PIRAMIDA.ID- Saya kira kita sepakat, salah satu bentuk kekonyolan paling paripurna saat masa sekolah adalah soal ejek-mengejek nama bapak.
Dan ini jamak terjadi di tiap sekolah (terlebih di daerah) serta senantiasa terjaga turun-temurun sampai kini.
Sependek ingatan saya, ini adalah “tradisi” yang senantiasa selalu saya alami di tiap jenjang pendidikan — dari SD sampai STM.
Bahkan, saat saya tanya Bapak saya yang telah berumur 63 tahun, masa sekolahnya dulu juga turut dihiasi dengan ejek-mengejek nama bapak. Benar-benar lestari!
Di masyarakat Batak sendiri, menyebut nama bapak, terlebih untuk tujuan mengejek adalah sesuatu yang tabu, dipantangkan, dan menjurus ke penghinaan.
Maka tak heran, kalau kalian jeli mengamatinya saat sekolah dulu, panggilan para guru yang bersuku Batak itu selalu menggunakan kode inisial atau marganya saja.
Jangankan menyebut nama bapak, menyebutkan profesi pekerjaan bapak saja untuk tujuan menggombal merupakan sesuatu yang tabu.
Coba gombalin perempuan Batak dengan gombalan ala “Bapak kamu kerjanya bla..bla..bla ya,” itu. Belum jua kita selesaikan gombalannya, sudah langsung dibalas, “Ahh, babami ma, bang!”
Ya, berharap ia terbuai dengan gombalan beginian, yang ada malah jadi berantam, bos.
Dus, para orangtua biasanya sudah sejak dini mengajarkan untuk melarang menyebut nama orang di atas umur kita, terlebih terhadap mereka yang sudah menikah dan memiliki keturunan.
Begitu juga dalam jalin perkenalan. Marga dulu yang ditanya, bukan nama. Arti sebuah nama itu di kalangan orang Batak memiliki kedudukan penting dan sakral. Ada peristiwa dan makna pada tiap pemberian nama, katanya.
Dus, penggalan ungkapan pujangga Inggris, William Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama” ya, gak berlaku di sini.
Tapi, iya itu, namanya juga anak sekolah ya kan; mematuhi larangan menyebut nama bapak itu gak asyik dan bukan kebiasaan kita. Melanggar larangan itulah kebiasaan kita – dan meninggalkan kesan. Begitulah logika akrobatiknya.
Karenanya, sebagai kelakuan yang sudah saya jalankan selama 12 tahun perjalanan sekolah ini, terus terang, kekonyolan mengejek nama bapak ini meninggalkan kesan mendalam bagi saya.
Bagaimana tidak, selain sebagai pelaku, turut juga saya sebagai korban dari ejek-mengejek nama bapak ini. Tiada hari tanpa mengejek nama bapak di sekolah.
Saya ingat, kami saling berlomba menghimpun dan mengoleksi nama-nama bapak. Dan mereka yang berhasil mengoleksi paling banyak nama bapak, sudah pasti dipredikati jagoan. Diberi respek dan apresiasi.
Kenapa? Menimbang sulitnya akses mendapatkan nama bapak itu. Iya, biasanya para orangtua menyematkan panggilannya dengan nama anaknya.
Misal, nama anaknya si Hendra, maka panggilan bapaknya adalah “Pak Hendra”, “Tulang Hendra”, “Amani Hendra”, dan sejenisnya.
Satu-satunya akses mendapatkannya hanyalah rapor, yang tentu, tak akan diberi untuk kita lihat kolom nama orangtua.
Bahkan, sekalipun kita berhasil melirik kolom nama orangtua di rapornya, seringkali yang kita temui hanya inisial nama beserta marga saja.
Dus, karena kesulitan tersebut, berhasil mengoleksi nama-nama bapak itu menawarkan kepuasan tersendiri.
Saya sendiri dulu lumayan juga memiliki koleksian nama bapak. Ya, berbanding lurus dengan teman saya juga yang tahu nama bapak saya.
Tak ayal, arena balas-membalas, ejek-mengejek nama bapak ini menjadi komsumsi rutin dalam interaksi antar-kami.
Yang paling menarik sekaligus memilukan dalam “perang” mengejek nama bapak ini ialah bila salah satunya tidak dapat balas mengejek nama bapak karena tidak mengetahui siapa nama bapak rivalnya tersebut.
Sudah barang tentu, ia hanya dapat diam, emosi, dan kesal mendengar ejekan itu sembari memendam dendam kapan waktunya ia mengetahui nama bapaknya dan membalaskannya. Hiks.
Belum lagi bila nama bapaknya berasal dari kata homograf, seperti kata “Horas” yang merupakan kata sapaan khas bagi orang Batak, namun juga sangat populer dipakai sebagai nama seseorang di kalangan orangtua dulu.
Sudah pasti ia akan jadi bulan-bulanan.
Kerap kali, dengan berdalih mengucapkan kata “Horas” untuk menyapa, padahal niatnya mah mau ngejek nama bapak.
Tak heran, karena hal tersebut dan tak mampu lagi menahan emosi, ajang mengejek nama bapak ini kerap berujung adu jotos – yang juga sayang dilewatkan untuk ditonton. Saya sendiri, tentu saja, pernah mengalami situasi semacam.
Yang juga unik, pengalaman saya, sekalipun kita tahu nama ibunya, biasanya kita sungkan untuk mengejek nama ibunya.
Hhhmmm, ada “diskriminasi gender” yang terjadi dalam ejek-mengejek ini (uhuk!). Saya sendiri tidak tahu kenapa demikian. Mungkin karena “surga ada di telapak kaki ibu”. Takut durhaka, bos! Wqwqwq.
Mengingat kekonyolan ini senantiasa membuat saya tersenyum. Antara ironi dan beruntung pernah mengalaminya, baik sebagai pelaku dan korban.
Hingga kini anak-anak sekolah di daerah saya masih kerap kudengar mempraktikkannya. Melihat hal tersebut, selalu sukses buat saya ketawa ketika menonton mereka saling ejek-mengejek nama bapak.
Ada rasa ironi dan bangga bisa “menurunkan” tradisi ini pada mereka. Tragi-komikal memang.
Entah sampai kapan kenakalan konyol nan ikonik ini akan punah.
Pun, sampai detik ini saya masih mau sesekali mengejek nama bapak teman saya. Ya, meski suasananya telah berbeda.
Jika dulu suasana mengejek nama bapak ini senantiasa membuat marah, kesal, bahkan adu jotos, kali ini hanya tawa dan label kekanak-kanakan yang disematkan pada saya tatkala mengucapkannya. Hiks.
Sebagai penutup, ngomong-ngomong, kalian sebut dulu nama Bapak kalian. Ehh.
Penulis dan editor: Hendra Sinurat