PIRAMIDA.ID- Ketika seorang politisi terlibat dalam perilaku yang tidak etis, perbuatanya seringkali terekspos pada waktu yang cepat. Saat terjerat skandal, mereka kerap membohongi publik dan berusaha merekrut pendukung untuk membela.
Seperti mantan Senator AS, John Edwards, saat dituduh menjadi ayah dari seorang bayi di luar nikah. Hal pertama yang ia katakan bahwa bayi itu bukan miliknya dan berusaha agar seorang staf menerima tanggung jawab.
Bagaimana mungkin seorang politisi bisa mengatakan hal seperti itu? Bagaimana ia bisa tidak peduli dengan perasaan orang lain? Apakah ini endemik bagi para politisi atau hanya beberapa dari mereka?
Joel Weinberger, seorang profesor psikologi di Adelphi University menunjukan alasan perilaku itu secara psikologis ada di beberpaa politisi yang menyimpang. Yakni narsisme, motivasi kuat, pengambilan risiko yag tinggi, dan jati diri palsu. Namun, ada hal-hal sensitif yang tampaknya tidak mengejutkan publik.
Narsisme, dicirikan oleh pola kemegahan, kebutuhan terus-menerus untuk dikagumi, dan kurangnya empati sehingga seseorang menjadi sangat egois. Ciri-ciri itu membuat seseorang mengedepakan kebutuhanya dan sering mengabaikan orang lain.
Motivasi kekuasaan merupakan keinginan untuk memberi pengaruh terhadap dunia atau orang lain. Orang yang memiliki ciri ini adalah orang yang kompetitif dan ingin menjadi pemimpin. Mereka mendambakan prestise. Motivasi untuk berkuasa merupakan alasan jamak untuk menjadi seorang politisi, karena didasari dorongan untuk memberi pengaruh dan tanggung jawab.
Sedangkan, pengambilan risiko tinggi adalah inti dari politik. Mereka bertaruh dengan risiko dan seolah tidak membatasi diri pada risiko politik. Mereka cenderung mengambil risiko secara umum.
Kemudian jati diri palsu menjadi persyaratan politik. Politisi harus selalu menjaga kata-kata mereka. Komentar biasa bisa merusak politik. Politisi begitu ahli dalam menghindari pertanyaan dan mengurai kata-kata mereka agar tidak menyinggung perasaan. Mereka membangun kepalsuan untuk melindungi diri mereka sendiri secara politik.
Orang-orang seperti itu, menurut Joel berada di bawah tekanan yang luar biasa. Mereka tidak bisa menunjukkan emosi spontan. “Emosi yang mereka perlihatkan dan pikirkan menjadi bagian dari perannya. Akibatnya, mereka bisa melupakan siapa dan apa mereka. Mereka bisa menjadi kosong di dalam,” kata Joel dalam Psychology Today.
Saat tertangkap, seorang politisi tidak akan merasa bersalah dan menyesal. Ia tidak memahami arti pengkhianatan yang dialami orang lain. “Pertama, ia mencoba mengatasinya melalui penyangkalan, kemarahan, dan penyembunyuan. Atau, dia akan membenarkan perilaku tersebut dengan klaim bahwa orang lain juga berperilaku sama persis,” kata Joel.
Hasilnya, para politisi telah banyak menunjukkan kepribadian mereka sendiri. Joel menyebut bahwa itu adalah “kepribadian yang beracun”.(*)
National Geographic Indonesia