PIRAMIDA.ID- Dua pekan lalu, publik Indonesia dikagetkan dengan munculnya pemberitaan tentang penjualan pulau Malamber di Provinsi Sulawesi Barat. Transaksi bisnis tersebut diduga kuat dilakukan secara ilegal, karena transaksi yang dilakukan tidak memiliki kejelasan dan tidak ada sinkronisasi antara penjual dengan pembeli.
Bagi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), jual beli pulau yang kembali muncul sekarang, bisa mengindikasikan bahwa mega transaksi bisnis itu sedang sangat diminati oleh para pemburu pulau. Terutama, pulau yang letaknya berdekatan dengan Provinsi Kalimantan Timur yang di dalamnya ada calon Ibu Kota Negara baru, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Dinamisator JATAM Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, aksi jual beli pulau di sekitar Kaltim diduga akan semakin kuat menjelang rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara. Aksi tersebut dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan dari momen tersebut.
“Hal tersebut dimanfaatkan oleh segelintir pejabal lokal untuk mendulang keuntungan atau memperkuat posisi politik dia di masa datang,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.
Dugaan itu diungkapkan Pradarma, karena pulau Malamber yang mendadak ramai dibicarakan beberapa pekan terakhir, adalah salah satu pulau yang letaknya strategis dan berdekatan dengan lokasi ibu kota yang baru di Kaltim. Pulau Malamber sendiri masuk dalam gugusan Kepualuan Bala-Balakang atau Balabalakang.
Sebagai pulau strategis, Malamber bersama gugusan pulau lainnya di Balabalakng diyakini akan menjadi pulau diperhitungkan karena ada dalam jalur penting untuk rute logistik di wilayah Timur Indonesia dan Indonesia Tengah. Selain itu, juga akan menjadi pulau transit yang bisa dikunjungi oleh wisatawan dan diplomat Indonesia saat akan masuk ke atau keluar dari Ibu Kota baru.
Dengan kata lain, Pradarma ingin mengatakan bahwa saat ini wilayah Kaltim dan sekitarnya sudah menjadi salah satu wilayah yang banyak diincar untuk dijadikan investasi. Imbasnya, pulau-pulau yang ada di sekitar Kaltim juga menjadi buruan banyak investor ataupun para pengusaha yang ingin menanamkan modalnya.
Contoh paling mudah dari dugaan terjadinya aksi privatisasi lahan, adalah dengan banyaknya papan penanda yang ditancapkan di wilayah pesisir Teluk Balikpapan. Papan-papan tersebut bertuliskan kepemilikan lahan kepada seseorang atau kelompok.
Politik dan Bisnis
Pradarma menjelaskan, di sepanjang pantai Balikpapan saja, terdapat wilayah kavling yang kepemilikannya diberikan kepada beberapa perusahaan properti terkemuka di Indonesia. Selain itu, di lokasi yang sama, areal yang sudah dimiliki swasta itu juga ada pemberitahuan perizinan penimbunan kawasan pesisir untuk proyek pembangunan jalan raya pesisir (coastal road) sepanjang 8.500 meter.
“Padahal, pembangunan tersebut menghilangkan sempadan pantai dan merampas ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir,” jelas dia.
Praktik seperti itu, diduga kuat karena ada kaitannya dengan kepentingan politik untuk kekuasan di Kaltim dan bahkan ke luar Kaltim. Oleh itu, praktik jual beli pulau yang ada di sekitar Kaltim menjadi indikasi kuat adanya kepentingan politik.
Dugaan itu muncul, karena pembelian pulau Malember di Kepualuan Balabalakang melibatkan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Nama tersebut juga diketahui menjadi figur penting pada alokasi utama Ibu Kota Negara yang baru di Penajam Paser Utara.
Abdul Gafur diketahui menjadi bagian dari dinasti politik yang baru di Kaltim. Ia dan keluarganya memiliki tentakel kekuasan politik dan bisnis sekaligus di berbagai kabupaten/kota, hingga meluas ke Sulawesi Barat.
Selain di Kaltim, nama Abdul Gafur juga mulai dikenal luas di Sulbar melalui kekuasaan bisnis dan politik. Termasuk, dugaan pembelian pulau Malamber yang sudah menjadi sorotan publik secara nasional. Bukan saja karena Kepulauan Balabalakang merupakan kawasan konservasi perairan, tapi juga karena pembelian pulau tidak dibenarkan di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menjelaskan, praktik penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia, baik kepada asing ataupun non asing, dinyatakan melanggaran konstitusi Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dengan demikian, Susan menyebut kalau penjualan pulau kecil seperti di Balabalakang adalah bertentangan dengan konstituri RI, di mana pulau tidak bisa dimiliki secara perseorangan. Di dalam falsafah konstitusi RI yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak dikenal konsep kepemilikan pribadi.
Menurut dia, Kepemilikan pulau kecil secara pribadi di dalam wilayah Indonesia adalah tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36, 37, 42, 43, 44 dan 45 dari UU 27/2007. Dalam UU ini juga ditetapkan bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau adalah milik publik dan tidak dapat diperjualbelikan.
“Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan riset, pendidikan, dan wisata bahari,” ucap dia.
Untuk itu, Susan mendesak berbagai pihak yang terlibat di dalam praktik penjualan pulau malamber untuk segera diusut dan dihukum secara tegas karena telah melanggar konstitusi Republik Indonesia. Dia berharap semua yang terlibat tidak kebal hukum, baik itu penjual maupun pembeli pulau Malamber.
Konservasi Perairan
Selain melanggar konstitusi RI, publik Indonesia menyorot tajam penjualan pulau Malamber kepada pemilik perseorangan, karena pulau tersebut menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) Bala-Balakang.
Status tersebut tercatat dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 6 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2017-2037.
Secara administrasi, pulau Malamber berada di Kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Namun secara geografis, pulau ini berada di Selat Makassar di lepas pantai timur Kalimantan, tepatnya di tengah-tengah antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi.
Pulau Malamber menjadi bagian dari gugusan pulau Balabalakang yang terdiri dari 16 pulau dan luasnya tercatat mencapai 1,47 kilometer persegi (km2). Mayoritas penduduk yang menghuni gugusan pulau tersebut adalah suku Bajau, yaitu suku yang dikenal hidup di kawasan perairan.
Pulau Malamber sendiri terbagi menjadi dua, yakni Malamber Besar dan Malamber Kecil. Malamber Besar menjadi satu dari 10 pulau yang berpenhuni di Bala-Balakang, dan Malamber Kecil menjadi bagian dari enam pulau yang tidak berpenguni pada gugusan pulau Bala-Balakang.
Selat-selat yang ada di sekitar Bala-Balakang diketahui dangkal dan biasa menjadi lokasi penangkapan ikan yang utama bagi warga yang mendiami pulau-pulau tersebut. Sumber daya perikanan yang melimpah tersebut, menjadi andalan warga untuk bisa mendapatkan penghasilkan setiap hari.
Tetapi, karena keindahan alam dan sumber daya perikanan yang melimpah, akhirnya tak sedikit pihak yang menginginkan untuk bisa memiliki pulau-pulau yang ada di Bala-Balakang. Salah satu buktinya, adalah penjualan pulau Malamber yang sampai sekarang masih dipersoalkan oleh banyak pihak.
Di Malamber, saat ini masih ada empat kepala keluarga (KK) yang menghuni kawasan pulau bersengketa tersebut. Jumlah tersebut diketahui menyusut dibandingkan sebelumnya yang sempat mencapai 12 KK. Berkurangnya jumlah KK, disebut penduduk lokal karena faktor abrasi pantai yang terus meluas dari waktu ke waktu.
Laman surat kabar lokal di Makassar, Sulawesi Selatan, Harian Fajar menulis tentang polemik yang terjadi Malamber tersebut. Dalam laporannya, harian Fajar menuliskan bahwa tak hanya jumlah penduduk yang berkurang, abrasi juga memicu terjadinya penyempitan pulau dari waktu ke waktu.
Jika saat ini luas Malamber besar mencapai sekitar delapan hektare, maka merujuk pada data yang dirilis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat pada 2014, luas pulau Malamber Besar mencapai 11,88 hakter. Penyempitan yang diakibatkan ancaman abrasi itu diduga kuat menjadi alasan penduduk untuk meninggalkan pulau secara perlahan.
Diketahui, persoalan pulau Malamber muncul setelah seorang warga asal Desa Sumare, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulbar, Rajab, diketahui menjual tanah kepada seseorang yang diduga kuat adalah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Luas tanah yang dijual adalah dua hektare.
Mengutip lama kompas.com, Rajab menjual tanahnya dengan harga Rp2 miliar dan diberikan pembayaran uang muka sebesar Rp200 juta. Transaksi yang berlangsung pada Februari 2020 lalu hingga kini masih menjadi sengketa, karena uang sisa belum dibayarkan dan pulau dikabarkan sudah dijual seluruhnya kepada Abdul Gafur.
Di sisi lain, warga yang menempati pulau Malamber menolak dengan klaim kepemilikan Rajab atas tanah di pulau tersebut. Rajab disebut juga tidak pernah tinggal di Malamber Besar atau Kecil, meskipun dia mengaku kalau buyutnya adalah orang yang pertama menempati Malamber.
Sumber: mongabay.co.id