PIRAMIDA.ID- Beragam obat-obatan dipakai untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang telah menelan korban jutaan orang di seluruh dunia. Dari berbagai obat yang ada, tiga obat, yakni Ivermectin, Favipiravir, dam Remdesivir paling banyak dipakai karena dianggap paling ampuh melawan virus corona.
Meski ampuh melawan virus corona, bukan berarti penggunaan obat ini tanpa efek samping. Berikut ini efek samping dari masing-masing obat yang dirangkum dari berbagai sumber dan referensi:
1. Ivermectin
Obat ini pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1970, turunan dihidro dari Avermectin. Berasal hanya dari satu mikroorganisme yang diisolasi di Kitasato Institute, Tokyo, Jepang. Obat ini memiliki dampak yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan miliaran orang di seluruh dunia.
Awalnya diperkenalkan sebagai obat untuk hewan, membunuh berbagai parasit internal dan eksternal pada ternak komersial dan hewan pendamping. Namun dalam perkembangannya obat ini juga telah digunakan dan berhasil mengatasi beberapa penyakit manusia lainnya.
Andi Crump dan Satoshi Mura mengulas makalah dengan judul “Ivermectin, Obat Ajaib dari Jepang dengan Perspektif Penggunaan pada Manusia.”
Cara kerja Ivermectin, pada pemberian secara oral, Ivermectin dapat mencapai konsentrasi plasma proporsional terhadap dosis. Konsentrasi puncak Ivermectin adalah sebesar 30–46 ng/ml dan tercapai 4 jam setelah pemberian, kemudian menurun secara perlahan setelahnya.
Ivermectin ini dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui feses 98% dan urine 1%. Waktu paruh Ivermectin 12 jam sedangkan waktu paruh metabolismenya sekitar 3 hari. Efek samping dari Ivermectin antara lain konstipasi 0,9%, diare 1,8%, muntah 1,8%, pusing 2,8%, mengantuk 0,9%, gatal-gatal 0,9%.
2. Favipiravir
Favipirafir adalah obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical. Favipiravir per-oral diabsorpsi melalui mukosa usus dan mencapai konsentrasi puncak di plasma dalam waktu 2 jam, kadarnya menurun secara cepat dengan paruh waktu 2 – 5,5 jam.
Favipiravir dimetabolisme di hati dengan bantuan enzim aldehid dan diekskresikan di ginjal. Efek samping Favipirafir antara lain peningkatan nilai SGPT, SGOT, 1% (seringkali dikaitkan dengan gangguan fungsi hati), kadar asam urat meningkat, gangguan saluran cerna, diare 4,79%, gangguan metabolik 4,79%, penurunan produksi sel darah 1%, asma nyeri orofaringeal 0,5%, gatal-gatal, eksim kurang dari 1%.
3. Remdesivir
Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan remdesivir bisa terjadi pada berbagai organ. Dari data non klinik, terdapat risiko rendah untuk terjadinya efek samping pada susunan saraf pusat, pernapasan, dan kardiovaskular pada perkiraan kadar terapi untuk manusia. Secara keseluruhan, efek samping yang terjadi di antaranya:
– Gastrointestinal: diare (9%), peningkatan enzim hepatik transaminase (23%)
– Ginjal: renal impairment (8%), acute kidney injury (6%)
– Kardiovaskuler: hipotensi (8%), atrial fibrilasi (6%), deep vein thrombosis (6%)
– Respirasi: pneumotoraks (4%), acute respiratory distress syndrome (4%)
– Gangguan elektrolit: hipernatremia (6%)
– Lain-lain: demam (4%), syok septik (4%), hematuria (4%), delirium (4%).
Suatu penelitian klinis pada kasus Covid-19 meneliti mengenai penggunaan remdesivir selama 10 hari dengan dosis 200 mg intravena pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 100 mg intravena selama 9 hari setelahnya.
Penelitian tersebut mendapatkan bahwa dari 53 subjek terdapat 32 subjek yang mengalami efek samping, dan lebih sering terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Sebanyak 12 subjek (23%) mengalami efek samping serius, seperti multiple organ dysfunction syndrome, syok sepsis, cedera ginjal akut, dan hipotensi.
Ivermectin Sebagai ‘Obat Ajaib’
Dari ulasan ketiga obat di atas, dapat dilihat bahwa efek samping Ivermectin masih masuk dalam kategori ringan. Menarik untuk mengulas makalah berjudul “Ivermectin, ‘Obat Ajaib’ dari Jepang: Perspektif Penggunaan Manusia” yang ditulis oleh Andy Crump dan Satoshi Mura dan diterbitkan oleh US National Library of Medicine National Institutes of Health atau Perpustakaan Kedokteran Nasional AS Institut Kesehatan Nasional.
Makalah ini membahas secara mendalam seputar peralihan Ivermectin dari kesuksesan besar di kesehatan hewan menjadi penggunaannya secara luas pada manusia, sebuah perkembangan yang membuat banyak orang menggambarkannya sebagai obat “ajaib”.
Ketika pertama kali muncul pada akhir 1970-an, Ivermectin, turunan dari Avermectin, adalah obat yang benar-benar revolusioner, belum pernah terjadi sebelumnya dalam banyak hal. Ivermectin menjadi pelopor antiparasit yang benar-benar baru, yang berpotensi aktif melawan berbagai nematoda dan artropoda internal dan eksternal.
Ivermectin, awalnya diperkenalkan sebagai produk komersial untuk kesehatan hewan pada tahun 1981. Produk ini efektif melawan berbagai macam parasit, termasuk cacing gelang saluran cerna, cacing paru, tungau, kutu, dan hornflies.
Ivermectin terbukti lebih sebagai ‘obat ajaib’ dalam kesehatan manusia, meningkatkan nutrisi, kesehatan umum, dan kesejahteraan miliaran orang di seluruh dunia sejak pertama kali digunakan untuk mengobati Onchocerciasis pada manusia pada tahun 1988. Ivermectin terbukti ideal dalam banyak hal, menjadi sangat efektif dan berspektrum luas, aman, ditoleransi dengan baik dan dapat dengan mudah diberikan (satu dosis oral tahunan).
Ivermectin adalah obat paling ampuh dari kampanye global membebaskan dunia dari dua penyakit yang paling merusak Onchocerciasis (infeksi cacing gelang Onchocerca volvulus) dan Lymphatic filariasis (juga dikenal sebagai elephantiasis atau kaki gajah disebabkan oleh cacing parasit jenis Filarioidea) yang merusak kehidupan miliaran orang miskin dan kurang beruntung di seluruh dunia.
Selama dekade berikutnya, lebih dari 200 juta orang telah menggunakan obat ini setiap tahun melalui program Administrasi Obat Massal (MDA) yang terkoordinasi secara global. Ini merupakan penemuan, pengembangan, dan penyebaran Ivermectin yang dihasilkan oleh kemitraan yang belum pernah terjadi sebelumnya antara perusahaan multinasional farmasi Merck & Co. Inc., dan Institut Kitasato di Tokyo, dibantu oleh koalisi luar biasa dari mitra internasional multidisiplin dan masyarakat yang terkena dampak. Kemitraan ini telah diakui oleh banyak ahli dan pengamat sebagai salah satu pencapaian medis terbesar abad ke-20.
Mengacu pada upaya internasional untuk mengatasi Onchocerciasis di mana Ivermectin sekarang menjadi satu-satunya alat kontrol. Laporan UNESCO menyimpulkan, “kemajuan yang telah dicapai dalam memerangi penyakit ini merupakan salah satu kampanye kesehatan masyarakat paling sukses yang pernah dilakukan di negara berkembang”.
Yang mungkin lebih penting adalah bukti bahwa penggunaan Ivermectin memiliki dampak menguntungkan baik langsung maupun tidak langsung pada peningkatan kesehatan masyarakat.
Studi pengobatan jangka panjang dengan Ivermectin untuk mengendalikan Onchocerciasis telah menunjukkan bahwa penggunaan obat juga dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam prevalensi infeksi parasit cacing yang ditularkan melalui tanah (termasuk Ascaris, Trichuris, dan cacing tambang), yang sebagian besar atau semuanya dianggap sebagai penyebab utama morbiditas yang timbul dari gizi dan pertumbuhan anak yang buruk.
Diketahui juga bahwa prevalensi kutu kepala berkurang secara nyata pada anak-anak yang memakai tablet Ivermectin dan bahwa kudis berkurang secara nyata pada populasi yang memakai obat Ivermectin secara teratur. Di atas segalanya, Ivermectin telah terbukti menjadi obat pilihan bagi kaum miskin pedesaan di dunia.(*)