PIRAMIDA.ID- Mungkin sudah banyak dari kita yang mengetahui bahwa Sumatra Barat memiliki seorang pahlawan nasional yang berasal dari Bukittinggi, yaitu bapak proklamator kita, Muhammad Hatta. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa terdapat seseorang yang bisa dibilang merupakan ‘pahlawan’ di bidang kesenian yang juga berasal dari Sumatra Barat juga.
Bahkan, ia digadang-gadang menjadi bapak perfilman Indonesia. Sepanjang kariernya, ia telah membuat lebih dari 30 film. Beberapa film yang beliau buat di antaranya Darah dan Do’a (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Pedjoang (1960), dan lain-lain. Siapa lagi kalau bukan Usmar Ismail.
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921 silam. Saat masa kecil menuju masa remajanya, ia bersekolah di MULO (SMP) dan AMS (SMA). Sejak kecil, ia sudah menunjukkan bakat sastranya dengan memperdalam pengetahuan dramanya.
Ia juga mulai aktif mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah. Dari situ, sudah terlihat bakatnya yang kelak akan membawanya dalam profesi jurnalistik, sutradara, penulis skenario, dan produser.
Kariernya dimulai saat ia menjadi penyair. Ia menjadi wakil kepala bagian Drama di Pusat Kebudayaan. Selain itu, dia juga mendirikan kelompok sandiwara bernama Maya, yang mementaskan teknik teater Barat bersama abangnya dan rekan-rekannya. Sandiwara ini digadang-gadang merupakan pionir dunia teater modern di Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, ia menjalankan profesi menjadi tentara sekaligus jurnalistik di Yogyakarta. Di sana, ia mendirikan Harian Patriot dan majalah bulanan Arena, serta mengetuai Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara, dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Saat menjalankan profesi ini, bahkan ia pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda saat meliput perundingan Belanda–RI di Jakarta. Yang menarik, saat ditahan, ia dipekerjakan di studio film untuk membantu Andjar Asmara.
Setelah menghasilkan dua film, ia merasa tidak puas dengan hasil film yang ia buat karena tentu saja ia tidak bebas dengan lingkup pekerjaannya. Ia merasa tidak puas karena dibuat dengan di bawah arahan Belanda.
Maka dari itu, begitu Indonesia benar-benar bebas sepenuhnya dari Belanda, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai tentara dan fokus pada dunia perfilman.
Jatuh bangun PERFINI
Usmar Ismail dan rekan-rekannya mendirikan Studio Film Pertama di Indonesia, yaitu PERFINI (Pusat Film Nasional Indonesia) di awal tahun 1950-an. Melalui PERFINI, ia melahirkan film pertamanya yang berjudul “Darah dan Doa”.
Film tersebut menerima respon yang baik dari kritikus dunia kesenian. Setelah menghasilkan beberapa film dalam kurun waktu 2 tahun, ia pergi ke Amerika untuk belajar tentang dunia perfilman di Amerika dan mendapatkan gelar Bachelor Of Arts jurusan Film di Universitas Los Angeles pada tahun 1952–1953.
Akan tetapi, karier yang ia bangun tidak selamanya berjalan mulus. Pada akhir tahun 1950-an, PERFINI terancam mengalami kebangkrutan karena terjadinya masa krisis di industri film. Selain terjadinya masa krisis, prinsip idealisme yang dimiliki Usmar Ismail dalam memproduksi film menyebabkan film produksinya mengalami kerugian.
Akibat krisis itu, ia membuat beberapa film hiburan, seperti Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), dan Asmara Dara (1958). Akan tetapi, walau beberapa karyanya sukses secara komersial, hal itu tidak dapat menutupi kepailitan perusahaannya sehingga pada tahun 1960, ia harus menyerahkan PERFINI ke Perusahaan Film Negara (PFN).
Kericuhan politik yang terjadi di awal tahun 1960-an pun tidak luput menghampiri Usmar Ismail. Hingga akhirnya, ia vakum dari industri film dan beralih ke industri lainnya, seperti industri perdagangan dan hiburan.
Selain itu, ia menjadi ketua umum LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang dibawahi oleh NU dan terjun ke dunia politik mewakili NU menjadi anggota DPR pada tahun 1966 sampai 1969.
Pada tahun 1970, ia memproduksi film bekerja sama dengan Italia berjudul “Adventure in Bali”. Akan tetapi, film itu dicekal dan tidak diperbolehkan tayang di Indonesia. Selain itu, usaha hiburan yang dikelolanya di Sarinah, Jakarta juga terpaksa ditutup karena tuntutan dari pemerintah pada masa itu.
Mengenang Usmar Ismail
Sampai akhirnya, ia meninggal dunia secara mendadak saat ia hampir menginjak umur lima puluh tahun karena penyakit stroke yang dideritanya. Ia adalah sosok yang kuat dan tangguh dalam menghadapi pasang surut kariernya di dunia perfilman.
Terbukti, dirinya sangat berjasa dalam dunia perfilman Indonesia. Ialah salah satu pelopor sutradara film pertama, saat film tersebut dibuat dan diperankan oleh orang Indonesia.
Insan perfilman Indonesia pun memperingati 100 Tahun Usmar Ismail, yang bertepatan dengan Hari Film Nasional ke-71 dengan mendorong agar Usmar mendapatkan gelar pahlawan nasional. Adapula pameran dan mural yang berlokasi di kota tempat kelahirannya, yaitu kota Bukittinggi.
Semua itu dilakukan untuk mengenang kelahirannya sekaligus mengingatkan kembali akan kekuatan karya, serta tekad yang tertuang dalam setiap hasil sinematografi. Kini, Indonesia melahirkan bakat lainya, para sineas muda berbakat, seperti Riri Riza dan Arief Malinmudo.
Seperti yang dituturkan oleh Soemardjono, kawan seperjuangan Usmar di PERFINI,
“Apa yang dicita-citakan Usmar sejak semula adalah industri film, bukan hanya perusahaan film. Ia berhasil melakukan itu semua dan memberikan kontribusi lebih dari yang ia inginkan. Walau apresiasi yang diberikan oleh pemerintah belum sebanding. Sosoknya akan selalu menjadi inspirasi untuk insan perfilman di tanah air.”(*)
Source: GNFI/Anggie Setya Putri