Adhyra Irianto*
PIRAMIDA.ID- Nihilisme, sebuah paham bahwa tak ada nilai, tak ada dasar, dan tak ada yang tidak dapat diketahui, akan mengaitkan kita pada satu nama, Friedrich Nietzhche.
Ajaran nihilisme yang begitu deras potensi destruktifnya nyatanya memikat banyak filsuf lain dan juga seniman untuk berkarya dengan tema yang sama. Salah satu respon terhadap nihilisme adalah “keputus-asaan eksistensial” yang menjadi tema utama kaum ekstensialis.
Nihilime melahirkan orang-orang skeptis yang terus mengutuk keberadaannya, juga melahirkan orang-orang pesimis yang menyesalkan keberadaannya, anarkisme yang memperjuangkan kebebasan dengan brutal, kaum absurdis, sampai akhirnya melahirkan deis dan atheis.
Proses Kelahiran Nihilisme
Di tahun 1860 hingga 1917, otoritas negara dan gereja di Eropa mendapatkan perlawanan keras yang terorganisir. Gerakan itu awalnya berupa sebuah gugatan pada kekangan otoritas gereka dan negara yang begitu keras mengekang semua aspek kehidupan masyarakat Eropa tahun itu.
Kelanjutannya, semua gugatan tersebut dibalas oleh pihak gereja dengan menyebutkan bahwa hal itu merupakan gugatan terhadap sebuah kekuasaan yang tertinggi. Dalam hal ini, gereja menyebut dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Maka tak pelak, gugatan tersebut akhirnya diarahkan pada gereja dan merembet ke Sang Pemegang Kekuasaan Tertinggi (Tuhan).
Ada banyak hal yang membuat gerakan revolusioner tersebut mendapatkan banyak dukungan. Pertama, saat itu baru saja berkecamuk perang (bahkan ada dalam beberapa periode masih berada di Perang Dunia 1), yang menyebabkan sejumlah negara hancur lebur.
Beberapa negara yang lain, semacam Jerman dan Italia misalnya, justru memiliki pemimpin otoriter yang kejam dan sadis. Saat itu, apa yang dilakukan gereja menambah duri dalam daging bagi masyarakat.
Mereka mengekang semua aspek kehidupan, tapi ketika ditanyakan tentang kenapa agama (serta Tuhan) tak membantu mereka keluar dari masalah yang diciptakan oleh negara? Jawabannya pihak gereja, itu menjadi ujian alias pelajaran untuk manusia yang beriman. Keadilan tak akan bisa dipahami, tanpa adanya ketidak adilan.
Ada kenyataan seperti ini, misalnya di Rusia (dulu Uni Sovyet) seorang suami bekerja di tambang milik pemerintah dan mendapat bayaran per hari hanya pas untuk membeli makanannya sendiri. Sebagai tambahan, di akhir minggu, ia mendapatkan sebotol minuman keras. Tapi, ia punya istri dan anak di rumah. Anaknya butuh susu, dan pasangan itu juga butuh makan.
Sialnya, pasca perang, ekonomi negara hancur, mata uang ambruk, dan harga-harga melambung tinggi. Lebih parahnya lagi pemimpin Rusia saat itu (Tsar Nicholas II) justru sangat diktator dan kejam. Semuanya menjadi semakin sulit.
Karena itu, istrinya ikut bekerja dan anaknya ikut bersama ibunya bekerja. Karena nyaris tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan oleh wanita di saat itu, maka satu-satunya pekerjaan yang bisa diambil oleh wanita itu adalah, pelacur!
Mereka menjalani hal itu bertahun-tahun, dan setiap minggu memilih untuk tidak bekerja dan datang ke gereja. Sampai di gereja, jawaban dari pihak gereja tidak berubah. Kebaikan tak akan pernah bisa dipahami tanpa adanya kejahatan. Maka apapun kejahatan dan ketidakadilan yang menimpa Anda, itu adalah ujian.
Sampai akhirnya dua orang suami istri itu bertemu dengan pasangan suami istri lainnya, yang sama-sama menjalani waktu yang buruk beberapa tahun terakhir. Melihat tak ada setitik cahaya yang akan muncul, bahkan sampai mereka mati nanti.
Ketika negaranya mengambil ancang-ancang sepertinya akan kembali berperang, suasana dalam negeri semakin kacau dan tak beraturan. Kedua pasang suami istri itu ternyata bertemu dengan ratusan atau mungkin ribuan pasangan suami istri yang bernasib sama. Mereka sama-sama ingin memperjuangan kebebasan dirinya sendiri, dan mengikuti seorang pemimpin anarkis bernama Mikhael Bakunin.
Bakunin adalah seorang pemikir, anak dari keluarga aristokrat di Moskow. Ia belajar filsafat, hingga akhirnya ia memiliki pemikiran yang sama dengan Hegel. Tapi, ia mengembangkan filsafat Hegel dalam “cara yang radikal”.
Apa yang diperjuangkan Bakunin? Anarkisme! Yah, negara tidak dibutuhkan lagi, karena hanya bisa menindas rakyatnya. Saat itu, tentu Bakunin masih belum menyadari bagaimana bila ada rakyat tanpa negara, seperti Somalia yang chaos selama bertahun-tahun.
Gugatan pada negara yang diberlakukan kelompok tersebut, berkat otoritas gereja, akhirnya menjadi gugatan pada Tuhan. Semua yang bernasib naas (seperti contoh sepasang suami istri tadi) menyalahkan “Tuhan” atas apa yang terjadi pada mereka. Maka muncul istilah “Tuhan terlalu kejam, bila hanya memberikan ujian seumur hidup.
Hadirnya Nietzche dan Filsuf Lainnya Menjembatani
Lebih cadas lagi, “rombongan” filsuf ternama mulai dari Karl Marx, Nietzche sampai Jean-paul Satre mulai membagikan pemikiran mereka yang juga (mau tidak mau) disebut sebagai gugatan terhadap Tuhan. Pemikiran yang begitu memikat bagi masyarakat yang hendak menggugat dan memberontak, tentunya. Para pejuang revolusioner tersebut bertemu “jembatan” untuk perjuangannya melawan ketidakadilan dan mencapai kebebasan tersebut.
Marx bilang bahwa “agama adalah candu” yang menjadi tempat pelarian ketika manusia gagal memperjuangkan (setidaknya) diri sendiri dalam dunia yang penuh ketidakadilan.
Manusia yang gagal tersebut, hanya mampu menggantungkan diri pada “entitas” lain, ketika semua orang berjuang mendapatkan kebebasan di atas kakinya sendiri. Karena “entitas” lain semacam negara, orang lain dan siapapun itu yang bisa menjadi tempat bergantung tidak mampu mengubah keadaan, maka bergantunglah mereka pada gereja.
Gereja (agama) menjual sebuah janji, bahwa mereka hidup dalam ketidakadilan, dari lahir sampai mati, tapi bila mereka berserah diri, maka akan ada keselamatan setelah mati. Pada “entitas” inilah manusia bergantung, dan faktanya tidak ada yang berubah, pembantaian di mana-mana, begitu juga ketidakadilan.
Saat inilah, kemudian Nietzche hadir dengan suara yang lebih keras. Ia mengatakan bahwa manusia-lah yang telah menciptakan Tuhan, namun Tuhan yang akhirnya menguasai manusia.
Lalu, manusia menjadi terasing, kehilangan eksistensi diri. Manusia menjadi manusia seutuhnya (menurut Nietzche disebut sebagai Ubermensch alias Superman) dengan cara “membunuh” Tuhan yang mengekang diri manusia itu. Maka kalimat yang terkenal dari Nietzche adalah “Tuhan telah mati.”
Maka paham nihilisme Nietzche melengkapi pemikiran tentang “Tuhan” yang sedang digugat beramai-ramai itu. Krisis yang besar pasca perang, ternyata juga memicu krisis keyakinan, kepercayaan, moral dan metafisik. Tema nihilistik memang bermuatan penghancuran nilai-nilai itu.
Puluhan tahun kemudian, Sartre melengkapi penjelasan itu. Sebenarnya, bukan masalah percaya atau tidak pada Tuhan yang menjadi pokok masalahnya. Tapi, Tuhan ada atau tidak ada saat itu dianggap tidak memberi makna apa-apa, tidak memberi perubahan apa-apa.
Seorang ibu yang terpaksa melacurkan diri, tetap memercayai Tuhannya. Hingga anaknya meninggal karena tak bisa minum susu, ibu tersebut tetap memercayai Tuhannya. Sampai akhirnya, gugatannya pada negara, pada gereja juga bermuara pada Tuhan yang dulunya begitu ia percayai untuk mengubah kehidupan yang penuh ketidakadilan.
Selain dianggap tidak memberi perubahan, kehadiran Tuhan tak memberi makna apa-apa, kecuali menjadi “penjara bagi diri”. Karena itu, bermula pemikiran ekstensialisme, nihilisme, dan sejumlah pemikiran lainnya di era itu.
Pemikiran para filsuf tersebut, memikat para seniman. Bagaimana arus deras aliran ekstensialisme mewabah di saat itu. Harus diakui, bahwa para ekstensialis inilah yang paling sering membawa -isme-isme pada filsuf yang lahir di era “kehancuran” itu. Sampai di abad 20 awal hadir skeptisisme yang lebih ekstrim, relativisme, dan setipenya menghadirkan terobosan karya-karya baru.
Tulisan Albert Camus misalnya, Mitos Sisipus yang terbit tahun 1942 ketika Perang Dunia 2 berkecamuk. Perjuangan yang abadi, tapi tak berguna, yang dilakukan Sisipus, adalah metafora yang sangat tepat bagi manusia saat itu.
Maka, harus diakui Nietzhche (yang paling sering dikaitkan dengan Nihilisme) adalah penyebar pemikiran yang sarat akan kecemasan, kemarahan, teror. Pemikirannya memberikan implikasi bagi peradaban saat itu. Meski tidak semua ekstensialis penganut nihilisme, namun semuanya bermula dari situ. Cara dia “menghancurkan interpretasi dunia” akhirnya memberikan jalan bagi yang lain untuk menemukan arti “keberadaan” manusia di abad ke-20.
Semua, menurut Nietzche, bermula dari kehancuran (korosif) yang berdampak pada kehancuran semua yang bersifat metafisik dan tidak kongkrit. Kalaupun masih percaya dengan Tuhan di era itu, maka mereka adalah serombongan Deis, yang percaya Tuhan adalah (hanya) tukang jam. Dan, seakan-akan tema postmodern berhasil diantisipasi dengan baik dalam pemikiran Nietzsche.
Penulis merupakan seorang blogger dan pekerja seni.