Ara Doni Nainggolan*
PIRAMIDA.ID- Hingga saat ini kasus positif COVID-19 terus meningkat, belum ada tanda-tanda penurunan. Bahkan menurut prediksi, puncak pandemi di tanah air akan berlangsung Agustus hingga September 2020.
Melihat kondisi ini, seharusnya masyarakat semakin hati-hati menjaga diri menghindari virus berbahaya ini. Disiplin mempersiapkan protokol kesehatan merupakan tindakan efektif.
Namun apa yang terjadi di masyarakat sangat kontradiktif dengan pandemi yang kian ”mengganas”. Dalam suasana adaptasi kesehatan baru saat ini, sebagian besar masyarakat justru seperti mengabaikan protokol kesehatan.
Di Kota Pematangsiantar saja, banyak orang berlalu lalang tanpa menggunakan masker, mengabaikan sosial/physical distancing, apalagi rutin mencuci tangan menggunakan sabun atau pakai handsanitizer.
Lalu kenapa ini bisa terjadi? Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum percaya kalau COVID-19 ini memang ada.
Mereka menganggap hanya sebagai konspirasi politik atau ekonomi pihak tertentu. Sebagian lagi menganggap kalau dirinya bakal aman-aman saja dan kemungkinan kecil terpapar virus karena tubuhnya sehat.
Anggapan masyarakat ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena banyaknya muncul berita-berita hoax dan berulang di tengah gencarnya sosialisasi pencegahan COVID-19. Kemudian adanya perilaku berbagai pihak yang memanfaatkan pandemi sebagai ladang bisnis.
Misalnya dengan pemberlakuan rapid test sebagai syarat tertentu. Padahal rapid test sendiri tidak bisa dijadikan acuan untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak.
Sebagai ladang bisnis misalnya, masyarakat sudah lama mendengar informasi adanya permainan pihak rumah sakit dalam menangani pasien.
Mereka tergiur dengan besarnya jumlah dana yang digelontorkan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19, sehingga berbagai cara dilakukan untuk dapat “menikmati” dana tersebut.
Meski pihak rumah sakit membantah, tetapi tidak membuat masyarakat percaya dengan keadaan ini.
Pekan ini kita melihat Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mengadu kepada Menkes, Terawan Agus Putranto tentang adanya rumah sakit ‘nakal’ di sejumlah daerah.
Dalam rapat kerja dengan pemerintah membahas laporan APBN semester I 2020, ia menyebut rumah sakit tersebut sengaja membuat pasien dinyatakan positif COVID-19 demi mendapatkan anggaran penangan corona.
“Adanya kenakalan juga di rumah sakit, tidak covid tapi dinyatakan covid. Keluarga enggak terima, dua minggu mau masuk pengadilan, akhirnya rumah sakit menyerah, oh iyah bukan Covid,” kata Abudullah dalam rapat, Rabu (15/7).
Dia melanjutkan, setelah diselidiki ternyata rumah sakit tersebut sengaja menyatakan pasien itu positif corona demi mendapatkan intensif rumah sakit.
“Telisik punya telisik, kalau dinyatakan mati COVID-19 lebih besar. Ada yang menyebut kalau orang kena COVID-19 masuk rumah sakit sampai meninggal anggaran Rp 90 juta atau 45 juta. Memang ini ujian betul, di Pasuruan, Jambi, Ciamis ini kan viral di mana-mana,” jelasnya.
Mungkin juga hal ini menjadi penyebab maraknya kasus masyarakat mengambil paksa dari rumah sakit jenazah keluarganya yang meninggal akibat COVID-19.
Penulis merupakan mahasiswa jurusan Fisika, Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.