Oleh: Arya Widihatmaka*
PIRAMIDA.ID- Banyak orang mencela harapan dengan alasan betapa banyak orang tertipu dengan harapan. Harapan dibangun dari imajinasi, Inilah kuncinya. Ketika harapan berdasar imajinasi liar maka kemungkinan orang akan menjadi tertipu. Akan tetapi ada harapan dengan bentuk lain, yaitu harapan yang memiliki dasar pengetahuan. Harapan sejenis ini seperti hipotesis. Jadi ada bentuk target atau tujuan yang logis.
Harapan akan logis ketika ekuivalen dengan hal eksistensial. Ini bisa menghapus harapan berbasik imajinasi liar yang sering menipu seorang pengharap. Harapan yang logis masih jauh lebih baik ketika itu hadir meski tidak tercapai oleh tujuan seseorang dibanding harapan yang menipu.
Perkataan-perkataan ini bisa membingungkan karena kata “harapan” memiliki bias yang luas. Tetapi saya percaya, bagi orang yang sering tertipu dengan harapan akan menilai bila perkataan-perkataan saya sah. Jadi, harapan itu sendiri sebenarnya seperti perluasan eksistensial, hanya saja momen seperti ini butuh alasan yang logis untuk maujudnya.
Orang-orang pemercaya kreasionisme akan mengatakan bahwa penciptaan muncul dari kekosongan. Paham ‘Ex Nihilio’ terkadang dibawa ke domain psikologi dan meditasi untuk menghadirkan harapan atau upaya akses daya cipta tertentu. Anda boleh mencoba seberapa berhasil teknik itu. Bila sukses Anda boleh meneruskan metode kekuatan pikiran Anda, tetapi bila gagal sebaiknya Anda berhenti agar tidak terjerumus dalam hidup yang semakin kelam dalam sudut-sudut kehidupan yang akhirnya Anda merasa asing atau janggal dengan fenomena kehidupan itu sendiri.
Kaum dogmatis akan menggunakan teknik ancaman dan menebar ketakutan dengan alasan perbedaan kosmologi demi pemasaran ajaran mereka. Ini adalah tantangan mental bagi Anda, sebab, mereka akan mengulak-alik antara harapan dan ancaman yang membuat seseorang berputus asa.
Anda akan cukup memiliki mental yang kuat ketika mampu keluar dari pengaruh dogma (dan doktrin). Akan tetapi dogma sebenarnya tidak terlalu buruk ketika seseorang bisa saja mengalami pasang-surut psikologi antara harapan dan keputus-asaan yang disebabkan oleh hal-hal non-dogmatisme, seperti seseorang mengalami sakit yang begitu lama, mendapat hukuman seumur hidup, dsb.
Jadi, harapan dan bisnis rasa takut yang dikembangkan oleh ajaran-ajaran agama sebenarnya bisa digunakan untuk melatih mental. Ini bukan hal yang remeh temeh ditengarai komposisi mental atau psikologi seseorang tidak bisa kita ketahui dari sisi mana mereka mengkonsumsi dogma dan doktrin, terlebih dogma dan doktrin seperti apa yang dia terima.
Hal-hal rumit seperti itu setidaknya bisa kita nilai dengan cara mengambil intisari ajaran-ajaran itu, dan juga mengoreksi ulang bagaimana bentuk kesadaran yang berkembang pada diri kita (seseorang). Mungkin kita butuh orang lain sebagai cermin untuk menilai bagaimana bentuk mental dan psikologi kita meski hasilnya sebenarnya tidaklah akurat karena konteks seperti itu umumnya subyektif.
Maka butuh banyak teman agar Anda bisa melakukan studi atas karakter Anda (atau bagi kasus orang lain). Ketika inti ajaran itu negatif dan karakter seorang penganut dogma juga negatif hampir bisa dipastikan bila orang sejenis ini menghasilkan hal negatif dalam kehidupan, termasuk bagi dirinya sendiri. Ketika seseorang menganut dogma (dengan kosmologi negatif) tetapi dia memiliki karakter yang positif, orang sejenis ini akan selalu dalam pertarungan dalam dirinya. Boleh jadi dia akan memiliki produk positif dalam kehidupan.
Sedangkan dogma (dengan kosmologi positif) yang dianut oleh seseorang dengan karakter positif dia akan menghasilkan karya yang positif dalam kehidupan, meski mungkin pendaran kebaikannya memiliki batas-batas tertentu. Ini adalah jenis manusia yang utama.
Sebenarnya manusia tidak tau betul bagaimana nilai suatu ajaran kosmologi, tetapi itu bisa dinilai dari produk yang berupa kejadian-kejadian dalam kehidupan manusia. Ada banyak ajaran yang mencela kehidupan ini karena alasan idealisme dan tuntutan eksklusivisme atau perfeksionisme. Ketika ajaran itu bernilai negatif namun masih memiliki kemungkinan dijabarkan secara positif dan konstruktif, demikian juga sebaliknya, suatu ajaran bernilai positif bisa dijabarkan secara negatif.
Jadi, karakter karakter manusia akan memegang faktor penting bagaimana nilai suatu ajaran bertransformasi dalam kehidupan. Hal seperti ini akan menimbulkan polemik sepanjang sejarah manusia. Manusia akan secara umum bernilai positif ketika dia mampu memperluas cakrawala kehidupan bagi dirinya dan juga orang banyak. Manusia jenis seperti ini memiliki harapan yang baik, realistis, logis, dan teknis.
Banyak orang antem-kromo soal harapan di mana harapan dikatakan bersumber dengan sembarang imajinasi (imajinasi liar).
Biasanya orang seperti ini memiliki karakter “tidak bertanggung-jawab” dia hanya melempar gagasan atau melibatkan orang lain dalam urusan dirinya agar dia beruntung bahkan dia abaikan bahaya atas orang yang direkrutnya, kalau perlu dikorbankan demi ambisinya, kemudian hal seperti itu dia katakan sebagai dinamika kehidupan atau kepemimpinan.*)
Penulis merupakan penggiat media sosial. Memiliki antusiasme terhadap sains dan psikologi.