Roberto Buladja*
PIRAMIDA.ID- Tujuh puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Suatu perjalanan panjang sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 silam. Bongkar pasang sistem pemerintahan. Gonta-ganti rezim dan kepemimpinan. Tarik-menarik kebijakan serta dinamika sosial-politik yang menyertainya telah membentuk wajah Indonesia seperti sekarang ini. Tentu tidak berhenti sampai saat ini saja, bahwa Indonesia akan terus berproses menjadi Indonesia pada masa-masa mendatang.
Pada tahun ini, untuk kedua kalinya, rakyat Indonesia harus mengingat-rayakan kemerdekaannya dengan kondisi terbatas. Pandemi Covid-19 seolah memaksa setiap warga negara mengurung niatannya untuk berkumpul bersama mengeskpresikan kegembiraannya. Hari akbar bersejarah yang dipertunjukkan melalui formasi gerak jalan, ragam lomba tingkat nasional hingga lokal, dan rangkaian kegiatan ekspresif lainnya di lapangan luas terpaksa terjeda seketika. Momentum sukacita yang semestinya dilangsungkan secara tatap muka tergantikan dengan perjumpaan virtual tanpa sentuhan fisik. Suatu penampakan keramaian yang dipraktikkan tidak seperti masa-masa sebelumnya.
Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, terdapat berbagai kebijakan pemerintah untuk menekan penyebarannya. Kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat sedemikian berganti nama beberapa kali. Berawal dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, dan terkini PPKM yang kian naik level. Kebijakan yang dibuat berjilid-jilid dengan skema yang kurang lebih sama seakan menimbulkan kesan tanya besar dari masyarakat: kapan pandemi ini berkesudahan?
Tema Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia ke-76 yang diusung pemerintah adalah “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh.” Tema tersebut memuat sederetan nilai luhur bangsa Indonesia, seperti halnya nilai ketangguhan, gotong-royong, semangat pantang menyerah untuk terus maju bersama dalam menempuh jalan penuh tantangan. Gagasan tema ini memberi pesan penguatan sekaligus memantik lahirnya solidaritas sosial masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Ada semangat juang yang perlu dirawat dan dibesarkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam gumulan panjang keluar dari situasi pelik yang belum juga berakhir ini.
Agent of Change
Dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2021 sebagaimana dirilis oleh metrotvnews (16/08/2021), Presiden Jokowi menyampaikan bahwa di tengah dunia yang penuh disrupsi sekarang ini, keberanian untuk berubah, mengubah dan mengkreasikan hal baru merupakan fondasi untuk membangun Indonesia maju. Muatan pidato ini berkolerasi erat dengan salah satu fungsi mahasiswa, yaitu agent of change.
Bagi mahasiswa, pesan kenegaraan itu bukanlah hal baru. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar yang terjadi di negeri ini dimotorik oleh mahasiswa. Adanya basis kekuatan dan spirit pembaharu yang dilakoni oleh mahasiswa mampu memukul pulang para kolonialis asing. Meruntuhkan rezim orde lama yang hendak memuluskan ego mengabadikan kekuasaannya. Menghantam rezim otoritarianisme orde baru yang kian “menggila” bercokol di kursi kekuasaan, serta mengusung agenda reformasi yang terus bergulir hingga sekarang ini.
Namun, di balik capaian prestasi gemilang yang diraih mahasiswa, ada saja sejumlah narasi silang (kritik) yang dilancarkan oleh berbagai pihak. Salah satunya dapat ditemui dalam catatan Cahyono (2019), bahwa sebagai agen perubahan, mahasiswa bertindak bukan ibarat pahlawan yang datang ke sebuah negeri lalu dengan gagahnya mengusir penjahat-penjahat. Dengan gagah pula sang pahlawan pergi dari daerah tersebut diiringi tepuk tangan penduduk setempat. Hal ini memberi penegasan bahwa mahasiswa tidak hanya menjadi penggagas perubahan, melainkan menjadi pelaku dari perubahan tersebut.
Pada prinsipnya, serangkaian kritik yang ditujukkan pada mahasiswa perlu dijadikan bahan evaluasi untuk membenahi model pergerakkannya. Analogi kritik yang dirumuskan oleh Cahyono itu penting untuk disadari oleh gerakan mahasiswa agar skenario besar perubahan yang diciptakannya benar-benar terstruktur, sistematis, masif dan dapat berlanjut pengontrolannya.
Mahasiswa merupakan miniatur masyarakat intelektual di tengah massa yang cenderung pasif. Sekelompok kecil orang yang terpupuk benih-benih cendekiawan bangsa. Kehadirannya mewarnai riwayat panjang historisitas bangsa dalam mewujud-nyatakan visi ideal bernegara. Para individu-invdidu yang memiliki keragaman pemikiran, gagasan-gagasan kreatif dan kritis, termasuk pola pergerakkan yang unik dan khas. Posisi mahasiswa sebagai kelompok tengah (middle group) dalam skema relasi antara negara-masyarakat terbilang strategis dan amat menentukan.
Sejalan dengan itu, Kurniaji (2012) merumuskan tiga strategi mahasiswa dalam perannya sebagai agen perubahan. Pertama, berpikir dialektis. Mahasiswa berusaha membawa kenyataan kearah pemikiran, dan sebaliknya menerapkan pemikiran kearah kenyataan. Hubungan dialektis antara teori dan praktik ini nyaris menjadi “taman bermain” mahasiswa dalam menggumuli, sekaligus memberi petunjuk solutif di tengah persoalan kebangsaan.
Kedua, menerapkan cara berpikir ilmiah. Bahwa perubahan harus berorientasi pada cara berpikir ilmiah. Sudah menjadi tanggung jawab mahasiswa untuk mendobrak cara berpikir tradisional dalam upaya pembangunan masa depan bangsa. Baik pada tataran nasional, regional, maupun lokal dalam semua lini kehidupan masyarakat. Strategi kedua ini memberi masukkan kepada mahasiswa untuk menajamkan daya adaptif dan inovatif di tengah zaman yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan. Bahwa pengalaman masa lalu perlu dijadikan referensi untuk merumuskan model pergerakkan berbasis riset dalam menjawab permasalahan kekinian.
Ketiga, menalar masa depan. Setiap generasi layaknya tiba pada persimpangan jalan sejarah masa depan. Mahasiswa tidak saja dipaksa untuk membangun kesadaran akan masa depan bangsanya, tetapi juga dituntut untuk mendesain kehidupan ideal sebagaimana dicita-citakan bersama. Ditengah krisis penalaran, mahasiswa mestinya tampil sebagai kelompok terdidik yang mencerahkan dan memberdayakan, termasuk memberi jaminan kepastian pada masa depan.
Sejumlah strategi tersebut sedianya menjadi panggilan dan tanggung jawab historis yang perlu dilakoni oleh mahasiswa. Sederetan permasalahan bangsa yang mengkolonialisasi nalar dan tubuh masyarakat sejatinya menunggu kepekaan dan inisiatif mahasiswa untuk membebaskan dan memerdekakannya. Sudah saatnya kaum intelektual menyalakan spirit agent of change yang sudah cukup lama dibiarkan meredup. Meluruskan segala hal yang bengkok dan menawarkan jalan baru yang memandirikan masyarakat dan bangsanya.
Mereformulasi Gerakan Mahasiswa
Peranan mahasiswa dalam menginisiasi perubahan bangsa tampaknya telah teruji oleh waktu. Selain agent of change, terdapat sejumlah fungsi yang dilekatkan padanya, seperti: agent of social control, moral forces dan iron stock yang begitu menyejarah. Sepak terjang yang diperankannya begitu apik dalam mendinamisasi proses berbangsa dan bernegara. Progresivitas mahasiswa yang begitu berkilau telah mengantarkan kelompoknya menyabet predikat prestisius itu. Pelbagai fungsi tersebut amat dirindukan untuk diaktifkan kembali dengan format yang relevan guna melakukan terobosan-terobosan baru di era kekinian.
Tuntutan mereformulasi pola gerakan mahasiswa di era serba digital ini menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Apalagi di tengah mewabahnya pandemi Covid-19, layaknya bunyi sirine ambulans sebagai tanda genting agar mahasiswa secepatnya melakukan beres-beres tanpa terkecuali. Bahwa siapa yang tidak adaptif dan lamban menangkap realitas yang dinamis akan tergerus oleh badai perubahan zaman. Hal demikian tentunya sudah menjadi skenario alam bagi makhluk hidup pada umumnya, termasuk mahasiswa dan organisasi pergerakan.
Silaban (2021) dalam artikel bertajuk “Berakhirnya Sebuah Gerakan” mencatat beberapa hal mengenai kemunduran (decline) sebuah gerakan. Di antaranya success (gerakan sukses sehingga perlahan redup), organizational failure (kegagalan organisasi gerakan), co-optation (pemimpin gerakan terkooptasi), repression (mundur akibat represi keras) dan establishment within mainstream society (orang gerakan masuk bagian dari sistem).
Lantas, apakah gerakan mahasiswa akan berakhir dengan sejumlah alasan-alasan rasional tersebut? Sejauh mana mendeteksi melemahnya gerakan mahasiswa agar diperlukan penangan secara khusus. Sedemikian pentingnya mereformulasi pola gerakan mahasiswa, agar kehadirannya benar-benar relevan menjawab gumulan zaman.
Satu hal yang pasti, bahwa setiap generasi memiliki masa, pergumulan, dan kesempatan merespon zamannya. Ada batasan periodik waktu yang seolah terberi kepada setiap orang yang sementara berkutat dengan dunia kemahasiswaan guna menorehkan kisah keemasan pada laman sejarah panjang ber-Indonesia. Barangkali peluang terbatas ini tidak diabaikan begitu saja dan perlu disikapi secara aktif penuh kegairahan.
Mengutip konsep salah seorang penggagas PDSPK GMKI 2006, setiap kader gerakan memiliki tiga kemampuan dasar, yaitu meramalkan kemungkinan masa depan (forecasting the probable future); mengimajinasikan kemungkinan masa depan (imaging the probable future); dan merancang kemungkinan masa depan (designing the probable future). Tiga kemampuan dasariah ini menyimpan spirit perubahan, yang mana bila diberdayakan dapat mensponsori terwujudnya Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!
Dirgahayu Republik Indonesia ke-76!(*)
Penulis merupakan Kabid PKK PP GMKI MB 2020-2022.