Aris Pranada*
PIRAMIDA.ID- Puntung rokok dan kebakaran adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Pada titik tertentu, levelnya bahkan meningkat. Perokok semakin didentikkan dengan hukuman pidana. Setidaknya begitulah yang terjadi di Indonesia.
Pada banyak kasus kebakaran di Indonesia, ada beberapa hal yang paling sering disebut sebagai penyebabnya. Di antaranya kebakaran akibat hubungan arus pendek, kebakaran akibat ledakan tabung gas LPG, dan kebakaran akibat puntung rokok.
Sebenarnya masih ada faktor penyebab kebakaran lainnya, tapi ketiga hal di atas adalah yang paling sering jadi sumber api di Indonesia. Begitu menurut pemberitaan media.
Hubungan arus pendek alias korsleting adalah keadaan dimana terjadi suatu hubungan dengan tahanan listrik yang rendah dan mengakibatkan aliran listrik yang ada menjadi sangat besar, dan jika tidak ditangani dengan segera bisa menimbulkan kebakaran dan ledakan.
Aktor berikutnya adalah tabung gas LPG. Di awal kemunculannya, tabung gas sering menimbulkan perkara. Entah karena penggunanya yang belum paham, atau memang alatnya yang tidak aman digunakan. Biasanya karena kebocoran gas, selang yang rusak, regulator dan karet pengaman rusak atau tak terpasang kuat. Kini, seiring berjalannya waktu, penggunaan LPG semakin masif dan cenderung aman.
Nah, penyebab kebakaran berikutnya adalah yang paling populer, yakni puntung rokok. Untuk menyegarkan ingatan soal betapa dahsyatnya dampak dari puntung rokok, silakan baca-baca berita soal kebakaran Gedung Kejaksaan Agung. Dari kasus itu kita akan tau betapa ngerinya secuil puntung rokok.
Tak perlu penjelasan ilmiah soal ini. Kalau tidak ada hubungan arus pendek, tidak ada ledakan tabung gas, sebuah peristiwa kebakaran biasanya akan disebut sebagai akibat dari puntung rokok.
Pada kasus Kejaksaan Agung, misalnya, para kuli yang menjadi tersangka mengaku merokok 2,5 jam sebelum kebakaran terjadi. Artinya, sejak para kuli mengisap asap terakhir, hingga muncul api kebakaran ada jeda waktu sekitar 150 menit atau 9000 detik.
Dalam periode waktu yang sama kita bisa melakukan banyak hal; misalnya berkendara motor Jakarta-Bogor, menyaksikan pertandingan sepakbola dari awal kick off babak pertama hingga babak adu penalti. Bayangkan selama itu anda tidak merokok dan dituduh jadi penyebab kebakaran.
Pada akhirnya para kuli tersebut tetap bersalah, meski mengaku telah mencelupkan puntungnya ke segelas air, lalu menginjak-injaknya sebelum dibuang ke tempat sampah. Salahnya adalah mereka perokok. Harusnya jangan jadi perokok. Pokoknya jangan.
Di Singapura, seorang pria bernama Ganesan Shanmugam (30) harus menerima hukuman 10 hari penjara oleh karena perkara yang sama: membuang puntung rokok. Puntung rokok Ganesan dituduh jadi biang kerok kebakaran sebuah kantor polisi. Kesalahan utama Ganesan ya sama seperti para kuli di Kejagung, mereka adalah perokok.
Sekali lagi, ingat rumusnya: tak perlu penjelasan ilmiah, kalau tak ada hubungan arus pendek, tak ada ledakan tabung gas LPG, langsung jadikan puntung rokok sebagai tersangka dalam sebuah tragedi kebakaran. Perkara benar atau tidak puntung itu yang jadi penyebab, ya tidak penting. Yang penting ada yang dipersalahkan–dan dipenjara.
Hal semacam ini sering diwartakan oleh media-media di Indonesia. Bahkan kasus yang terjadi di luar negeri pun (dalam hal ini Singapura) ikut diberitakan. Apa urgensi soal perokok Singapura diwartakan di Indonesia? Ya tidak ada. Jelas hanya sebagai upaya mendiskreditkan rokok dan perokok. Ini berlebihan, tapi memang begitu yang nampak.
Jadi, kita tidak perlu heran kalau suatu saat puntung rokok yang divonis sebagai penyebab kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Kok bisa? Ya karena tidak ada listrik dan tabung LPG. Lalu siapa yang telah merokok di tengah hutan? Entah, bisa jadi harimau, singa, atau ular.(*)
Penulis merupakan Kontributor Komunitas Kretek Indonesia.