May Luther Sinaga*
PIRAMIDA.ID- Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun, melainkan penulis hanya ingin menuangkan sedikit padangan terkait kisah yang dialami salah satu orang terdekat yang merasa orang tuanya terlalu toxic.
Pernah dengar istilah toxic people? Toxic people sederhananya diartikan sebagai orang yang beracun. Dikatakan sebagai orang yang beracun, karena toxic people kerap kali identik dengan hal-hal yang meracuni pikiran-pikiran kita. Lantas apa tujuannya? Yah, supaya kita terus merasa bersalah, kehilangan semangat, hidup dalam ketakutan, dan lainnya.
Yang menjadi persoalan ialah, orang ini (toxic people) tidak sadar kalau kehadirannya bagi orang lain sebagai toxic (racun). Dan orang-orang seperti ini, selalu merasa dirinya yang paling benar (merasa jadi manusia paling sempurna).
Banyak orang ketika menghadapi orang-orang toxic, langsung mundur dan mulai menjaga jarak. Yah, benar sih, kalau saya juga menghadapi orang seperti itu, pasti langsung ambil langkah mundur dan sebisa mungkin mencoba menjaga jarak.
Tapi bagaimana bila hal nya yang toxic itu orang tua kita? Seperti yang dialami salah satu orang terdekat saya, inisialnya “S”. Apakah pilihan kita tetap untuk jaga jarak dan pergi sejauh-jauhnya? Atau adakah langkah lain yang bisa kita ambil?
Mungkin dibeberapa benak orang, timbul pertanyaan bagaimana mungkin ada orang tua yang toxic? Sementara kita meyakini bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, pada faktanya, adakalanya upaya orang tua yang terlalu berlebihan memberikan yang terbaik berujung kepada sikap yang tidak baik bagi si anak, misalnya terlalu mengekang, posesif, dan lainnya yang justru membuat anak bukan semakin terpacu untuk menjadi baik, melainkan semakin melukai anak.
Beberapa orang tua tanpa sadar telah menjadi toxic dalam kehidupan anak-anaknya. Sebetulnya, kalau diruntut lebih jauh lagi, ini tidak sepenuhnya kesalahan mereka (orang tua). Bisa jadi hal ini karena pola asuh yang keliru dan luka batin yang mereka (orang tua) pendam selama ini yang menjadi salah satu pemicu mereka bersikap demikian. Hingga akhirnya, mereka menerapkannya kepada anaknya.
Memang, tidak mudah bila memilih langkah untuk “berperang” dengan orang tua sendiri. Karena disatu sisi, ada hak orang tua atas kita yang perlu kita penuhi. Tapi, disisi lain, bertemu dengan orang tua yang toxic pun bukan sesuatu yang mudah, karena dapat menimbulkan luka yang mendalam bagi si-anak tersebut. Lantas, apa langkah yang bijak yang dapat kita lakukan sebagai anak?
Menurut hemat saya sebagai penulis, langkah pertama yang dapat dilakukan (sebagai anak) ialah Memaafkan dan menerima orang tua apa adanya. Kita bisa saja marah dengan kondisi ini, bahkan ada yang berujung pada rasa trauma terhadap orang tuanya sendiri. Hingga ada yang memendam kebencian yang teramat dalam atas luka yang mereka (orang tua) sebabkan. Tapi, mau sampai kapan? Bukankah segala energi negatif itu yang justru membuat kita terluka semakin dalam?
Memang, memaafkan dan menerima mereka apa adanya bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, inilah yang perlu kita upayakan untuk benar-benar bisa mengobati segala sakit yang telah ditimbulkan oleh orang tua yang toxic tersebut. Belum lagi disatu sisi kita tidak bisa memilih untuk lahir dari keluarga mana dan dibesarkan dengan cara yang bagaimana. Tapi yang memungkinkan kita lakukan sebagai anak yakni kita bisa memilih sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan pada orang tua kita tersebut. Terlepas dari segala hal buruk yang pernah kita alami bersama mereka.
Langkah yang kedua ialah Membuat jarak bila memang di perlukan. Ada banyak sekali kisah tentang jarak anak dengan orang tua yang justru membuat keadaan semakin membaik. Bisa jadi karna keduanya akhirnya sama-sama belajar untuk melihat dari sisi lain yang selama ini tidak mampu mereka (orang tua dan anak) lihat. Salah satu membuat jarak yang memungkinkan untuk dilakukan ialah dengan cara merantau.
Karena ada saja hubungan yang unik antara anak dan orang tua. Misalnya bila dekat sepertinya ada saja yang diributkan. Ada saja yang membuat satu sama lain terluka. Tapi ketika jauh, justru rindu yang membuat luka-luka itu sembuh.
Langkah yang ketiga ialah Mintalah pertolongan. Terkadang dalam mengatasi keterbatasan kita menghadapi masalah maupun sebuah tekanan, harus melibatkan orang lain untuk berbagi cerita. Tujuannya yakni untuk menemukan solusi terbaik serta mengurangi beban masalah yang sedang kita hadapi.
Tentu saja, orang lain tersebut merupakan orang-orang yang bisa dipercaya (misalnya sahabat, pasangan, dan lainnya). Karena bila masalah di pendam sendiri, maka tidak menutup kemungkinan akan mengganggu mental health seseorang tersebut.
Dalam kondisi terburuk, bisa saja memicu depresi akut atau bahkan ada beberapa orang yang terpikir untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri). Selain itu, kita juga harus meminta pertolongan kepada sang maha kuasa, Tuhan yang menciptakan manusia beserta segala isinya. Karena bagi Tuhan tak ada yang mustahil.
Sedikit saya uraikan ciri-ciri toxic parents, diantaranya yang pertama Kelewat kritis. Hal ini sering terlihat dari sikap orang tua yang ada-ada saja di kritik. Anak melakukan hal yang salah dikritik, bahkan melakukan hal yang baik juga dikritik. Si-anak pun jadi serba salah.
Yang kedua, Berlebihan. Segala sesuatu kalau dilakukan secara berlebihan tentu jadinya akan tidak baik. Kita ingin anak kita aman, tapi kita berlebihan dalam “melindungi” anak (posesif). Segala hal yang berkaitan dengan anak dipantau dan diintai secara berlebihan. Bahkan terkadang ikut campur dalam urusan anak terlalu jauh. Dan masih banyak ciri-ciri lainnya.
Jadi, penulis hanya ingin menguraikan sedikit referensi terkait sikap bijak sebagai seorang anak menghadapi orang tua yang toxic. Memang, memiliki orang tua yang toxic sangat menyiksa lahir batin, dan beberapa orang yang nggak tahan dengan ini bisa terganggu mental health-nya. Untung saja salah satu orang terdekat saya yang ber-inisial “S” tegar dan dewasa menyikapi orang tuanya yang di-nilainya toxic. Karena yang perlu kita pahami, kita tidak bisa memilih siapa yang menjadi orang tua kita.
Yang harus kita lakukan sebagai anak, ada baiknya kita mulai bersahabat dan mencoba menerima kenyataan. Meskipun kita tidak bisa memilih lahir dari orang tua yang bagaimana, tapi kita bisa memilih ingin menjadi anak seperti apa terhadap orang tua kita.(*)
Penulis merupakan Ketua GMKI Pematangsiantar-Simalungun MB 2019-2021. Mahasiswa Pascasarjana.