PIRAMIDA.ID- Semalam, setelah keluyuran sampai tengah malam dan sampai di rumah sekitar pukul 12 malam, serta mendapati suasana rumah telah hening karena sudah pada terlelap dalam istirahatnya, saya sempatkan untuk menyalakan dan menonton televisi (selanjutnya disebut TV) sebelum saya juga turut larut dalam lelap.
Sembari menghempaskan tubuh di kursi untuk bersantai dan mata menatap ke layar siaran TV, saya coba fokus menonton TV ditemani keheningan malam dengan remote TV stand by di jemari kanan. Suatu aktivitas yang sudah jarang saya lakukan dan nikmati sebenarnya.
Namun, entah mengapa, selang berapa waktu saya bosan jua dan tak membuat saya menikmati aktivitas menonton TV tersebut. Berkali-kali saya ganti saluran channel, tak satupun siaran yang memikat hati.
Sudah lama gak menonton TV, ehh tiba menonton TV, gak lama!
Hal semacam malah membuat saya larut dalam permenungan yang mengajak berpikir dan tamasya retrospeksi: betapa peradaban dunia dan arus teknologi begitu cepat berkembang.
Dalam interval puluhan bahkan belasan tahun, begitu banyak perubahan signifikan, termasuk terhadap kebutuhan dan platform media hiburan. Dari media konvensional ke media daring. Perangkat konvensional radio sudah ditinggalkan dan mulai tak berjejak di masyarakat.
Pun demikian dengan TV. Perlahan, orang sudah tidak mau berlama-lama di TV dan memilih aktivitas berselancar ria di internet menikmati tayangan video. Padahal, dulu, puluhan bahkan belasan tahun lalu, TV merupakan barang mewah yang juga turut menjadi simbol strata sosial di masyarakat, terlebih di daerah kami. Hal ini lumrah dan dapat dimaklumi.
Sebab, jika ingin memiliki TV dan menontonnya, turut juga harus membeli perlengkapan lainnya berupa parabola dan receiver digital, di mana itu memerlukan kocek yang cukup banyak.
Hal ini dikarenakan daerah kami tidak terjangkau saluran televisi terestrial; sebuah sistem penyiaran yang tidak melibatkan satelit di mana aksesnya hanya membutuhkan antena saja untuk mendapatkan siaran TV, baik TV nasional maupun swasta.
Praktis, jika menggunakan antena di daerah kami, tidak ada siaran TV yang terakses. Kalaupun ada yang dapat, biasanya hanya TVRI saja. Itu pun dengan kualitas gambar yang penuh kesemutan.
Saya sendiri – dan teman sepermainan — memiliki kesan yang cukup mendalam terhadap aktivitas menonton TV ini.
Kala itu, di daerah kami, hanya segelintir rumah tangga yang memilikinya. Menonton TV bukanlah aktivitas yang dapat dinikmati tiap hari. Menonton TV hanya dapat dilakukan setiap menjelang senja sampai malam di akhir pekan.
Bersama saudara-saudara dan teman sepermainan, kami berbondong-bondong pergi bertandang ke rumah tetangga yang sudi dan berbaik budi “mewakafkan” TV nya agar kami turut dapat menonton. Sudah barang tentu, saya pergi ke situ dalam keadaan sudah mandi, pakaian rapi, rambut disisir klimis ke samping, dan (tentu saja!) lengkap dengan bedak yang blepotan di wajah.
Kadangkala juga si anak yang empunya TV menunjukkan ekspresi intimidatif dan wajah ketidaksukaan ketika kami sudah berbondong-bondong begitu untuk menonton TV di rumahnya.
Ya, kalau sudah begitu, mau tidak mau, dengan penuh kesadaran akan kami berikan “upeti sukarela” sebagai pemulus dan pemadam ekspresi intimidatif beliau tersebut. Memanglah. Pembenihan dan praktik terhadap mental Koruptif, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sudah berjalan dengan baik sejak kanak-kanak. Ha ha ha.
Syahdan, keluarga saya sendiri baru pada medio akhir 2007 memiliki TV di rumah beserta dengan parabola dan receiver digitalnya. Artinya, baru se-dekade lebih saya dapat leluasa dan sesukanya merasakan nikmatnya menonton TV. Namun, alih-alih saat ini menikmatinya, yang ada aktivitas menonton TV cenderung membuat saya jenuh dan bosan.
Apa yang salah? Tidak ada memang. Ini adalah konsekuensi dari falsifikasi terhadap inovasi teknologi yang menciptakan fase. Fase televisi konvensional berada pada usia senjanya. Memang sih, sampai hari ini televisi konvensional masih bertengger dan menguasai sebagai indikator kebutuhan.
Namun, perannya mulai tergantikan dengan siaran yang berbasis layanan streaming maupun layanan web, seperti Youtube. Terlebih lagi menurunnya kualitas program tayangan di TV yang sarat sensor atau blur yang tak bermutu dan tidak bernilai substantif. Semakin memangkas usia senja TV konvensional.
Khusus kami yang tinggal di daerah penikmat siaran TV yang tidak terjangkau saluran terestrial, kebijakan menjadikan beberapa channel lokal (seperti MNC Group) sebagai siaran eksklusif dan premium yang hanya dapat dinikmati secara berbayar juga turut berkontribusi semakin tak bergairahnya hasrat untuk menikmati aktivitas menonton TV konvensional.
Semakin sedikitnya varian channel lokal menyebabkan antusiasme menonton TV hanya terjadi pada saat tayangan maupun program TV tertentu saja.
Tentu saja kebijakan menjadikan channel lokal sebagai siaran eksklusif dan premium (tampaknya) merupakan segmen bisnis industri penyiaran yang menjanjikan pangsanya bagi kelas menengah-keatas. Namun, itu bukanlah sesuatu yang arif dan berkeadilan mengingat penikmat TV kebanyakan masyarakat kelas bawah.
Pada akhirnya, di usia senja TV konvensional, saya masih berharap tetap bergairah menikmati aktivitas menonton TV. Semoga ada perbaikan kualitas program TV dan inovasi yang turut menyasar seluruh masyarakat, khususnya daerah.
Bagi saya pribadi, kenangan dan “perjuangan” menonton TV dikala kecil bukanlah sesuatu yang mudah dilupakan. Akan senantiasa ada kerinduan tersendiri. Namun, bukan berarti saya terpasung dalam glorifikasi masa lalu.
Kalau pun terjadi kondisi demikian, ya paling tidak situasinya sudah dapat ditebak: sudah lama gak nonton TV, ehh tiba nonton TV gak lama.
Editor: Red/Hen