sebagai bagian dari kita.
Bawaan atau diciptakan?
Bayi manusia memiliki kemampuan bawaan, atau naluriah, untuk menghasilkan beberapa simbol universal seperti senyuman dan tangisan yang masing-masing berarti kebahagiaan dan kesedihan.
Orangtua tidak dengan sengaja mengajarkan anak-anak mereka cara tersenyum atau menangis. Kebanyakan bayi lahir dengan kemampuan itu. Secara ilmiah, ekspresi wajah adalah contoh simbol yang sudah melekat pada kita sejak lahir.
Di luar ekspresi wajah, manusia juga memiliki kemampuan linguistik yang kompleks melebihi makhluk hidup lainnya. Kita mampu menafsirkan, belajar, meniru/memodifikasi, dan yang paling penting, menciptakan simbol, seperti kata-kata.
Banyak penelitian linguistik cenderung mendukung gagasan bahwa kata-kata dalam bahasa manusia memang diciptakan (dan kebanyakan bersifat arbitrer).
Kita mungkin tidak menyadari bahwa kata-kata untuk memanggil “ibu” atau “ayah” di berbagai bahasa dunia kebanyakan mengandung bunyi /m/, /p/, atau /b/. Ketiga bunyi itu disebut bilabial, yang dihasilkan melalui kontak antara kedua bibir.
Karena mudah diartikulasikan, /m/, /p/, dan /b/ adalah bunyi yang paling awal dihasilkan oleh bayi yang mulai meraban. Dan memang masuk akal bahwa bunyi-bunyi yang pertama diproduksi itu akhirnya digunakan dan dipilih guna menciptakan kata panggilan untuk ibu dan ayah dalam sebagian besar bahasa, mengingat bahwa yang pertama dikenali bayi adalah kedua orangtuanya.
Munculnya gramatika
Pakar bahasa setuju bahwa bahasa tidak hanya terdiri dari simbol tetapi juga gramatika atau tata bahasa. Pada dasarnya gramatika adalah seperangkat aturan yang menghubungkan simbol-simbol (kata-kata) tersebut.
Menurut Dan Everett, Homo Erectus mungkin adalah primata pertama yang menggunakan bahasa.
Jika itu benar, maka bahasa mungkin sudah ada lama sekali—sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Everett mendasarkan hipotesa ini dari kompleksnya sistem sosial dan teknologi yang digunakan Homo Erectus yang mengindikasikan adanya kemampuan komunikasi yang rumit.
Beberapa peneliti mungkin berpendapat bahwa Homo Erectus tidak memiliki peralatan vokal yang memadai yang memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa. Akan tetapi hal itu tentunya tidak akan menghentikan Homo Erectus untuk berkomunikasi.
Komunikasi manusia tidak bergantung pada bentuknya (lisan/tulisan), tetapi lebih pada kognisi mereka. Ahli linguistik Ib Ulbaek menyebutkan bahwa kognisi memegang peranan yang lebih signifikan. Contohnya adalah bahasa isyarat, yang bergantung seluruhnya pada isyarat non-lisan untuk menciptakan simbol. Sistem komunikasi tersebut bisa dianggap sebagai bahasa karena memiliki gramatika yang rumit seperti bahasa lisan pada umumnya.
Penelusuran bahasa pertama
Memang hampir tidak mungkin bagi kita untuk mengetahui atau berspekulasi tentang bahasa manusia paling awal, khususnya dalam bentuk lisan maupun isyarat, yang pernah digunakan karena tidak adanya bukti memadahi yang tersisa saat ini.
Ahli bahasa mungkin dapat melacak kembali asal-usul bahasa berdasarkan rekaman tulisan kuno pertama. Melalui pendekatan ini, kita bisa sampai pada kesimpulan, setidaknya untuk saat ini, bahwa bahasa Sumeria adalah bahasa tertulis tertua yang sudah ada sekitar 3300 hingga 3000 SM.
Pendekatan lain yang digunakan para ahli linguistik untuk melacak bahasa pertama adalah melalui studi linguistik perbandingan. Dalam pendekatan ini, ahli bahasa pada dasarnya mencoba merekonstruksi bahasa kuno yang mendahului bahasa tertulis berdasarkan kemiripan berbagai bahasa dalam catatan tertulis maupun bahasa lisan yang ada saat ini.
Kelemahan pendekatan ini adalah bahwa semakin jauh kita menelusuri bahasa kuno yang sudah mati (tidak digunakan lagi), semakin sedikit bukti yang kita dapat rekonstruksi dan dengan demikian semakin spekulatif pula teori yang dihasilkan.
Salah satu upaya yang cukup kontroversial untuk merekonstruksi induk bahasa kuno dari hampir seluruh rumpun bahasa di dunia saat ini adalah yang disebut dengan teori Bahasa Borean. Upaya ini tentu masih di tingkat awal dan membutuhkan lebih banyak bukti.
Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, jika melacak jejak asal-usul bahasa merupakan sesuatu yang sangat sulit atau bahkan hampir mustahil dilakukan, lalu kenapa masih dipertanyakan juga? Jawabannya sederhana: karena manusia secara alamiah adalah makhluk yang mempertanyakan, dan naluri untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang terlihat mustahil untuk dijawab ini merupakan sifat luar biasa yang dimiliki manusia.
Bagi ahli linguistik, ikhtiar mencari jawaban atas pertanyaan tentang bahasa dan asal-usulnya merupakan bagian dari usaha mereka untuk memahami hakikat manusia itu sendiri. Dengan adanya filolog dan ahli linguistik perbandingan, kita akhirnya dapat lebih memahami sejarah kita dan, terlebih lagi, dapat meletakkan dasar bagi studi-studi linguistik modern saat ini.
Penulis merupakan pengajar Linguistik pada Universitas Kristen Duta Wacana. Artikel pertama kali dipublikasi untuk The Conversation.