Henri Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Sebelumnya penulis ingin menggaris bawahi bahwa kata “hukum” dalam artikel ini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan (regulasi), bukan hukum yang hidup di dalam masyarakat (adatrecht) atau hukum yang tidak tertulis.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan peraturan perundang-undangan paling banyak di dunia. Dilansir dari website Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), per 14 November 2019 jumlah regulasi di Indonesia mencapai 42.996 peraturan, dengan perincian peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga pemerintah non-kementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965.
Banyaknya regulasi tersebut, nyatanya, tidak berbanding lurus dengan minimnya jumlah pelanggaran dan kejahatan di Indonesia. Per 24 Maret 2020 jumlah tahanan dan narapidana di republik ini mencapai 293,583 orang. Sementara kapasitas rumah tahanan hanya dapat menampung 131,191 orang. Jadi, jumlah tersebut melebihi kapasitas hingga 123 persen.
Realitas penegakan hukum menunjukkan bahwa, kasus-kasus yang seharusnya dapat diselesaikan di luar pengadilan (restorative justive) atau kasus-kasus kecil (maling sendal, maling ayam, seorang nenek yang mengambil kayu bakar di lahan perusahaan, kritik, dan lain-lain), sangat mudah proses pemidanaanya. Padahal ancaman pidana terhadap kasus-kasus demikian relatif lebih ringan dibanding kejahatan lainnya, seperti korupsi, penyuapan, dan pencucian uang.
Secara kontekstual dapat pula dicarikan alternatif penyelesaian di luar instrumen hukum pidana, untuk menghindari over kapasitas lapas di Indonesia. Karena, dalam perspektif hukum, instrumen pidana adalah upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum remedium).
Berbeda dengan kasus korupsi, penyuapan, dan pencucian uang yang secara skala dan ancaman hukumannya lebih tinggi, namun proses penegakan hukumnya sangat berbelit-belit dan biasanya vonis hakimnya juga cukup ringan.
Begitulah keadaannya, carut-marut penegakan hukum di Indonesia telah menyebabkan “hukum” seperti tak lagi memiliki asas manfaat. Bagi orang miskin, hukum bekerja bak mesin automatic atau parang yang siap menebas, apabila si miskin itu melawan hukum. Kalau begini, hukum seperti tragedi bagi orang miskin dan alat bagi orang kaya.
Hukum yang adil bukanlah fatamorgana atau ilusi optik yang tidak nyata. “Adil” dalam hukum dapat kita temui apabila kita memaknai hukum bukan sebagai suatu skema yang final dan kaku. Bagi penulis, inilah esensi dari hukum yang progresif.
Hukum progresif merupakan gagasan salah satu begawan hukum Indonesia, Prof. Dr. Satipjo Rahardjo, SH. Asumsi awal hukum progresif adalah “hukum untuk manusia, bukan sebaliknya”. Artinya, hukum yang harus mengabdi kepada manusia, bukan manusia yang mengabdi kepada hukum.
Begini cara kerjanya, kita ambil contoh kasus over kapasitas lapas di Indonesia. Hukum yang kaku (rigid) akan memandang over kapasitas lapas ini sebagai hal yang wajar, karena tidak bertentangan dengan hukum, artinya “mereka” yang dijebloskan ke dalam lapas adalah mereka yang melanggar hukum.
Di sisi lain, hukum progresif melihat ini sebagai suatu hal yang harus diselesaikan. Walaupun mereka dipenjara karena kesalahan mereka, over kapasitas lapas adalah sesuatu yang tidak manusiawi. Hukum progresif akan bergerak ke hulu masalahnya, terhadap kasus-kasus yang bisa diselesiakan dengan mekanisme restorative justice harus diupayakan terlebih dahulu.
Setelah berhasil, “ia” (hukum progresif) akan mencari sumber masalah yang lain, dan menemukan alternatif penyelesaiannya, dan begitu seterusnya.
Karena hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dam final, melainkan hukum yang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum progresif juga menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan dan mengabaikan peran masyarakat.
Di cover buku Prof. Satipjo yang berjudul “Penegakan Hukum Progresif” dituliskan kalimat berikut: “Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan terus digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.”
Ketika penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) hanya memaknai hukum sebagai suatu yang final dan kaku, tidak menggali dan mencari makna di dalamnya, penegak hukum seperti inilah yang akan menjadikan hukum sebagai mesin otomatis dan parang penebas tadi.
Bagi hukum progresif, manusialah yang merupakan penentu kemana hukum diarahkan, apa manfaatnya dan fungsinya. Hukum progersif tidak menerima hukum sebagai “mesin penghukum” secara mutlak, melainkan kegunaan hukum sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada umat manusia.
Dalam konteks pemikiran tersebutlah, hukum dalam pemikiran Prof. Satipjo harus terus menerus menuju kepada tingkatan kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan hukum itu dapat diverifikasi ke dalam faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian (moral) rakyat dan lain-lain.
Inilah hakekat dari “perubahan” yang Prof. Satipjo maksud, hukum harus selalu dalam proses menjadi lebih baik.
Teks hukum itu bisa saja dirumuskan secara umum (general) maupun konkret, sedangkan dalam penerapnya hukum yang dirumuskan tersebut harus berhadapan dengan kekhususan setiap kejadian. Sehingga diperlukan tindakan yang tidak sekedar melaksanakan hukum, karena, hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi “hidup”.
Jika kita telisik keterkaitan hukum progresif dengan hal-hal yang kita bahas di awal, hukum seharusnya dijadikan sebagai alat untuk memperbaiki keadaan yang seperti dijelaskan sebelumnya: over kapasitas lapas, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, hingga obesitas regulasi. Kita tidak membutuhkan kuantitas, melainkan kualitas dari hukum.
Kalau hukumnya sudah progresif (mengalami kemajuan, menjawab tantangan, dan senantiasa berubah serta mengabdi kepada kemanusiaan) dan apabila penegak hukumnya juga sudah progresif niscaya cita-cita kita sebagai negara hukum yang berkeadilan akan dapat kita capai.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Jakarta.